WADAH advokat, Ikadin, ingar-bingar. Pertama, Ikatan Advokat Indonesia itu tidak dilarang lagi menyelenggarakan rapat kerja. Yang kedua, tak kurang dari Ketua Mahkamah Agung Ali Said dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh ikut hadir dan memberikan sambutan pada acara pembukaannya. Tetapi suasana mendadak tersentak ketika Ismail Saleh, dengan penuh semangat, berpidato menyambut Raker II Ikadin di Orchid Palace Hotel Jumat malam pekan lalu. Ismail Saleh menuntut agar Ikadin segera mewujudkan wadah tunggal sampai Musyawarah Nasional (Munas) II, November tahun depan. Jika tidak, "Saya tidak akan mengusahakan terwujudnya undang-undang bantuan hukum," kata Ismail Saleh mengancam. Menyangkut soal personalia, Ismail Saleh mengingatkan, Ikadin perlu penyegaran. Yang dimaksud adalah regenerasi kepemimpinan organisasi yang berdiri November 1985 itu. "Masalahnya, seberapa jauh Ikadin berani menampilkan tokoh-tokoh muda, sedangkan yang tua-tua cukup mengawasi dan membimbing," ujar Ismail Saleh, 62 tahun, di depan sekitar 200 orang peserta Raker. Seruan Menteri membuat seba~gian peserta ka~get. A~gaknya, mereka ingat keadaan hubungan Ikadin-pemerintah membaik baru beberapa bulan ini. Setahun lebih hubungannya memang tegang. Puncaknya, Juli tahun lalu. Ketika itu, Ikadin memprotes Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman tentang Tata Cara Pengawasan Penasihat Hukum. Keretakan wadah advokat dengan pemerintah itu terlihat pula ketika Ikadin urung menyelenggarakan Raker II, November lalu di Cipanas. Polisi menolak memberikan izin. Banyak anggota menilai ucapan Menteri kurang pada tempatnya. Sebab, soal regenerasi bukanlah masuk acara Raker, tapi menjadi wewenang Munas - sebagai forum tertinggi. Tapi ada pula yang menafsirkan, misalnya Luhut M.P. Pangaribuan, peringatan Ismail itu sebagai isyarat agar HarJono Tjitrosoebono, si ketua umum, diganti ~aja. Sementara itu, Denny Kailimang menganggap, yang penting eksis dan rapi dahulu. Harjono Tjitrosoebono sendiri agak hati-hati berkomentar. "Ya, kita memang harus l~anyak bersabar," katanya. Walau demikian, para pengurus Ikadin itu toh membahasnya secara khusus malam itu. "Kita tidak akan menentang ancaman itu. Diiyakan saja sampai Munas nanti," kata Wakil Sekjen Djohan Djauhary. Setelah pertemuan, Harjono tampak ekstra hati-hati menanggapi ucapan Ismail. Didampingi para ketua Ikadin lainnya: Soekardjo Adidjojo, R.O. Tambunan - juga Ketua Pusbadhi - Hakim Simamora, serta Yan Apul, ia menegaskan, soal pergantian pimpinan memang wewenang Munas. "Siapa pun yang minta, mau menteri kek,sebagai pimpinan, kami tidak akan terpengaruh," ujar Harjono, 65 tahun. Harapan wadah tunggal sebenarnya bukan lagu baru. Sejak kelahiran Ikadin, yang diprakarsai Ali Said, hal itu sudah digariskan. "Konsepnya sudah saya serahkan kepada Ikadin. Bagaimana wujud wadah tunggalnya, Ikadin sendiri yang akan menentukan kriterianya. Pemerintah tak pernah meminta syarat-syarat khusus," ujar Ali Said, 61 tahun, yang membuka raker. Sasaran Ikadin ialah menjadikan dirinya satu-satunya wadah advokat, termasuk pokrol. Tapi mempersatukan para advokat, yang biasa bcrdebat, ternyata tidak gampang. Kenyataannya, Ikadin tak lebih menjadi suatu federasi berbagai organisasi pengacara seperti Peradin, Pusbadhi, LPPH Golkar, HPHI, dan BBH. Dalam perkembangan selanjutnya, Ikadin dicap tidak berkuku. Buktinya, ia tidak mampu mengatasi perpecahan di tubuhnya. Baik antara organisasi Peradin dan bukan Peradin serta antar-anggotanya. Perpecahan mcnjalar dari pusat sampai cabang-cabang. Karena ketidakmampuannya, beberapa wadah tandingan muncul. Contohnya, IPHI (Ikatan Penasihat Hukum Indonesia) yang berpusat di Surabaya. Organisasi dengan anggota yang, konon, lebih dari tiga ratus orang itu memang direstui pemerintah. Sementara itu, Ikadin sampai kini kelihatannya juga belum mampu mengikat 737 advokat anggotanya. Sebagai misal, beberapa anggota keluar be~itu saja sekadar untuk menghindar diadili karena melanggar kode etik. Misalnya yang terjadi pada Sutomo Chasanduryat. Semula Sutomo dituduh melakukan praktek melenceng: hendak mengatur tuntutan jaksa dan vonis hakim. Kalaupun ia bisa diadili, toh putusan terakhir masih saja di tangan Menteri Kehakiman. Padahal, sistem di banyak negara, organisasi profesi semacam Ikadin punya wewenang penuh mengadili dan menghukum anggotanya. Contohnya, pada kasus Adnan Buyung Nasution, yang dituduh melakukan contempt of co~urt. Selain itu, ada hal lain yang juga mengecewakan anggota. Yakni belum adanya pengakuan resmi perihal wadah tunggal dari pemerintah. Soal yang satu ini turut membuat Ikadin tidak berwibawa ke bawah. Walau demikian, bukanlah berarti Ikadin tidak mengadakan konsolidasi. "Aktivitas organisasiorgamsasi, yang anggotanya masuk Ikadin, secara sadar juga sudah slo~w down," kata Hakim Simamora, Ketua LPPH Golkar. Bahkan Ikadin kini tak hanya diperkenankan menguji kode etik bagi calon advokat. Organisasi itu juga akan menampung para pokrol - yang sarjana hukum. Jumlah pokrol di atas 3.000 orang. Sebagai wadah tunggal, menurut Harjono, Ikadin telah berbuat seperti diharapkan pemerintah. Cuma organisasi anggota belum membubarkan diri. "Tinggal menunggu pengakuan wadah tunggal seperti dijanjikan pemerintah dulu," katanya. Pengakuan yang diharapkan, UU Bantuan Hukum. UU serupa sudah ada di beberapa negara - termasuk di antaranya negara ASEAN. Malaysia, misalnya, punya Lau~yers Act (Undang-Undang Advokat). Singapura memiliki Legal Profession Act (Undang-Undang Profesi Hukum). Bila pengakuan itu ada, kata Harjono lagi, organisasi lainnya pasti tidak punya dasar hukum. Selain itu, "Bagi anggota yang dikenai sanksi etik, tak bisa lagi berperkara di pengadilan," ujar Sukardjo Adidjojo. Yang akan tetap menjadi persoalan lalah jika sampai Munas nanti pemerintah tetap menganggap Ikadin belum berfungsi sebagai wadah tunggal. H~appy S., Agung F., Sidartha P. ~(Ja~karta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini