APA yang sudah berlaku di banyak negara lain akhirnya dicoba
untuk dilaksanakan di Indonesia. Belum semua, tapi selektif:
Pemerintah sejak pertengahan bulan lalu, telah melarang semua
pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mengekspor kayu bulat
(logs) ramin, kecuali dalam bentuk sudah digergaji (sawn timber)
Alasan jenis ramin ini tersohor langka. Di kawasan Asean, cuma
di Indonesia saja adanya, selain juga di Serawak. Itupun
terbatas tumbuh di kawasan tanah rawa hutan Kalimantan Barat
Tengah dan Selatan dan sedikit di Riau.
Banyak juga yang senang dengan langkah pemerintah ini.
Sebelumnya, di tahun 1976, adalah ramin bulat keluaran
Kalimantan Barat yang dilarang ekspor. Tapi kini sudah berlaku
secara nasional. Banyak peserta dalam Kongres Kehutanan Sedunia
yang pekan lalu berlangsung di Jakarta, turut menyambutnya.
Tidak ketinggalan, tentu saja, Masyarakat Perkayuan Indonesia
(MPI) Pusat. "Itu baik sekali," kata direktur eksekutif MPI
Pusat ir. Sadikin Djajapercunda. "MPI mendukung sepenuhnya."
Tapi dari daerah terdengar suara lain, terutama dari para
pengusaha atau pemegang HPH itu. Moh. Kameron, direktur PT
Tanjung Raya Ltd. beranggapan para pengusaha belum siap.
Sebabnya? "Cuma sebagian kecil pemegang HPH yang memiliki
sawmill," katanya kepada pembantu TEMPO Syahran Kameron, yang
juga aktif sebagai pengurus MPI Kal-Sel/Kal-Teng beranggapan
masih dibutukan waktu penyesuaian. Menurut dia, Tanjung Raya
grup, perusahaannya, tak akan terpukul, karena memiliki
penggergajian sendiri. Tapi kendati demikian Kameron
menyampaikan berita yang mengagetkan juga: dari 5 kamp yang
dimiliki Tanjung Raya, baik di Kal-Sel maupun Kal-Teng, sudah
bisa dipastikan 4 sampai 500 buruhnya bakal diberhentikan.
Sebuah sumber MPI di Kal-Sel bahkan memperkirakan sekitar 4.000
buruh tebang dan bongkar muat di pelabuhan akan kehilangan
perkerjaan, gara-gara si ramin bulat dilarang ekspor. Proses
penebangan ramin itu sampai sekarang dikerjakan secara semi
mekanis alias masih padat buruh juga. Sedang penggergajian yang
ada terbatas kapasitasnya, hingga tak akan mampu kalau diminta
menampung jumlah ekspor biasanya. Dari Kal-Sel dan Kal-Teng,
setiap bulan ekspor ramin bulat rata-rata sekitar 90.000 M3.
Maka, bagi para pengusaha yang tergabung dalam MPI Kal-Teng dan
Kal-Sel, mereka lebih suka mengekspor ramin bulat daripada
mengekspor ramin gergajian. Merekapun menghimbau pemerintah agar
memberi masa peralihan, daripada nantinya dituding melakukan
pemberhentian massal. "Toh yang menyetop ekspor bukan
pengusaha," kata seorang pengurus MPI setempat yang lain.
Itu memang benar. Tapi yang patut dipertanyakan adalah: Mengapa
larangan yang berlaku di Kal-Bar dua tahun lalu, tak membuat
para tetangganya bersiap-siap menumbuhkan usaha penggergajian?
Apalagi sudah menjadi tekad pemerintah bahwa ekspor log itu
adalah sesuatu yang sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini