SEMANGAT untuk menancapkan Merah Putih di pucuk-pucuk bumi tam~paknya semakin marak. Setelah ekspedisi Wanadri-Sampoerna berhasil mengibarkan sang Dwiwarna di puncak PumoRi (7.145 m) di Pegunungan Himalaya, April lalu, kim menyusul empat pendakian lagi yan~g akan dilakukan di berba~gai ne~gara yan~g dilakukan hampir bersamaan. Dua pemuda Indonesia akan mengadu nasib memanjat tebing El Capitan dan Half Dome di lembah Yosemite, Sierra Nevada, AS. Lalu menyusul dua ekspedisi yang mencoba menaklukkan puncak Eiger di Jungfrau, Swiss. Dan pendakian ke Gunung Cayambe dan Chimburazo di Ekuador. Minggu pekan lalu, Sandi Febyanto, 28 tahun, dan Djati Pranoto, 26 tahun, bertolak ke AS di bawah bendera perusahaan pembuat alat-alat olah raga pendakian, Jayagiri. Kedua anak Bandung itu akan melakukan pemanjatan tebing di salah satu gugusan pegunungan cadas di Sierra Nevada. Tebing~ El Capitan (1.050 m) dan Half Dome (700 m) yang letaknya di lembah Yosemite akan menjadi ajang pertaruhan bagi mereka. Target dua manusia cecak Indonesia itu: memecahkan rekor waktu pemanjatan. Dua tebing itu memang dikenal memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggal di kalangan pemanjat tebing. El Capitan pertama kali didaki pada tahun 1958 oleh W. Harding, W Merry, dan G. Whitmore. Sedangkan Half Dome pertama kali ditaklukkan oleh R. Robbins. T. Gallwas. dan M. Sherrick melalui lintasan dinding Regular Northwest. Sejak itulah para pemanjat tebing berlomba menciptakan lintasan baru. Sampai tahun 1985 tercatat ada 60 lintasan berbeda untuk mendaki ke puncak El Capitan. Serta 11 lintasan menuju puncak Half Dome. Akibatnya, indikator prestasi tak lagi dilihat dari kemampuan membuka jalur baru. Tapi kemampuan pemanjat tebing lerlihat dari lamanya waktu yang dihabiskan untuk sampai di puncak. Kompetisi di antara mereka dikenal dengan nama speed climbing. Saat ini rekor pemanjatan El Capitan lewat jalur Nose adalah 10 jam 5 menit. Sedangkan puncak Half Dome ditempuh hanya 4 jam 3 menit melalui lintasan Regular Northwest. Kedua rekor itu dipegang oleh duet Peter Croft dan John Bachar dari AS yang diciptakan dua tahun silam. Hebatnya, rekor itu dipatok oleh mereka hanya dalam sehari. Artinya, seusai menggapai puncak El Capitan, pada hari yang sama mereka menaklukkan pula puncak Half Dome. Rekor kecepatan inilah yang jadi incaran dua manusia cecak Indonesia. Sudah sejak setahun lalu mereka mempersiapkan diri dengan serangkaian latihan di dalam negeri. Tebing Citatah di Padalarang, Gunung Parang di Purwakarta, dan Cadas Watu Limo di Tulungagung dijadikan arena uji coba. "Tujuan kami mematahkan rekor Peter Croft dan John Bachar. Kalau toh meleset 1/2 jam, mereka sudah melihat prestasi kami," tutur Sandy, salah seorang dari dua pendaki, dengan optimistis. Jenis olah raga memanjat dinding tebing baru dikenal di Indonesia sejak 1976. Beberapa tahun belakangan olah raga ini mulai dilombakan di Eropa dan AS. Perhitungan prestasinya ditentukan oleh tingkat kesulitan tebing dan kecepatan memanjat. Juli mendatang, menyusul dua ekspedisi Indonesia menuju kawasan Jungfrau di Swiss. Tujuan mereka sama, yaitu menaklukkan puncak Eiger (3.970 m). Rombongan pertama terdiri atas 7 pendaki dan 5 pendukung yang tergabung dalam tim Pataga Sampoerna. Ambisi tim ini adalah menciptakan rute baru. Selama ini untuk menaklukkan puncak Eiger lewat dinding utara, ada 3 rute yang populer - di samping belasan rute lainnya. Yaitu rute normal, rute Inggris, dan rute Jepang. "Jika kami berhasil nanti, maka tcrcipta rute Indonesia," ujar R. Sulistyanto, 43 tahun, pimpinan ekspedisi Pataga-Sampoerna. Rencana pendakian ini diperkirakan memakan waktu 20 hari. "Insya Allah persis tanggal 17 Agustus nanti kami bisa mengibarkan Merah Putih di puncak Eiger," katanya lagi. Tim ekspedisi Mapak Alam (Bandung) juga akan menggerayangi puncak Eiger. Tim ini terdiri atas 5 pendaki. Untuk sampai ke sana, mereka merencanakan akan menyusuri rute normal, yang melalui bagian tengah dinding utara Eiger. Eiger yang tingginya tak seberapa itu cuma 3.970 meter di atas permukaan laut ternyata memiliki medan yang berbahaya untuk kegiatan pemanjatan di bagian dinding sebelah utara. Hampir tegak lurus serta licin dilumuri es dan salju. Bagi kelompok pendaki gunung, daerah itu discbut juga "Dinding Kematian". Setidaknya sudah 141 pendaki yang tewas. Kelompok Mapala UI juga tak mau ketinggalan. Pertengahan Juli nanti, mereka akan merambah puncak Chimborazo (6.130 m) dan Cayambe (5.790 m) yang letaknya di Ekuador. Kedua puncak itu letaknya di gugusan Pegunungan Andes. Keadaan medan untuk menaklukkan kedua puncak itu, tak terlalu mengkhawatirkan. "Kalau di sini seperti Gunung Gcde atau Pangrango," tutur ketua tim ekspedisi, Adi Seno, 29 tahun. Hanya saja, sckitar puncak gunung itu penuh dengan lumpur salju dan es. Dan ancaman bahaya yang datang biasanya dalam bentuk longsoran salju. Untuk sampai ke puncak Chimborazo - tertinggi di Ekuador - bisa ditempuh dalam 8 jam saja. Sedangkan untuk mencapai puncak Cayambe - sekalipun lebih rendah dari Chimborazo diperlukan sekitar 12 jam pendakian karena medannya yang relatif berat. Bagi kelompok Mapala UI, upaya pendakian ini punya arti tersendiri. Mereka ingin melengkapi pendakian ke semua gunung es di dunia yang letaknya di lintasan khatulistiwa. Sebelum ini, anak-anak Mapala UI berkali-kali mengangkangi puncak Jayawijaya yang letaknya di Irian Jaya itu. Lalu mereka pernah pula menaklukkan puncak Kilimanjaro di Kenya. Semuanya puncak gunung bersalju yang letaknya di garis khatulistiwa. Semua ekspedisi tadi memerlukan dana yang tak sedikit. Pemanjatan tebing ke El Capitan mcnghabiskan Rp 16 juta. Ekspedisi Pataga-Sampoerna ke puncak Eiger memerlukan Rp 110 juta. Sedangkan ekspedisi Mapak Alam menguras kantung sponsor Rp 30 juta. Dan rombongan Mapala UI yang ke Pegunungan Andes membobol kocek penyandang dana sampai Rp 83 juta. Mudah-mudahan saja ongkos yang berjut-jut itu setimpal. Ahmed K. Soeria~widjaja, Bambang Sujatmoko ~(Ja~karta) dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini