PENCIPTA lagu di Indonesia memasuki tahun 1991 ini bagaikan mendapat berkah. Selama ini, jika sebuah lagu meledak di pasaran, yang kaya adalah produser rekaman dan penyanyi -- itu pun kalau si penyanyi dibayar berdasarkan royalti. Si pencipta tak mendapatkan tambahan. Kini, pencipta lagu boleh bergembira. Semakin sering lagunya dinyanyikan, semakin banyak duit yang ia terima. Yang memungut duit-duit itu dan kemudian menyerahkannya kepada si pencipta adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Hak memungut itu sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) yang sudah diundangkan 1987. Hak ini disebut performing right yang sekarang dipopulerkan dengan hak pengumuman. "Kita telah melangkah maju. Pencipta lagu kita dihargai seperti halnya rekan-rekan musisi di luar negeri walaupun baru satu sen dua sen," ujar Oddie Agam, salah satu pencipta lagu pop yang produktif belakangan ini, kepada Ivan Haris dari TEMPO. Hanya saja, suami penyanyi Chintami Atmanagara ini agak pesimistis tentang kemampuan YKCI untuk memantau penyiaran lagu-lagu sampai ke tempat-tempat hiburan yang kecil. "Untuk mencapai pemantauan yang seratus persen memang sulit, di Eropa dan Amerika saja harus merangkak dulu," kata Oddie. Oddie Agam benar. Sebagai barang baru di Indonesia, hak pengumuman seperti ini memerlukan kehati-hatian untuk melaksanakannya. YKCI saja, misalnya, walau sudah didirikan beberapa saat setelah diundangkannya UUHC 1987, baru dikukuhkan akta pendiriannya oleh pemerintah Juni tahun lalu. Yayasan ini diketuai oleh Enteng Tanamal yang juga Ketua PAPPRI -- organisasi pencipta lagu di Indonesia. YKCI sudah diakui oleh Pemerintah sebagai satu-satunya lembaga yang akan memungut dan mendistribusikan hak pengumuman di Indonesia. Bahkan pertengahan Januari lalu, YKCI sudah mendapatkan "hak kuasa" untuk memungut royalti lagu-lagu asing yang disiarkan di Indonesia. Kuasa itu diberikan oleh The International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC) -- organisasi induk pengelola performing right sedunia yang berkedudukan di Swiss. Sebaliknya, YKCI pun sudah mendaftarkan lagu-lagu Indonesia kepada CISAC agar meneruskan kepada lembaga sejenis di berbagai negara untuk memunguti performing right itu. Sebenarnya, sesuai dengan UUHC, yang berhak memungut performing right itu adalah si pencipta lagu itu sendiri. Dalam pelaksanaannya tentu tak mungkin. Karena itu, dibentuk sebuah badan, ya, YKCI ini. Supaya YKCI punya kekuatan hukum sebagai pengelola hak pengumuman, "si pencipta lagu tentu harus memberikan kuasanya kepada YKCI," kata Enteng Tanamal. Mengapa lembaga ini berbentuk yayasan? "Karena tidak mencari untung, semua uang akan disalurkan kepada pencipta setelah dipotong ongkos yang dikeluarkan YKCI," kata Enteng lagi. Yang menjadi sasaran performing right ini adalah semua pengguna musik untuk tujuan komersial, antara lain pengelola televisi, radio, diskotek, karaoke, restoran, hotel. Dan juga pertunjukan langsung. Namun, agaknya performing right atau hak pengumuman ini -- termasuk lembaga YKCI -- belum banyak diketahui orang. Bahkan ada pencipta lagu seperti Pance Pondaag yang mengaku belum kenal YKCI. Karena itu, reaksi yang muncul simpang-siur. Manajer operasi diskotek Ebony di Jakarta, Hendy Pramudi, menyebutkan pemungutan royalti ini mengada-ada. "Kami membeli piringan hitam lagu-lagu luar negeri dan otomatis sudah membayar royaltinya," kata Hendy. Lain lagi komentar Antonius Triantarto, redaktur musik radio Suara Kejayaan Jakarta. "Keputusan itu hendaknya ditinjau. Kalau tidak, mana ada radio yang mau memutar lagu-lagu Indonesia," katanya. "Apa pencipta lagu Indonesia sudah siap bersaing dengan seniman-seniman Barat?" Dua contoh ini menunjukkan bagaimana asingnya pengelola radio dan diskotek tentang performing right dan bahkan mereka mengira pungutan itu cuma untuk penyiaran lagu-lagu Indonesia. Mengapa hal itu bisa terjadi? "Selama ini kami mengadakan kontak dengan induk-induk organisasinya. Untuk radio kami menghubungi PRSSNI, untuk hotel dan restoran kami hubungi PHRI," kata Candra Darusman, pemusik yang duduk sebagai Ketua Bidang Usaha YKCI. Usaha YKCI untuk "memperkenalkan diri" sudah banyak dilakukan. Menurut Candra Darusman, sejak tahun lalu yayasan sudah mengirim surat ke berbagai perusahaan yang bergerak di bidang hiburan. Yayasan pun sudah melakukan serangkaian pembicaraan terutama untuk menentukan berapa besar pungutan yang akan dilakukan. "Tarif itu berbeda-beda untuk radio dan hotel, misalnya," kata Candra. Bahkan untuk radio tarifnya juga tergantung berapa persen program musiknya, karena ada radio yang banyak menyiarkan sandiwara. Setelah tarif ditentukan, royalti dipungut berdasarkan jumlah lagu yang disiarkan menurut catatan yang diisi sendiri oleh para users (pemakai musik). Tarif itulah yang kini digodok dan hampir rampung. "TVRI sudah siap membayar," kata Direktur Televisi Ishadi Sk. sambil menyebutkan bahwa masalah ini harus segera direalisasikan karena menyangkut masa depan pencipta lagu. TVRI, menurut Ishadi, sudah menyiapkan anggaran Rp 200 juta setahun untuk hak penayangan lagu itu. "Royalti itu tidak kita bebankan kepada produser maupun penyanyi. Ini kewajiban kita," katanya. RCTI pun siap membayar. Cuma, "Formulasi tarifnya belum sreg dan masih perlu dibicarakan lagi," kata Alek Kumara, Direktur Teknik RCTI. Sebagai sesuatu yang baru, mungkin ada baiknya YKCI tak usah terburu-buru. Putu Setia, Moebanoe Moera dan Bambang Aji S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini