LAPANGAN keras Flinders Park, Melbourne, membara dibakar matahari 54 derajat Celsius. Di "neraka" seperti itu, disaksikan hampir 15 ribu penonton, dua jawara tenis dunia Ivan Lendl dan Boris Becker tampil di final Australia Terbuka, Minggu lalu. Lendl, contoh seorang baseliner sejati, menghunjamkan pukulan-pukulan kerasnya dari belakang. Sementara itu, Becker, yang selalu tak sabar untuk menyerbu ke jaring, juga siap mematahkan setiap pukulan dengan volinya yang tajam. Sudah 18 kali keduanya bertemu sebelum ini, dengan skor sama kuat 9-9. Sepanjang tahun 1990 lalu, skornya juga 2-2. Pertandingan ke-19 mereka di terik panas, selama tiga jam lima menit itu, akhirnya membuktikan Boris Becker masih lebih kuat dari Ivan Lendl. Anak Leimen, Jerman, itu langsung menduduki peringkat pertama dunia. Plus hadiah pertama US$ 250 ribu atau Rp 462,5 juta. Becker dan Lendl punya obsesi dan kendala sendiri-sendiri siang itu. Becker, 23 tahun, yang sudah empat kali merebut gelar juara turnamen grand slam, tak sekalipun pernah mencatat prestasi bagus di Flinders Park. Prestasi terbaik adalah perdelapan final tahun lalu. Saking jengkelnya, pemain yang sudah mengumpulkan US$ 8,16 juta selama kariernya ini akhirnya mengontrak pelatih asal Melbourne, Bob Brett. Dan Becker datang di Melbourne sebelum Natal lalu untuk menyesuaikan diri dengan suhu panas Benua Kanguru. Lendl, 30 tahun, orang Ceko yang kini menetap di Amerika, sangat ingin mencetak rekor tiga kali berturut-turut menjuarai Australia Terbuka. Kalau itu terjadi, Lendl akan menjadi orang kedua yang terbanyak menjuarai Australia Terbuka setelah Roy Emerson -- orang Australia yang juara pada 1963-1967. Namun, peraih delapan gelar juara grand slam ini punya hambatan khusus: ia tak pernah menang dari Becker di turnamen grand slam. Empat perjumpaannya dengan Becker -- di final Wimbledon (1986), semifinal Wimbledon (1988 dan 1989), serta final AS Terbuka (1989) -- selalu berakhir dengan kekalahan. Dan ternyata, Lendl, yang selama karier tenisnya sudah meraup US$ 16,77 juta, gagal untuk menciptakan sejarah. Yang membuat sejarah justru Patrick McEnroe. Adik kandung petenis urakan John McEnroe yang peringkat 114 dunia ini bisa masuk semifinal -- dan akhirnya kalah dari Boris Becker. Ini adalah prestasi terbesar Patrick. Ia baru dua kali terjun di turnamen grand slam. Dalam hal temperamen, Patrick, sekarang 24 tahun, berbeda dengan sang kakak tertua yang berbeda usia delapan tahun (di antara John dan Patrick masih ada Mark, yang memilih profesi jadi pengacara). "Dia kalem sekali. Gaya dasar mainnya juga baseliner," ujar pengamat tenis Indonesia, Benny Mailili, yang menyaksikan langsung permainan Patrick di Flinders Park. Patrick tak sekali pun kena denda karena melanggar aturan, sementara John tahun lalu diusir dari lapangan oleh wasit. Tentang Patrick, pemain Australia Mark Woodforde yang dikalahkan Patrick di perempat final punya komentar, "Saya tak bisa bilang ia lebih baik dari John. Dia tak punya servis dan kecepatan sebagus John. Tapi kalau dia main sebaik tadi, ia mungkin bisa mengalahkan John." Bisa benar, bisa tidak. Yang jelas, ketika dua McEnroe itu bertemu di sebuah turnamen di Stratton Mountain, Vermont, Agustus 1985, John unggul telak atas Patrick, 6-1 dan 6-3. John yang banyak "warna-warni" memang jauh lebih menarik ketimbang Patrick. Sang adik juga tak semeriah John dalam soal aksesori. Ia tak pakai bandana di seputar kepala, atau pemoles muka warna-warni Oz Zinc di muka. Tak ada puluhan fotografer membidiknya, atau artis cantik di boks keluarga di samping lapangan, seperti yang hampir selalu melekat pada John. Yang terpenting, Patrick tak punya "sumpah serapah" pada wasit, hal yang menjadi "kegemaran" John. Di bagian putri, sejarah mencatat tumbangnya unggulan pertama Steffi Graf di perdelapan final. Graf, yang tampaknya sangat terpengaruh atas gosip penyelewengan ayahnya, Peter Graf, gugur di tangan unggulan ke-10 dari Ceko-Slovakia, Jana Novotna. Pemain 22 tahun ini adalah juara ganda tiga turnamen grand slam bersama Helena Sukova. Pupuslah harapan Steffi Graf untuk menjuarai turnamen berhadiah total US$ 6 juta ini untuk keempat kalinya berturut-turut. Di final, Novotna, yang sebelum turnamen ini menjuarai New South Wales Terbuka, ditumbangkan pemain Yugoslavia Monica Seles. Dari beberapa kali pertemuan, Jana Novotna pernah sekali mengalahkan Seles di kejuaraan Eropa indoor di Zurich pada 1989. Dan gelar Australia ini, bagi Seles, adalah gelar grand slam-nya yang kedua, setelah Prancis Terbuka 1990. Seles kini jadi orang termuda yang menjuarai Australia Terbuka, dalam usia 17 tahun 55 hari, empat bulan lebih muda dari Margareth Court ketika juara pada 1960. Walhasil, tahun ini Australia Terbuka jadi milik "anak-anak" muda. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini