ADA sekitar 2.000 orang berkumpul di lapangan terbuka maupun di
bawah tenda upacara di sebelah kompleks gedung DPR/MPR Senayan,
Ahad lalu. Merekalah para peserta Kongres Kehutanan Sedunia,
pramuka dan panitia. Hari itu para wakil 82 negara peserta dan
belasan organisasi internasional akan meninggalkan tanda mata
bagi tuan rumah, Jakarta Pohon hidup yang ditanam setiap
delegasi.
Lebih 200 batang pohon dari 53 jenis terpenting di Indonesia
telah dikumpulkan oleh panitia. Begitu kata Ketua Kongres,
Dirjen Kehutanan Soedjarwo dalam kata sambutannya. Dia sendiri
pada kesempatan itu, begitu pula Asisten Dirjen FAO bidang
Kehutanan dan Gubernur DKI Tjokropranolo ikut menguruk pohon
Ficus benyamina L., yang lebih dikenal sebagai beringin. Sedang
pohon lain yang sudah disiapkan oleh panitia anak buah
Soedjarwo, meliputi pohon komersiil seperti meranti, kayu hitam,
cemara, kayu damar, kayu putih dan masih 47 jenis lain.
"Tempat ini akan menjadi taman hutan miniatur di mana
burung-burung akan memperoleh perlindungan yang aman," begitu
harapan Soedjarwo.
Kepala Kerbau
Buat Dirjen Soedjarwo, acara tanam pohon ramai-ramai itu juga
merupakan upacara tanam kepala kerbau bagi proyek idaman Pusat
Kehutanan (Forestry Centre) Saat ini, di tanah belasan hektar
yang telah ditanami 101 anakan pohon itu yang ada baru pelataran
beton. Serta sebuah patung tembaga berwujud aneh, dengan pahatan
pesan para peserta kongres yang diresmikan oleh Dirjen Soedjarwo
dengan ayunan mandau Kalimantan Timur. Sepasang lelaki dan
perempuan suku Kayan berdiri di sampingnya, dan
pengawal-pengawal Bali lengkap dengan payung kerajaan menaungi
sang Dirjen.
Pusat Kehutanan yang mau dibangun itu, bakal merupakan pusat
seluruh kegiatan yang berhubungan dengan hutan. Baik para
pemegang HPH, pengusaha kayu lainnya maupun aparatur Ditjen
Kehutanan yang saat ini tersebar di Jakarta dan Bogor. Cuma
kapan selesainya, Soedjarwo belum dapat menyebutkannya.
Pokoknya, "pelan-pelan sajalah," kata sang Dirjen.
Proyek itu tak sedikit biayanya. Kata Soedjarwo kepada George Y.
Adicondro dari TEMPO: "Dulu ditaksir akan menelan Rp 15 milyar.
Tapi sekarang pasti lebih." Dari mana biayanya? "Dulu, kami ada
minta sumbangan dari para pemegang HPH." Imbalannya, nama
perusahaan penyumbang itu akan dipahat di atas batu marmar di
kompleks Gedung Kehutanan itu kelak. Permintaan sumbangan ini
ada dirasakan sebagai 'sumbangan wajib' oleh sementara
pengusaha.
Namun Soedjarwo membantah. "Kan tak ada imbangan fasilitas
apa-apa," katanya. Menurut Dirjen, sampai sekarang baru kurang
dari Rp 1 milyar sumbangan yang sudah masuk. "Walaupun yang
menyanggupi sudah banyak," katanya.
Tapi bicara soal sumbangan, beberapa pengusaha ada juga
menanyakan ihwal Iuran Hasil Hutan Tambahan (IHHT), yang konon
sudah melebihi $ 100 juta. Dana itu, menurut rencana, akan
disalurkan untuk pemukiman kembali penduduk hutan dan pengerukan
sungai-sungai yang jadi dangkal akibat erosi dan kayu-kayu
gelondongan yang tenggelam. Seberapa jauh itu sudah dilakukan,
banyak pemegang HPH ketika ditanya, cuma angkat bahu.
Selain itu IHHT, maka lewat Keppres no. 48/1977 para pemegang
HPH dan eksportir kayu bulat diwajibkan menyetor $ 1 untuk
setiap M 3 kayu bulat. Dana itu, menurut Keppres itu, akan
dipakai untuk "pengembangan armada angkutan kayu gelondongan dan
industri kayu". Tapi sejak dua tahun lalu pemerintah setahap
demi setahap berusaha menghentikan ekspor kayu bulat (lihat Kau
Ramin). Maka pembelian kapal-kapal pengangkut kayu bulat (log
carrier), oleh MPI dianggap akan mubazir saja. Tapi penyaluran
dana itu untuk menumbuhkan industri kayu, menurut kalangan MPI
Pusat, belum mereka rasakan.
Untuk semua itu Dirjen Soedjarwo punya jawaban. "Memang pungutan
seperti IHHT itu tak dimasukkan ke APBN. Tapi selalu saya
laporkan kepada Menteri Keuangan. Kalau ada yang mau tahu
dana-dana itu digunakan untuk apa saja, silakan datang
langsung ke saya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini