BENNY Wijaya akhirnya tersandung juga. Pemain klub Nugra Santana yang baru berusia 18 tahun ini adalah pemain terakhir Indonesia -- dari enam pemain yunior -- yang bertahan di turnamen tenis Australia Terbuka Yunior. Di perdelapan final, Jumat pekan lalu, Benny diganjal unggulan pertama asal Swedia, Thomas Enqvist. Di lapangan Flinders Park, Melbourne, Benny -- yang punya tipe bermain baseliner -- sama sekali tak bisa mengandalkan pukulan forehand top spin-nya. Enqvist yang juga baseliner menang telak, 6-4 dan 6-1. Maka, pupuslah harapan para yunior Indonesia untuk bicara lebih banyak dalam turnamen seri grand slam itu. Tapi, prestasi Benny Wijaya boleh dibilang lumayan. Hanya Yayuk Basuki dan Atet Wiyono di masa yunior yang pernah melewati babak 16 Besar -- yang dicapai Benny sekarang ini. Namun, kalau prestasi Benny diukur dari peringkat International Tennis Federation (ITF) yang dimilikinya, ia jauh menurun. Pada Januari 1990, pemain yang punya tinggi 178 cm ini pernah mencapai peringkat ke-3 ITF. Sekarang Benny di peringkat ke-36. Itu sebabnya, di Australia Terbuka, Benny hanya diunggulkan di tempat ke-15 -- yang di babak-babak awal sudah harus bertemu dengan unggulan utama. Di antara petenis yunior yang kita miliki, Benny berada jauh di depan, meninggalkan rekan-rekannya. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk tenis dan sudah lama meninggalkan bangku sekolah. Dan yang penting, Benny didukung oleh klub yang secara finansial tangguh. Artinya mampu mengirim Benny ke turnamen mana saja. Mengirim pemain membutuhkan biaya besar. Menurut Yunus Yamani, salah satu pengurus klub Nugra Santana, dalam setahun seorang pemain bisa menghabiskan Rp 100-150 juta. "Dana memang masih masalah utama pembinaan tenis yunior," kata Yunus, bekas Sekretaris Komite Pembinaan PB Pelti itu. Dan bagi Ponco Sutowo, pemilik klub Nugra Santana itu, dana agaknya tak jadi masalah. Tapi, berapa banyak klub setangguh itu dananya? Selain Nugra, paling adalah Pelita Jaya milik Aburizal Bakrie, bos Bakrie Brothers itu. Kemudian Mercu Buana, milik pengusaha Probosutedjo, dan UMS yang didukung oleh Astra Group. Repotnya lagi, klub-klub itu juga sulit mendapatkan pelatih yang andal. "Pelatih-pelatih yang baik biasanya memilih mengajar di sekolah tenis, yang honornya tentu lebih besar," kata Yunus Yamani. Selain dana, Yunus Yamani melihat tenis masih jadi "kegiatan sampingan" anak-anak muda. "Mereka rata-rata masih ragu, mau pilih sekolah atau tenis," kata Yunus. Yang meninggalkan bangku sekolah untuk tenis seperti Benny Wijaya masih langka. Dengan kendala seperti itu, prestasi Benny Wijaya bolehlah dicatat. Di Antara pemain Asia, peringkat Bennylah yang tertinggi. Dalam Australia Terbuka tadi, pemain Asia yang mampu masuk 16 Besar hanya Song Hyung Guen dari Korea Selatan -- dan juga tergusur di perdelapan final. "Prestasi pemain putra yunior kita masih seimbang dengan Korea dan Jepang, tetapi secara teknis kita masih jauh dari Eropa dan Australia," kata pengamat tenis Benny Mailili, yang juga manajer klub Mercu Buana, lewat telepon internasional dari Melbourne pada Andy Reza dari TEMPO, Kamis pekan lalu. Tentu dengan catatan bahwa India punya Leander Paes, juara Wimbledon yunior 1990, yang absen di Australia. Di bagian putri, prestasi yunior Indonesia masih di belakang Jepang. Atlet putri Jepang Ai Sugiyama, 16 tahun, peringkat ke-21 ITF mampu mencapai semifinal. Prestasi terbaik putri Indonesia dicatat oleh Mimma Chernovita, 16 tahun, yang lolos dari babak pertama dan kemudian dikalahkan oleh Joanne Limmers, pemain tuan rumah, yang menempati unggulan kedelapan. Di kemudian hari, Indonesia agaknya akan bersaing ketat dengan Jepang, Korea, dan juga Filipina untuk tingkat Asia. Perimbangan ini akan makin seru dengan catatan yunior Indonesia semakin banyak bertanding. Tanpa itu, mungkin akan tercecer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini