Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT perkawinan putranya, Siti Chomsatun, 55 tahun, sungguh bercahaya. Dia begitu bahagia, tapi dia tak bisa menyuarakannya. Siti betul-betul tak bersuara karena pita suaranya lumpuh. Dia bergurau dengan sanak saudaranya seraya berbisik. Siti adalah pasien yang namanya disebut-sebut di berbagai media akibat dugaan malpraktek yang dilakukan rumah sakit tempat dia berupaya menyembuhkan dirinya. Siti Chomsatun kemudian berkisah kepada kita bagaimana sulitnya dia mendapatkan pelayanan di unit gawat darurat saat dia terengah-engah menggapai udara.
Inilah satu dari beberapa kasus dugaan malpraktek yang disajikan sutradara film dokumenter Ucu Agustin (sebelumnya, kita mengenal nama Ucu dari salah satu segmen film dokumenter Pertaruhan). Dengan menggunakan teknik jurnalistik investigasi, Ucu dan timnya melakukan reportase—terkadang dia menyembunyikan kamera—dan wawancara kepada beberapa pasien yang mengalami kerusakan pada tubuhnya (cacat, buta, kehilangan suara) setelah perawatan (atau perawatan yang terlambat) dari rumah sakit dan dokter Indonesia.
Kasus Siti Chomsatun yang sudah beredar di media adalah kasus klasik unit gawat darurat. Dia datang dihajar sesak napas. Namun, setelah Siti menunggu lebih dari 24 jam—dokter tak kunjung datang—barulah datang dokter spesialis muda memeriksa dan menyarankan dia ke RSCM. Setiba di RSCM, kondisi Siti sudah cukup parah. Dia didiagnosis tidak dapat bernapas melalui saluran napas yang normal karena pita suaranya lumpuh.
Upaya Siti—didampingi Lembaga Bantuan Hukum—ini kemudian direkam oleh Ucu untuk memperlihatkan bagaimana rumah sakit itu menghadapi keluhan.
Kasus-kasus lain yang direkam Ucu juga memprihatinkan. Misalnya kasus putra kembar Juliana Darmadi, Jared dan Jayden. Menurut Juliana, setelah kedua anaknya lahir, akibat sebuah kesalahan tim dokter, Jared mengalami buta total. Seperti pasien lain, Juliana mencari keadilan. ”Hingga akhirnya saya berbicara kepada media, mereka menawarkan ganti rugi,” kata Juliana. ”Setiap kali kami tampil, tawaran naik terus-menerus.”
Buat Juliana, yang sehari-hari bekerja sebagai dekorator perkawinan, bukan jumlah uang yang penting, melainkan keadilan. Salah satu putranya kini sudah buta. Bagi Juliana, seharusnya ada tindakan yang dikenakan kepada mereka yang bersalah.
Film dokumenter yang dana produksinya didukung oleh Jakarta Foreign Correspondent’s Club ini menggunakan sebuah teknik investigasi yang lazim seperti karya-karya jurnalistik televisi. Namun, karena waktu dan ruang yang lebih leluasa, Ucu mampu merekam para narasumbernya lebih mendalam dan dengan susunan skenario yang lebih rapi tertata, hingga film dokumenter ini lebih berkisah seperti sebuah film.
Pihak yang dituduh—rumah sakit atau para dokter—dalam film ini lebih sering menghindar, sehingga tim sineas harus merekam bagaimana para pekerja rumah sakit menghindar (dengan jawaban klasik, ”Bapak tidak ada, tidak tahu ke mana”) saat tim Ucu datang untuk melakukan wawancara.
Dokter Kartono Mohamad sebagai narasumber memberikan pernyataan yang sungguh menarik bahwa salah satu problem penanganan malpraktek di Indonesia adalah polisi dan pengadilan belum tahu bagaimana menanganinya.
Itu adalah satu hal. Dari kasus-kasus yang diajukan Ucu dalam film ini, tampak para dokter (Indonesia) sulit mengakui bahwa mereka juga bisa salah; dan mereka berurusan dengan nyawa manusia. Dari pernyataan para sumber pula tersirat bahwa jika diketahui ada kesalahan, rumah sakit dan sesama kolega lazim menutupinya. Dokter Kartono Mohamad menyebutnya Conspiracy of Silence (Konspirasi Hening). Dan yang paling mengerikan adalah mereka yang bersalah—tapi tak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan—masih terus berpraktek dan kita tak pernah tahu apakah kita ditangani oleh dokter yang kompeten atau tidak.
Film ini memang dibuat dengan semangat membangkitkan kesadaran; seperti juga liputan jurnalistik investigasi yang kita kenal. Tapi Ucu menampilkannya lengkap dengan keseharian para pasien, emosi, dan perasaan mereka yang hingga kini masih terus memperjuangkan hak untuk menjadi manusia sehat.
LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo