Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH menjadi rahasia umum, praktek gelap kerap bermain dalam urusan pembelian minyak di luar negeri. Para makelar yang bersembunyi sebagai trader leluasa mencari untung dengan memainkan harga saat terjadi defisit minyak di dalam negeri. Aktivitas ilegal yang dilakukan mafia minyak dan gas ini telah berlangsung berpuluh tahun-dan merugikan negara ratusan triliun rupiah.
Impor minyak dilakukan PT Pertamina, yang mendapat penugasan dari negara, karena kurangnya produksi minyak mentah nasional yang bisa diolah kilang dalam negeri. Meningkatnya kebutuhan nasional atas komoditas itu dari tahun ke tahun membuat impor menjadi sesuatu yang rutin. Sesuai dengan aturan, Pertamina harus memprioritaskan mengolah minyak mentah dari ladang minyak dalam negeri di kilang miliknya sebelum memutuskan membeli dari luar. Mesti ada kalkulasi yang jelas berapa kebutuhan tambahan yang diperlukan sebelum impor dilakukan.
Karena itu, terasa ganjil ketika, akhir Agustus lalu, Pertamina menyampaikan rencana mengembalikan 2,21 juta barel minyak mentah ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), lalu memilih membeli minyak dari luar negeri. Minyak mentah yang dikembalikan itu merupakan bagian pemerintah Indonesia dari kerja sama operasi dengan kontraktor untuk periode Oktober, November, dan Desember 2014. Pertamina berdalih tidak bisa menyerap minyak mentah itu karena sedang melakukan pemeliharaan kilang Cilacap selama 35 hari, pada September-Oktober 2014.
Karena keputusannya mendadak, SKK Migas menolak usul Pertamina tersebut. Langkah ini tepat karena, sesuai dengan kesepakatan, Pertamina hanya boleh membatalkan pembelian jika memberitahukannya dua bulan sebelum menerima minyak jatah pemerintah (lifting). SKK Migas berkepentingan Pertamina mengambil jatah minyak itu karena, jika terjadi penundaan, proses lifting juga akan ikut terlambat. Seandainya itu pun selesai, instansi ini mesti berupaya keras menjual minyak mentah ke pihak lain. Apalagi belakangan alasan kilang Pertamina tidak bisa menampung terbantahkan karena tidak semua tempat pengolahan melakukan pemeliharaan rutin.
Sulit untuk tidak curiga atas langkah mendadak itu. Apalagi kalau Pertamina tetap ngotot mengimpor ketimbang mengolah minyak mentah yang dihasilkan di tanah air sendiri. Kecurigaan "ada udang" di balik rencana impor itu sudah sepantasnya muncul. Apalagi selama ini kegiatan impor dilakukan secara centang-perenang dan kerap dibumbui cerita permainan mafia di belakangnya.
Manajemen Pertamina semestinya tidak lupa bahwa impor minyak turut berkontribusi menekan kurs rupiah. Sekarang saja kita masih harus mengimpor sekitar 400 ribu barel minyak mentah saban hari. Belanja impor rata-rata US$ 36 juta per hari atau hampir US$ 1,2 miliar per bulan. Jadi, dapat dipastikan, rencana pembelian minyak tambahan oleh Pertamina terus mendorong pelemahan rupiah, yang dalam sepekan terakhir sudah menyentuh Rp 12 ribu per dolar Amerika Serikat.
Dengan setumpuk persoalan itu, sudah seharusnya Pertamina mencabut kembali surat permintaan pengembalian minyak mentah ke SKK Migas. Sebaliknya, dewan komisaris yang diberi mandat pemegang saham sebagai pengawas harus menolak jika direksi tetap memaksa melakukan impor. Tak hanya itu, penelusuran tentang siapa di balik kebijakan tersebut juga mesti dilakukan. Sanksi tegas seyogianya dijatuhkan bila terbukti rencana impor itu hanya akal-akalan segelintir pejabat yang ingin menangguk untung darinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo