Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berhadiah Atau Tidak

Untuk memperingati 50 tahun Sumpah Pemuda, Jakarta mengadakan lomba lari 5 km, 10 km dan 28 km. Pesertanya meluber. PASI dituduh komersial karena hadiahnya bukan cuma piala.

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINAT terhadap olahraga lari ternyata makin menggelombang. Di jalan silang Monas, Jakarta hari Minggu, 22 Oktober pagi tak kurang dari 9.000 warga ibukota, di antaranya terdapat atlit nasional, ikut lomba lari memperingati 50 tahun Sumpah Pemuda. Jarak tempuh dari acara ini adalah 5, 10 dan 28 km. Melubernya peminat terhadap olahraga lari menggembirakan, memang. Tapi di balik itu, ada kecemasan: lomba ini terlalu berbau komersialisasi, kata yang mengril:ik. Misalnya, ada hadiah margarine dari suatu perusahaan. Lebih dari itu untuk juara pertama lomba 28 km, misalnya, panitia menyediakan Honda Bebek, yang harganya sekitar 200.000 rupiah. Sementara itu menurut peraturan Federasi Atletik Internasional (IAAF, Seorang atlit amatir tidak diperkenankan menerima hadiah dari suatu perlombaan melebihi nilai 100 dolar AS (41.700 rupiah). Melanggar dari ketentuan IAAF itu dapat menyebabkan si atlit dijatuhi hukuman. Antara lain, berupa larangan untuk mengikuti pertandingan atletik nasional maupun internasional. Merangsang Tidakkah merangsang atlit untuk berlomba, seperti lomba lari 50 tahun Sumpah Pemuda, dengan menyediakan perangsang berupa Honda Bebek, merupakan pelanggaran dari ketentuan IAAF? "Menurut saya, tidak menyalahi," kata Yusuf Adisasmita, Komisi Perwasitan PASI yang merangkap sebagai Wakil Ketua Pelaksana Lomba Lari Sumpah Pemuda. "Ini bukan pertandingan profesional. Ini pertadingan insidentil." Mengenai pemberian hadiah dari panitia bagi pemenang, menurut Adisasmita, adalah untuk merangsang minat peserta. "Kelak kalau lomba semacam ini sudah jadi kegemaran, hadiahnya tidak akan ada," lanjut Adisasmita. Sementara itu Sekjen PASI, Suyono, mengakui, adanya hadiah perangsang ini memang merugikan. Bisa mengaburkan status amatir seorang atlit. Tapi, "untuk memassalkan olahraga lari di sini tanpa adanya perangsang, ya, susah" kata Suyono. Di antara atlit nasional yang ikut Lomba Lari Sumpah Pemuda kemarin, nampaknya ada yang berfikiran jauh. Misalnya Abdul Rachman Zakin, pelari 800 m dan 1.500 m yang dipersiapkan untuk Asian Games VIII di Bangkok, Desember depan. Zakin ikut nomor 28 km dan menempati urutan ke 3. Menurut pengakuannya, ia mengikuti perlombaan karena itu merupakan ujian dari persiapannya. Ia ikut atas izin pelatihnya, Awang Papilaya. "Mengenai hadiahnya, saya tidak akan terima. Untuk menghindarkan agar saya tidak diskors," kata Zakin. Juga pelari nasional wanita, Lelyana Tjandrawidjaja ikut nomor 28 km. Ia juara pertama untuk golongan wanita. "Saya ikut bukan mengejar hadiah. Tapi untuk menambah daya tahan," katanya. Agaknya di antara 9.000 peserta pagi yang ramai seperti karnaval itu bisa diduga 75% bersikap mirip Lelyana, "bukan mengejar hadiah". Jadi buat apa ada hadiah, lain kali?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus