PERANG Teluk telah melahirkan istilah baru: ecoterrorism, terorisme lingkungan. Amerika Serikat pekan lalu menuduh Irak melakukan teror ekologis dengan menumpahkan minyak mentah ke perairan Teluk Persia. Diduga tujuannya terutama untuk menghambat pendaratan pasukan Sekutu ke Kuwait. Irak membantah. Dalam suratnya yang ditujukan kepada PBB Jumat pekan lalu, negara itu balik menuduh Amerika Serikatlah yang menyebabkan tumpahan itu, yang timbul akibat dibomnya dua tanker minyak Irak Selasa pekan lalu. AS kemudian memang mengakui, pengebomannya mungkin telah menyebabkan tumpahan minyak, tetapi pasti tidak sebesar yang telah terjadi. Senin pekan ini, komandan pasukan AS Jenderal Norman Schwarzkopf mengumumkan, pesawat-pesawat F-111 AS telah meledakkan dua pipa utama yang menghubungkan ladang minyak Ahamdi dengan terminal lepas pantai, yang diduga menjadi sumber tertumpahnya minyak itu. Api yang menyala di terminal itu dilaporkan telah mengecil, suatu bukti bahwa tekanan minyak telah menurun hingga bahaya akibat genangan minyak itu "telah separuh teratasi". Usaha selanjutnya adalah bagaimana membatasi agar genangan itu tidak meluas. Genangan itu memang membuat miris. Instalasi penyulingan air laut -- yang memasok sekitar dua pertiga kebutuhan air tawar -- di negara-negara Teluk bisa macet. Pembangkit listrik yang menggunakan air laut sebagai pendingin juga terancam. Yang lebih menakutkan, kehidupan fauna, seperti ikan dan udang, di Teluk bisa punah. Jutaan burung migran akan binasa. "Meski nantinya genangan itu telah lenyap, ekosistem di wilayah itu telah rusak. Mungkin perlu 200 tahun bagi air di Teluk itu untuk pulih," ujar Nicole King Volcy, pakar minyak dari Worldwide Fund for Nature. Diperkirakan genangan itu panjangnya sekitar 50 km, lebar 12 km, dan mendekati pantai Arab dengan kecepatan 24 kilometer per hari. Akhir pekan lalu, jumlah minyak yang tertumpah ditaksir 500 ribu sampai 6 juta barel, dan konon bertambah 100 sampai 200 ribu barrel tiap hari. Banyak yang percaya, bila tidak disetop, genangan itu akan menjadi yang terbesar dalam sejarah. Lebih besar dari genangan Extoc di Teluk Meksiko, Juni 1979-Maret l980, yang menumpahkan 10,2 juta barel minyak. Dalam catatan, meski cuma menempati peringkat ke-21 dalam jumlah minyak yang tertumpah (1,25 juta barel), genangan akibat tanker Exxon Valdez yang menabrak karang di Alaska, 1989, merupakan bencana yang terburuk. Soalnya, minyak Exxon Valdez kadarnya berat hingga gampang tenggelam dan melekat pada apa saja, dari karang sampai burung. Yang menyulitkan, perairan Teluk -- panjangnya sekitar 1.000 km -- dikenal dangkal dan merupakan perairan tertutup hingga tak mampu "membersihkan diri" seperti yang dilakukan laut terbuka. Namun, minyak Kuwait tergolong ringan hingga mudah menguap bila ditimpa terik matahari Teluk. Bagaimana cara mengatasi genangan ini? Minyak mentah yang tertumpah di laut sulit dibakar. Suasana perang juga tidak memungkinkan dipasangnya berbagai penangkal tumpahan minyak seperti spons, penyendok minyak, atau boom (pelampung penahan minyak). Penggunaan cairan kimia atau biologis untuk memecah molekul minyak ditentang banyak ahli lingkungan karena kedua bahan itu bisa mencemari juga. Saran lain: menggunakan bioremediasi. Yakni menyebarkan bakteri alamiah yang sanggup "menyantap" genangan minyak itu. Juni 1990, cara ini pernah digunakan untuk membersihkan sekitar 100 ribu barel minyak yang tumpah dari tanker Norwegia Mega Borg yang terbakar di Texas. Masalahnya, cara ini belum pernah dilakukan untuk menangani genangan raksasa seperti yang ada di Teluk saat ini. Tak ada jaminan populasi bakteri yang dilepas itu bisa terkontrol. Singkatnya, teknologi yang ada belum sanggup menangani pencemaran laut yang terjadi. Maka, satu-satunya harapan adalah agar perang lekas berhenti, supaya pencemaran itu bisa cepat ditangani. SP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini