SEORANG pengusaha asing di Jakarta punya anggapan begini tentang
dunia mobil di Indonesia: There is no business like car
business (Tak ada bisnis seperti bisnis mobil). Anggapan itu
banyak benarnya. Orang di Indonesia, atau lebih tepat di
kota-kota besar, makin gemar saja memiliki mobil baru. Meski
harga sebuah sedan yang dirakit di Indonesia minimal dua kali
lipat dari di Singapura misalnya, tak urung mobil yang dirakit
di Indonesia itu terus meningkat. Tahun lalu yang dirakit di
Indonesia 93.000 buah. Tahun ini diperkirakan tak akan kurang
dari 100.000. (lihat TEMPO 16 September).
Naiknya permintaan ini tentu saja tak dilewatkan oleh para
pengusaha mobil. Lewat iklan dan pameran, para pengusaha itu
saling berlomba merebut calon pembeli. Terakhir adalah Honda
Accord yang menggiurkan mereka yang berduit. Memiliki 4
silinder, bertenaga 1.600 cc, dengan 4 pintu, Honda yang ini tak
lagi berekor buntung seperti Civic.
Mengapa makin banyak dirakit mobil besar, baik didengar
keterangan Suyono, pedagang mobil di Jalan Gajah Mada, Jakarta
yang suka ganti mobil. "Konsumen sekarang menghendaki mobil yang
sempurna, nyaman, punya ruang bagasi yang luas, tapi murah
harganya," katanya. Maka mudah dimengerti kalau si Accord ini
dengan harga sekitar Rp 7,3 juta on the road pasti akan muncul
sebagai saingan baru buat Toyota Crown atau Datsun 280 C.
Di atas semua itu, makin banyaknya mobil besar dirakit di
Indonesia, dengan sendirinya akan makin banyak menyedot bensin
dan oli. Tapi apa mau dikata, kalau pemerintah membolehkan
mobil-mobil CKD -- dalam bentuk terurai-masuk di sini. Namun
bagi Menteri Keuangan Ali Wardhana, ini tentu merupakan sumber
yang empuk. Pajak masuk mobil CKD kelas sedan, dalam berbagai
ukuran, rata-rata adalah 140%.
Para pengusaha mobil itu memang tak bertepuk sebelah tangan.
Banyak orang di Indonesia tidak cuma berduit. Tapi, seperti kata
Gunawan dari PT Imora Motor kepada TEMPO, "orang-orang di sini
punya selera tinggi" dalam memilih model mobil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini