Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sela-sela kerai kayu yang melapisi pagar kawat lapangan utama Stadion Tenis Senayan, Hendri Susilo Pramono mengintip tiga pria paruh baya yang sedang bermain tenis. "Wah, lapangannya lagi dipakai," katanya sambil menoleh kepada Tempo, yang berdiri di samping atlet soft tennis itu, Senin sore dua pekan lalu.
Beberapa rekan Hendri yang sama-sama tergabung dalam tim nasional soft tennis Asian Games 2014 pun tampak pasrah saat mereka datang menyusul ke lorong yang memisahkan lapangan tenis itu dengan ruangan-ruangan kantor di depannya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menunggu ketika lapangan yang hendak mereka pakai untuk berlatih sedang dipakai orang. "Kami hanya bisa menggunakan lapangan saat tidak disewa orang," tutur Hendri.
Hendri dan rekan satu timnya adalah korban keterbatasan dana persiapan Asian Games 2014, yang tengah berlangsung di Incheon, Korea Selatan, 19 September-4 Oktober ini. Pemerintah tidak menyediakan anggaran untuk menyewa lapangan, sedangkan dana Pengurus Pusat Persatuan Soft Tennis Indonesia (PP Pesti) juga terbatas. "Kadang kami sampai harus nebeng-nebeng ke penyewa lapangan yang kami kenal baik," kata Wakil Ketua PP Pesti Johannes Susanto. Padahal soft tennis adalah salah satu cabang olahraga yang berpotensi memperoleh medali. Pada SEA Games tiga tahun lalu di Palembang, tim Indonesia menyabet semua medali emas yang tersedia untuk cabang ini.
Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Djoko Pekik Irianto mengatakan pemerintah memang hanya menanggung uang saku atlet dan pelatih, biaya akomodasi, biaya uji coba ke luar negeri, uang kesehatan, pembelian vitamin, biaya pengawasan doping, serta biaya pengadaan peralatan pertandingan. "Sewa lapangan ditanggung pengurus cabang olahraga," ucap Djoko saat ditemui Tempo, Selasa pekan lalu.
Yang merepotkan, penyaluran sejumlah kebutuhan yang ditanggung pemerintah itu pun bermasalah. Soal peralatan, misalnya. Hingga pekan lalu, tim soft tennis, yang terdiri atas tujuh orang, belum menerima raket dan bola dari pemerintah. Akibatnya, mereka harus menggunakan duit sendiri untuk membeli raket, yang hanya bisa dipesan dari Jepang. Maklum, olahraga tenis khas Jepang yang menggunakan bola karet dan raket yang lebih kecil ini belum populer di Indonesia.
Untuk satu raket, atlet dan pengurus harus membayar sekitar Rp 2 juta. "Sekali beli, satu orang butuh dua raket," ujar Ferly Montolalu, pelatih sekaligus pemain tim nasional soft tennis. Keterlambatan datangnya peralatan ini jelas menimbulkan kerugian bagi pengurus dan atlet soft tennis.
Cabang olahraga boling mengalami hal yang sama dengan soft tennis. Mereka baru menerima bola boling dua pekan lalu. Itu berarti mereka hanya memiliki waktu sepekan untuk mencoba bola-bola baru sebelum berangkat ke Incheon, Kamis pekan lalu. Padahal, kata pelatih boling nasional, Thomas Tan, agar terbiasa dengan bentuk dan jalannya bola, atletnya butuh penyesuaian.
Djoko Pekik ogah disalahkan ihwal keterlambatan itu. Menurut dia, keterlambatan terjadi karena pengajuan peralatan dari cabang-cabang olahraga juga terlambat. Kurangnya uji coba ke luar negeri pun tak bisa dinafikan. Atlet-atlet renang, misalnya, sampai harus menggunakan dana sendiri untuk menambah kebutuhan uji tanding ke luar negeri.
Idealnya, menurut pelatih nasional renang, Albert Christiadi Sutanto, jumlah uji coba untuk tim nasional renang lima kali. Namun jatah dari pemerintah hanya dua kali. Untuk menambah porsi uji tanding di luar negeri agar mendekati ideal, atlet dan pengurus provinsi harus rela mengeluarkan biaya sendiri.
Di Kejuaraan Malaysia Terbuka pada Mei lalu, setiap atlet mesti merogoh kocek minimal Rp 10,5 juta untuk memenuhi kebutuhan transportasi, akomodasi, dan makan sehari-hari. Sedangkan pada kejuaraan di Hong Kong bulan lalu, kebutuhan atlet lebih besar, yakni Rp 15 juta per orang. "Beruntung, di Hong Kong, beberapa pengurus provinsi mau memberi bantuan," ujar Albert.
Nasib atlet cabang olahraga atletik sama saja. Pelatih nasional lari 100 meter gawang, Kikin Ruhudin, mengeluhkan kurangnya uji tanding buat atlet asuhannya, Dedeh Erawati. Menghadapi Asian Games, peraih medali emas SEA Games Bangkok 2007 dan Vientiane 2009 itu hanya mengikuti satu uji tanding, yakni kompetisi atletik Malaysia Terbuka pada Juni lalu. Buntutnya, tim pelatih tidak memiliki gambaran mengenai kekuatan lawan yang akan dihadapi Dedeh. Apalagi, kata Kikin, "Di kejuaraan di Malaysia, tidak ada lawan di Asian Games yang turun."
Di nomor 100 meter gawang, Dedeh memiliki catatan waktu terbaik 13,18 detik, yang diraih di Taiwan Terbuka dua tahun lalu. Ini merupakan catatan yang lebih baik daripada yang pernah dicapai pelari Korea Selatan, Lee Yeon-kyung, yang meraih medali emas Asian Games Guangzhou 2010. Saat itu, Yeon-kyung mencatat waktu 13,23 detik. Namun, menurut Kikin, catatan waktu itu tidak bisa lagi dijadikan patokan karena atlet lari dari berbagai negara terus memperbaiki pencapaian rekornya. "Itulah pentingnya tryout (uji coba), yaitu untuk memantau perkembangan kekuatan lawan," ucapnya.
Nestapa akibat kurang uji tanding juga dialami tim voli pantai. Menurut pelatih voli pantai nasional Andy Ardiansyah, atlet asuhannya hanya menjalani dua kali uji tanding, yakni di Kejuaraan Asia-Pasifik di Thailand, April lalu, dan di Cina, Juni lalu.
Menanggapi kondisi serba kekurangan ini, Djoko Pekik menyebut keterbatasan dana dari pemerintah sebagai biangnya. "Bayangkan, anggaran olahraga tahun ini hanya 0,33 persen dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," katanya. Itu sebabnya, cabang-cabang olahraga tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pemerintah. "Mereka juga memiliki tanggung jawab mengumpulkan dana dari masyarakat."
Djoko mengaku tak lepas tangan. Ia mendorong badan usaha milik negara dan perusahaan swasta membantu cabang-cabang olahraga yang butuh dana. Beberapa induk cabang olahraga sudah berhasil mendapatkan sponsor semacam itu.
Hingga saat ini, soft tennis sedang menunggu giliran mendapatkan sokongan itu agar Hendri dan timnya tak lagi kerepotan mencari-cari lapangan untuk berlatih. "Baru kali ini saya alami: tim nasional harus gonta-ganti dan mencari-cari lapangan kosong untuk latihan," ujar Hendri saat berjalan masuk ke lapangan, setelah sekitar 20 menit menunggu.
Gadi Makitan, Rina Widiastuti, Aditya Budiman
Ambisi di Tengah Krisis
DUIT krisis, target berlapis. Itulah kondisi Indonesia menghadapi Asian Games Incheon, 19 September-4 Oktober 2014. "Kami hanya memiliki anggaran Rp 250 miliar dan itu dibagi untuk persiapan enam multievent (kompetisi olahraga multicabang)," kata Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Djoko Pekik Irianto saat ditemui Tempo di Jakarta, Selasa pekan lalu. Enam kompetisi yang dimaksud antara lain Asian Para Games di Incheon setelah Asian Games dan SEA Games 2015 di Singapura.
Meski begitu, pemerintah menetapkan target ambisius, yakni sembilan medali emas. Menurut Djoko, sembilan emas merupakan kondisi minimal jika Indonesia ingin finis di sepuluh besar di Asian Games tahun ini. "Target ini kami tentukan dengan melihat sejarah Indonesia di Asian Games," ujar Djoko. "Kita mampu, kok. Di Asian Games empat tahun lalu saja kita bisa berada di posisi ke-15."
Lapis pertama yang diharapkan bisa menggondol emas adalah tim atlet bulu tangkis, olahraga yang sangat populer dan Indonesia punya sejumlah pemain andalan. Lapis berikutnya yang juga digadang-gadang bisa membawa pulang medali emas adalah tim dari cabang-cabang olahraga yang tidak terlalu populer, seperti soft tennis, voli pantai, boling, angkat besi, dan renang.
Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo