KAMIS 9 Juni nanti, setelah bersidang 2 hari, penghitungan suara
untuk pemilihan anggota DPR oleh Panitia Pemilihan Indonesia
baru berakhir. Penghitungan itu berdasarkan Berita Acara hasil
penghitungan suara yang disetor oleh Panitia Pemilihan Daerah
Tingkat I. Tapi sampai pekan lalu PPP dan PDI masih
memperdengarkan tuntutan penghitungan, bahkan pemungutan suara
ulang di beberapa kabupaten. Baik PDI maupun PPP tidak menyebut
berapa kabupaten di setiap daerah. Yang pasti, ada 10 kabupaten
di Jawa Timur yang oleh PDI dianggap perlu diadakan ulangan
pemungutan suara.
Penghitungan ulang misalnya diminta oleh DPD PDI Jawa Tengah,
sementara pemungutan ulang untuk beberapa kabupaten dituntut
oleh DPD PDI Jawa Timur dan Sumatera Utara. Suara lebih keras
terdengar dari DPD PDI Sulawesi Selatan. Mereka menyatakan bahwa
pemilu di sana telah berlangsung tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Lain lagi dengan DPD PDI Bali. Mereka, sampai sekarang lebih
sibuk dengan kasus-kasus yang terjadi justru setelah 2 Mei.
Kasus-kasus yang boleh disebut sebagi balas dendam itu juga
dialami oleh PPP, misalnya di Jawa Timur. Dua pekan lalu DPW PPP
Jawa Timur mendesak pemerintah daerah agar "memberi jaminan
perlakuan hukum terhadap rakyat, terutama di desa-desa". Mereka
mensinyalir adanya "perlakuan tak adil terhadap rakyat kecil
dalam hal urusan masyarakat seperti surat jalan, surat kawin,
surat jual hewan".
Menanggapi laporan dari daerah DPD PDI di Jakarta tak tinggal
diam. "Secara umum kami mendukung setiap permintaan DPD atau DPC
PDI untuk mengadakan penghitungan atau pemungutan suara ulang,
sesuai dengan sidang DPP PDI tanggal 2 Mei", kata Sabam Sirait
kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO. Sekjen DPP PDI itu belum bisa
menyebut secara pasti tindakan apa yang akan ditempuh
selanjutnya. "Masih menungg perkembangan", katanya. Tapi menurut
Sabam, "sampai pada waktunya nanti, PDI akan mengeluarkan
pernyataan politik".
Tindakan sama juga dilakukan oleh PPP. DPW PPP Jawa Tengah, tak
bersedia menandatangani Berita Acara yang memuat hasil
penghitungan suara. Demikian pula saksi-saksi dari PPP di
beberapa daerah Sumatera Barat. Ini memang sesuai dengan
instruksi DPP PPP kepada seluruh aparat di bawahnya, apabila
ternyata terdapat keragu-raguan terhadap hasil penghitungan
suara di daerah masing-masing.
Suara Yang Dikorup
Sementara itu DPW PPP Jawa Timur setelah rapat di Surabaya 22-23
Mei bahkan menarik semua wakil PPP dalam keanggotaan di Panitia
Pemilihan Daerah tingkat I maupun tingkat II. Tapi Sunandar
Prijosudarmo tetap bertahan. Gubernur Jawa Timur yang juga ketua
PPD I itu menyatakan PPD Jawa Timur akan jalan terus, sebab
rapat-rapat masih bisa mencapai korum meskipun tak diikuti oleh
salah satu kontestan.
Menanggapi sikap Jawa Timur itu, Chalid Mawardi menilainya
sebagai protes. "Itu adalah manifestasi dari sikap kami yang
menyatakan tak bertanggungjawab atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi justru setelah pemilu 2 Mei", katanya. Tapi buru-buru ia
menambahkan bahwa sikap seperti itu tak ada hubungannya dengan
anggapan tentang sah tidaknya pemilu.
"Sah tidaknya pemilu, tergantung dari penghargaan kita terhadap
suara yang kita peroleh", lanjutnya. "Dan pengorbanan rakyat
tentu saja juga menjadi pertimbangan yang sangat menentukan
apakah kita menerima hasil pemilu atau tidak", tambahnya. Yang
pasti, PPP tetap pada sikap semula: tidak bersedia
menandatangani Berita Acara apabila terdapat keragu-raguan dalam
penghitungan suara. "Kami tak mau mempertanggungjawabkan suara
yang dikorup", katanya.
Bukan hanya soal penghitungan suara saja yang dianggap serius.
Kegagalan kedua parpol itu untuk membawa berbagai persoalan yang
terjadi dalam masa kampanye ke sidang Komisi II DPR pun rupanya
tak membuat mereka putus asa. Forum Kontak Komunikasi yang
diselenggarakan beberapa kali oleh Kas Kopkamtib untuk
menyelesaikan - lebih tepat memusyawarahkan -- kasus-kasus
seperti itu tampaknya juga tidak memuaskan mereka.
Hak Interpelasi
Maka pekan lalu PDI menyatakan akan melancarkan hak interpelasi.
Dan niat PDI itu kontan disambut oleh PPP. "Interpelasi itu
menyangkut hal-hal yang langsung atau tak langsung dengan
peristiwa-peristiwa sebelum, selama dan sesudah kampanye dan
pemilu", kata Sabam. "Hak seperti itu sebenarnya biasa saja, hak
konstitusionil yang dimiliki oleh setiap anggota DPR".
Itulah sebabnya Sabam tak sependapat kalau ada anggapan seolah
ada maksud-maksud tertentu, apalagi untuk mengundang MPR
bersidang. "Kami hanya ingin minta keterangan pemerintah dalam
batas konstitusionil. Dan kita tak perlu menghindari konflik
pendapat lebih lama. Konflik itu juga tak perlu disimpan",
lanjutnya.
Chalid Mawardi juga menyayangkan sikap a priori bahwa pengajuan
interpelasi itu dianggap mengarah pada tuntutan sidang MPR.
"Secara tehnis sidang MPR tak mungkin diselenggarakan", katanya.
Ia malah heran, kalau pagi-pagi Golkar sudah menyatakan
penolakannya. "Interpelasi itu ditujukan kepada pemerintah,
bukan kepada Golkar", tambahnya.
Pekan lalu Cosmas Batubara dari DPP Golkar memang menanggapi
maksud PDI mengajukan interpelasi itu. Ia sendiri belum jelas
apa yang dikehendaki oleh PDI. "Apa hanya sekedar minta
keterangan dari pemerintah?" tanyanya. Kalau ada maksud lebih
jauh, minta diadakannya sidang istimewa MPR, "jelas Golkar tidak
akan menyetujuinya".
Sabam balik menyatakan, "mana tahu Fraksi Karya juga menganggap
hal itu sudah lama kita tunggu-tunggu untuk diajukan".
Maksudnya, karena hak seperti itu merupakan yang pertama kali
diajukan selama masa kerja DPR yang hampir 5 tahun, tentu
menarik untuk diikuti oleh semua fraksi termasuk Fraksi Karya
dan ABRI. Cuma yang jadi pertanyaan ialah, mengapa hak seperti
itu - seperti halnya hak amandemen, hak inisiatif, hak angket
dan sebagainya selama ini tidak pernah dipergunakan?
Mungkinkah PDI, yang didukung oleh PPP, akan berhasil menggolkan
in terpelasi itu menjadi keputusan DPR untuk minta keterangan
kepada pemerintah? "Saya harap berhasil meski di atas kertas
agak sulit", jawab Sabam yang tampaknya mengharapkan sebuah
surprise. Tapi Chalid Mawardi optimis, usul interpelasi itu bisa
masuk dalam masa persidangan DPR sekarang. "Ini tak ada
hubungannya dengan mosi tidak percaya", tambah Chalid. Kata
Sabam pula: "Itu kan sama saja dengan pernyataan pendapat DPR
yang pernah disampaikan" Dia menunjuk pernyataan pendapat Ketua
Komisi VI Jacob Tobing dari Golkar mengenai ekonomi lemah atau
mengenai Proyek Mini beberapa waktu lalu.
Dalam pasal 11 Peraturan Tata Tertib DPR disebutkan, bahwa usul
interpelasi itu bisa diajukan apabila ditandatangani
sekurang-kurangnya oleh 30 anggota dan harus terdiri lebih dari
satu fraksi. Setelah diberitahukan dalam sidang pleno,
dibicarakan dalam sidang Badan Musyawarah. Bisa tidaknya usul
interpelasi itu menjadi keputusan DPR untuk diajukan kepada
pemerintah, dalam hal ini Presiden, akan ditentukan dalam sidang
pleno berikutnya.
Tapi lain penilaian parpol, lain pula penilaian pemerintah
tentang hasil pemilu yang baru liwat. Selesai bertemu dengan
Presiden di Istana Merdeka, Sabtu kemarin, kepada pers Menteri
Penerangan Mashuri menyatakan bahwa, Presiden menilai pemilu
1977 sebaai "telah berjalan baik, dilakukan dengan azas
langsung, bebas dan rahasia. Karena itu pemilu 1977 dan hasilnya
adalah sah". Dan Mashuri, yang hari itu banyak tertawa dalam
mengelak pertanyaan pers, menganggap protes-protes yang tumbul
di seputar pemilu itu sebagai "siasat politik", sekalipun
mengakui adanya pelanggaran-pelanggaran yang, menurut menteri,
"dilakukan semua pihak".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini