Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERJEPIT di antara keinginan membentuk kabinet profesional dan kebutuhan memperbesar dukungan koalisi legislatif, presiden terpilih Joko Widodo mesti pandai-pandai meniti buih. Sejak awal ia menyatakan ingin membangun koalisi tanpa syarat alias tidak bagi-bagi kekuasaan kepada partai pendukungnya. Pernyataannya bahwa akan merekrut 16 "profesional partai" dalam pemerintahan-dari total 34 posisi menteri yang ia siapkan-semogalah bermakna ia sedang menjalankan tugas itu. Tapi pandangan yang lebih pesimistis mengatakan Jokowi sedang ragu terhadap sikap awalnya sendiri.
Terminologi "profesional partai" memang bisa ditafsirkan macam-macam. Bisa saja yang ia maksud adalah kaum profesional yang disokong partai politik. Tapi mungkin juga: kader atau pengurus partai itu sendiri yang hendak ia jadikan menteri. Proporsi 16 : 18 untuk calon menteri dari partai dan dari kaum profesional menunjukkan postur kabinet Jokowi sedikit membaik dibanding kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang memiliki 21 menteri dari partai politik. Tapi tampaknya publik belum akan melihat perubahan yang signifikan dalam pemerintahan Jokowi kelak.
Mengatasi dilema antara melibatkan dan tidak melibatkan partai politik dalam pemerintahan memang bukan perkara gampang. Sebelum pemilihan umum, misalnya, Jokowi tidak menjanjikan kursi menteri kepada partai pendukungnya-sesuatu yang bisa dibaca sebagai upaya meminimalisasi peran partai dalam pemerintahan. Tapi harus disadari, pemerintahan Jokowi tak akan kokoh tanpa dukungan partai politik-baik dari dalam maupun dari luar koalisi ramping yang ia bangun. Dukungan partai sulit dipisahkan dari peran partai dalam kabinet. Dengan kata lain: bagi-bagi kursi.
Keberadaan partai dalam kabinet memang sudah kadung dipersepsikan buruk. Menteri dari partai politik dalam pemerintahan Yudhoyono sulit dikatakan berkinerja baik. Menteri Agama merangkap Ketua Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, misalnya, mundur dari kabinet lantaran menjadi tersangka kasus korupsi haji.
Sebelumnya, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sekaligus pengurus pusat Partai Demokrat menjadi terpidana korupsi Hambalang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral merangkap Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Jero Wacik juga mundur akibat menjadi tersangka korupsi penggunaan dana rapat kementerian. Di luar itu, sudah sering kita dengar ada menteri yang loyalitasnya kepada partai tak kunjung berakhir ketika loyalitasnya kepada negara seharusnya sudah dimulai.
Untuk mengatasi dilema ini, sebaiknya Jokowi kembali kepada keyakinan lama: tak ada jaminan pemerintahannya didukung parlemen, sebanyak apa pun kursi menteri ia berikan kepada partai politik. Jatah 16 menteri untuk partai politik sebaiknya tidak ia buhulkan sebagai angka mati. Jika memang tak banyak kandidat partai yang memenuhi syarat, angka itu tak perlu dipaksakan.
Kriteria mesti dipatok dengan tegas: calon menteri harus berintegritas, dengan rekam jejak yang bersih. Agar tak terjadi konflik kepentingan, pengurus partai yang terpilih menjadi menteri harus melepas jabatannya di organisasi politik tersebut. Sistem evaluasi yang ketat perlu dibuat agar menteri yang tak cakap-baik dari dalam maupun luar partai-jika perlu, diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir.
Melalui sejumlah jajak pendapat, terungkap bahwa publik justru menyarankan pemerintah baru tak sepatutnya berkompromi dengan partai politik. Hanya karena ingin merangkul partai, tak sepatutnya Jokowi berpaling dari orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo