TARIF bis kota di Jakarta akan naik lagi? Pemerintah belum
sampai mengumumkan hal itu. Tapi tanda-tanda menuju kenaikan
tarif angkutan umum itu agaknya seperti tinggal menunggu hari
baik saja. "Kami sudah lama memperjuangkannya", kata Gozali dari
perusahaan bis Merantama kepada TEMPO. Dan kenaikan itu, menurut
L. Silalahi dari PT Saudaranta, "memang sudah wajar". Karena
selama ini, dengan tarif yang Rp 30 itu, Saudaranta menurut dia
hidup dalam keadaan merugi. "Untuk biaya eksploitasi saja, tarif
yang sekian itu, tak mencukupi", katanya.
Merantama, dengan armada 200 bis kota, tidak mengoperasikan
semua kendaraannya. "Paling-paling jalan 70%", kata Silalahi.
PPD, perusahaan angkutan milik pemerintah DKI, juga demikian.
"Yang nongkrong di pool itu", menurut Gozali, "karena kami tak
mampu lagi mengganti onderdil yang rusak". Keadaan usaha bis
kota memang sudah payah. "Boro-boro untuk mengembalikan kredit",
keluh pengusaha yang lain. Pengembalian kredit bidang angkutan
umum ini memang macet.
Sejak tahun 1969 hingga lima tahun kemudian perusahaan bis kota
swasta memperoleh kendaraan 2000 buah bis. Itu bantuan dari
Amerika (US-AID). Pengusaha memperolehnya, liwat pemerintah
Indonesia, secara kredit. Setelah jatuh bangun mengelola
kendaraan itu, akhirnya bulan Maret tahun ini, keadaannya makin
nyata: kredit macet. Hutang pokok perusahaan swasta itu kini
mencapai Rp 4 milyar. Itu masih harus ditambah bunga Rp 869
juta. Sementara PPD, punya pemerintah DKI, juga masih menanggung
hutang sekitar Rp 1,8 milyar - belum termasuk bunganya Rp 714
juta.
Dalam wawancaranya dengan Sinar Harapan, akhir bulan lalu, Wakil
Gubernur DKI Prajogo berkata terus terang: situasi bis kota di
Jakarta akhir-akhir ini cukup suram. Ini diperkuat oleh
keterangan fihak perusahaan asuransi yang melayani bis kota.
Seorang pengusaha asuransi, kepada TEMPO, menyatakan: "Kami
enggan melayani asuransi bis kota lagi". Alasannya singkat:
"Mereka lebih sering mengajukan klaim, tapi seret membayar
preminya".
Menurut Prajogo hanya ada dua cara untuk menggairahkan kembali
usaha bis kota. Pertama, yang cukup mendesak, ialah perlunya
kenaikan tarif dari Rp 30 menjadi Rp 50. Berikutnya, menurut
wagub, usaha bis kota yang sangat menyangkut kehidupan sebagian
besar warga ibukota - harus mendapat subsidi dari pemerintah
sendiri.
Membagi Beban
Tapi kenaikan tarif bis kota rupanya tak semudah menaikkan tarif
parkirnya DKI Jaya. Kalau para 'penjaga' kendaraan dengan
seragam jingga itu sejak beberapa waktu lalu dengan enaknya
menyodorkan tarif Rp 100 untuk sekali parkir - tak peduli apakah
itu selama jam-jam sepi atau hari Minggu - soal menaikkan tarif
bis kota itu ternyata melibatkan pemikiran berbagai instansi.
Mengapa sampai banyak fihak ikut terlibat, menurut seorang
pejabat, bukan disebabkan tarif itu sendiri ataupun tanggal
pengumumannya. "Tapi perlu dipersiapkan masa pematangan agar
kenaikan itu bisa diterima masyarakat", katanya.
Kalau benar begitu, soalnya lebih bersifat non-ekonomis alias
tak membuat masyarakat kaget. Tapi beberapa kalangan yang
mengetahui beranggapan, seharusnya rencana kenaikan tarif itu
tak seluruhnya dibebankan ke kantong penumpang. Itu, kalau saja,
pengusaha tak terlalu berat menanggung beban pembayaran kembali
kreditnya.
Kabarnya bantuan dari pemerintah AS itu disertai persyaratan
yang cukup ringan: bunganya cuma 9 setahun. Tapi para pengusaha
bis kota, kemudian harus membayarnya kembali melalui bank di
sini dengan bunga 15% setahun. Jadi masalahnya adalah bagaimana
sebaiknya membagi-bagi beban hutang, tanpa membuat kaget para
penumpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini