MINGGU lalu, Bardosono kembali 'jadi lakon'. Kewibawaan serta
kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PSSI diuji lagi oleh gejolak
organisasi.
Gejolak ini praktis tak pernah berhenti Sejak ia naik pentas
melalui Kongres PSSI lewat cara yang kontroversil di Yogya,
Desember 1974, sudah silih berganti 'aktor pembantu' yang turun
naik mendampinginya. "Saya membutuhkan yang loyal", alasan
Bardosono, jenderal berbintang satu, ketika memberhentikan trio
yang terdiri dari Jenderal (Pol) Sutjipto Danukusumo Kamaruddin
Panggabean, dan Hans Pandelaki.
Kristalisasi kepengurusan PSSI ternyata tidak makin padu ketika
kursi kepemimpinan yang ditinggalkan trio Sutjipto itu diduduki
oleh Marsekal Muda Dono Indarto, Brigjen Sumantri dan
Joemarsono. Dua nama pertama mengikuti jejak pendahulunya dengan
mengajukan permohonan berhenti. Sementara Joemarsono
diberhentikan dengan hormat oleh Bardosono sendiri.
Tak lama setelah itu KONI, yang selama ini berpegang pada
prinsip 'tidak mencampuri urusan rumah tangga induk organisasi'
akhirnya tak berdiam diri. Tepat pada Hari Kebangkitan Nasional,
20 Mei lalu Ketua Harian KONI, Letjen (Purn) Soeprajogi memakai
momentum itu untuk menyatakan sikap terhadap PSSI. Ia mengajukan
dua alternatif kepada PSSI untuk mengatasi kemelut yang melanda.
Pertama, adakan kongres luar biasa. Kedua, Ketua Umum PSSI
diminta mengundurkan diri. Ia juga memberikan batas waktu pada
PSSI untuk memilih alternatif yang diajukannya itu, sebelum KONI
menentukan sikap 15 Juni depan. Soeprajogi tidak menjelaskan
sikap apa yang diambilnya.
Bardosono dan Anggrek
Ketika KONI menentukan pilihan bagi PSSI, Bardosono sewaktu itu
sedang berada di Paris untuk menghadiri pameran anggrek. Selang
dua hari dari pernyataan KONI itu, ia kembali. Kepada pers, ia
menyatakan bahwa ia tidak akan mundur dengan gertakan KONI
tersebut.
Ia memang tidak mundur dari kursi Ketua Umum sebagaimana yang
dikehendaki KONI. Bardosono hanya surut setapak. Ia melimpahkan
wewenang pimpinan harian kepada Mayjen. Muhono SH, Ketua II
bidang Kompetisi dan Pertandingan PSSI. Penunjukan berdasarkan
SK nomor 12/1977 itu terhitung mulai 24 Mei sampai menjelang
musyawarah PSSI, Desember 1978. Surat Keputusan itu diumumkan
empat hari setelah Bardosono melimpahkan kekuasaan, lewat
pernyataan Ketua Umum PSSI tertanggal 24 Mei yang dibacakannya
di Bina Graha.
Bagaimana reaksi Soeprajogi? "Saya tidak bisa menerima keputusan
Bardosono itu", kata Soeprajogi. Bagaimana kalau Bardosono tetap
tidak menggubris alternatif KONI? "Bardosono atau saya yang
mundur", ancam Soeprajogi.
Pernyataan itu cukup mengejutkan. Selama ini ia tidak pernah
mengeluarkan kata yang demikian keras. Tapi sekaligus bisa ini
dijadikan pertanda bahwa mungkin Soeprajogi berada pada posisi
di atas angin. Sikap keras Soeprajogi itu kelihatan tidak begitu
ditanggapi oleh Bardosono. "Itu urusan pak Soeparjogi", katanya
santai.
Penunjukan Muhono segera ditanggapi pula oleh Ketua Umum
Persija, Brigjen Urip Widodo. Ia mengatakan, penunjukan dengan
predikat 'pimpinan harian PSSI' tersebut tidak akan menjernihkan
persoalan. "Malah menambah permasalahan saja", lanjut Urip
Widodo.
56 Menuntut
Selepas KONI mengajukan alternatif dan Bardosono menetapkan
pilihan, persoalan memang muncul di muka Muhono. Sampai akhir
pekan silam sudah 56 bond yang menentukan sikap menuntut
diadakannya kongres luar biasa. Sembilan belas bond di antaranya
bahkan secara tegas meminta pengunduran diri Bardosono.
Bond-bond yang menentukan garis itu terdiri 4 dari Komda
Sumatera Utara, 15 dari Komda Sumatera Barat, 1 dari Jakarta, 4
dari Komda Jawa Barat, dan 32 dari Komda Jawa Tengah.
Mampukah Muhono memenuhi permintaan kongres luar biasa dari
bond-bond itu? Sekalipun tuntutan itu belum memenuhi kuorum
(belum mencapai 2/3 dari jumlah bond yang bernaung di bawah
PSSI, yakni 276 perkumpulan) Muhono tampak sudah berfikir ke
arah itu. "Permintaan itu akan dipertimbangkan masak-masak",
katanya.
Mungkinkah jalan kongres luar biasa itu akan ditempuhnya? "Tidak
mungkin bantah Bardosono. "Di dalam Anggaran Dasar, hanya Ketua
Umumlah yang menentukan setuju atau tidak dengan desakan kongres
luar biasa itu". Di sini kelihatan bahwa wewenang yang diberikan
Bardosono kepada Muhono itu terbatas. Ia juga mengatakan bahwa
dirinya sama sekali tidak mengetahui adanya tuntutan itu.
"Mestinya tuntutan itu 'kan dikirimkan kepada Ketua Umum PSSI",
tambah Bardosono.
TEMPO: Apakah menurut Bapak kongres luar biasa itu merupakan
jalan keluar dalam menyelesaikan masalah PSSI?
Bardosono: Tidak. Malah akan menimbulkan kekacauan. Karena nanti
akan terjadi pro dan kontra yang mengganggu keamanan umum.
Apakah itu yang dikehendaki mereka? Apalagi nanti menjelang
Sidang Umum MPR (sidang yang dimaksud akan berlangsung bulan
Maret 1978 -- red). Tidak baik situasi dibuat kisruh. Itu akan
mengganggu stabilitas politik. Kalau stabilitas politik
terganggu, keamanan terganggu. Jika keamanan terganggu,
pembangunan terganggu. Apa mau mengganggu suksesnya pembangunan?
Kalau begitu sudah anti atau menentang usaha pembangunan untuk
rakyat. Jadi bertentangan dengan kehendak rakyat. Jadi memusuhi
rakyat. Jadi menentang kebijaksanaan pemerintah. Berarti
menentang pemerintah.
Lahirnya sikap pro dan kontra dalam usaha KONI menurunkan
Bardosono dari kursi pimpinan PSSI memang sukar dielakkan. Sebab
pendukung garis kebijaksanaannya juga tak kecil. Komwil III
PSSI, meliputi daerah Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, dan Timor
Timur yang berada di bawah pimpinan Brigjen Soebandono, menurut
Bardosono, berdiri sepenuhnya di belakang dia. Ia juga menyebut
Komwil IV, yang membawahi bond-bond Indonesia Timur mengikuti
kebijaksanaannya. Tapi, adakah sikap menolak dan setuju
diadakannya kongres luar biasa PSSI itu akan mengganggu
stabilitas politik dan keamanan negara? "Tidak benar sama
sekali", bantah Soeprajogi. Lalu ia membalas: "Yang mengganggu
kestabilan nasional itu adalah sikap Bardosono sendiri".
Kecemasan Soeprajogi melihat sikap Bardosono dalam mengatur roda
organisasi PSSI, memang nampak. Menurut dia, Ketua Umum PSSI itu
sering memakai 'bahasa kekuasaan' dalam urusan sepakbola. Apakah
semua ini gara-gara cara naiknya Bardosono di Yogya dulu, yang
menurut para pengritiknya berlangsung dengan agak "dipaksakan",
sehingga kurang legitimasi, atau dukungan yang murni ikhlas?
Soeprajogi sendiri menolak memberikan contoh 'bahasa kekuasaan'
itu.
Hutang?
Sementara itu Bardosono sendiri yang mengisi kursi pimpinan yang
lowong sepeninggal Dono Indarto dkk. Sekalipun dalam pernyataan
24 Mei ia memberi wewenang penuh pada Muhono untuk melengkapi
kepengurusan PSSI, tapi pengganti yang tampil adalah atas
penunjukan Bardosono sendiri. Mereka adalah Brigjen (Pol)
Soewarno Soeryoputro, bekas pejabat Bendahara PSSI dan kini
menempati kursi Ketua I, Brigjen (Pol) Soehardjo Soeryobroto,
bekas Komisaris Umum dan sekarang menduduki kursi Ketua III,
Sulaiman Siregar SH mengganti Joemarsono sebagai Sekretaris
Umum, dan drs. Sumahar Paisan sebagai pejabat Bendahara.
"Penunjukan mereka itu cuma menambah konflik saja. Karena
melawan aspirasi yang hidup dalam masyarakat", komentar Baron
Harahap, Ketua Biro Olahraga KNPI Pusat, yang juga hadir dalam
pertemuan pers di sekretariat PSSI, Sabtu 28 Mei siang. Menurut
Baron Harahap, aspirasi masyarakat itu adalah tuntutan pada
perbaikan, perombakan, dan kongres luar biasa PSSI.
Tapi pendapat yang menopang kepengurusan baru itu juga ada.
"Pengurus sekarang lebih tahu bola. Sedang dulu, tidak", kata
Soebronto, bekas direktur Pertandingan dan Kompetisi PSSI -- ia
diberhentikan oleh Bardosono terhitung 24 Mei 1977.
Mereka mungkin tahu banyak mengenai seluk beluk persepak-bolaan.
Tapi mampukah mereka mengelola organisasi dalam beban hutang
yang bertumpuk? Hutang PSSI sekarang ini, menurut Sowarno
Soeryoputro, berjumlah Rp 84 juta rupiah. "48 juta tunggakan ke
luar dan 36 juta atas tanggungan Ketua Umum, Bardosono", ujar
Soewarno menurunkan perincian. Maksud tanggungan Ketua Umum itu
adalah bahwa PSSI mempunyai hutang pada Ketua Umum PSSI.
Bardosono mengakui hutang itu ada. "Tunggu saja tanggal
mainnya.! Akan saya beberkan semua pemasukan dan penerimaan
PSSI", kata Bardosono.
TEMPO: Berapa omzet PSSI selama kepengurusan bapak?
Bardosono: 2 milyard rupiah lebih. Mengenai perinciannya bisa
dicek sama Bendahara.
TEMPO: Ada pendapat yang mengatakan PSSI di bawah kepengurusan
bapak makin semrawut saja. Apakah itu betul?
Bardosono: PSSI di bawah saya tidak semrawut. Hanya orang-orang
yang beritikad tidak baik saja yang mengatakan semrawut.
TEMPO: Bapak mengatakan bahwa bapak tidak akan mundur sebagai
Ketua Umum PSSI (pertanyaan ini langsung dijawab oleh Batdosono:
"Ya" Maksudnya, ia akan tetap bertahan sebagai pucuk pimpinan
PSSI). Bagaimana kalau KONI membekukan kegiatan PSSI jika bapak
masih bersikeras?
Bardosono: Tidak bisa. PSSI jalan terus. Kalau dibekukan,
masyarakat 'kan rugi. Nanti tidak ada sepakbola.
Garis kebijaksanaan yang bakal diumumkan 15 Juni depan, jika
alternatif yang dilontarkannya pada PSSI tidak dipenuhi, belum
jelas memang. Tapi ada yang sudah cemas. "Saya kuatir
persoalannya akan semakin parah dan berlarut-larut", komentar
orang dalam PSSI yang berkeberatan ditulis nama (takut dipecat,
barangkali). "Kalau dia memang tak mau mundur, jalan lain adalah
kongres luar biasa. Tapi biayanya dari mana?
Kan sekarang ini PSSI lagi defisit". Menurut dia, biaya kongres
luar biasa tak cukup 15 juta rupiah. Untuk itu ia mengusulkan
referendum saja. "Dengan referendum, kita cuma mengirimkan
fonrmulir ke bond-bond. Itu 'kan lebih menghemat, bukan?" lanjut
si orang dalam.
Di mata pengamat olahraga, penunjukan Muhono, sekalipun Muhono
sendiri mengakui secara de facto kekuasaan berada di tangannya,
memang belum merupakan penyelesaian final. Apalagi Soeprajogi
sudah menyatakan keberatannya terhadap penunjukan itu.
Perbedaan pendapat memang suatu hal yang layak. Tapi berbedanya
jalan fikiran mengenai masalah PSSI kini agak tak mengenakkan.
Tapi apa boleh buat: perbenturan pendapat, betapapun tak
mengenakkannya, rupanya harus terjadi karena banyak keinginan
yang baik bagi PSSI. Bahwa semua itu berlangsung secara terbuka,
tak dapat dielakkan. PSSI adalah soal organisasi sepakbola yang
merasa dimiliki oleh banyak orang Indonesia. Bukan hanya
sekelompok bapak-bapak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini