Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bila Camp Nou Disewakan untuk Rugbi

Akibat salah manajemen dan jorjoran belanja, sejumlah klub sepak bola kaya diimpit gunungan utang. Aturan baru UEFA mengancam mereka keluar dari kompetisi Eropa.

18 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANDANG timnya, Stadion Aime-Giral, cuma berkapasitas 15 ribu tempat duduk. Pertengahan April tahun depan, Presiden USAP Perpignan, Paul Goze, beroleh kemewahan: menjadikan Camp Nou, stadion milik raksasa sepak bola Barcelona yang mampu menampung hampir 99 ribu penonton, sebagai home base untuk menjamu Racing Metro. ”Kami sudah mendapat persetujuan Barcelona,” katanya gembira.

Ini jelas istimewa. USAP Perpignan bukan tim sepak bola. Mereka klub rugbi dari Prancis. Barcelona memiliki klub rugbi sendiri—selain tim bola basket, hoki, hoki es, futsal, dan bola tangan—tapi tidak menjadikan Camp Nou sebagai kandang. Sandro Rosell, presiden anyar Barcelona, merasa punya alasan kuat untuk keputusannya itu. ”Kami tengah berupaya keluar dari kesulitan yang mencekik ini,” ujar mantan Manajer Nike di Brasil itu.

Kerugian dan utang. Itulah yang mencekik Rosell. Pengeluaran besar-besaran yang dilakukan pendahulunya, Joan Laporta, mewariskan beban berat baginya. Mendatangkan Zlatan Ibrahimovic dari Inter Milan dengan harga 46 juta euro, dan naiknya pos gaji dua kali lipat dalam tiga musim—menjadi 271 juta euro (sekitar Rp 3,3 triliun)—adalah pangkalnya.

Barcelona merugi 77 juta euro (sekitar Rp 950 miliar) sepanjang 2009-2010, sehingga menggunungkan utang menjadi 422 juta euro (sekitar Rp 5,22 triliun). Gaji pemain dan staf pada Juni bahkan harus ditunggak sebulan sebelum dilunasi Rosell, juga dengan berutang.

Sebuah ironi. Pasalnya, oleh perusahaan akuntan publik Deloitte, klub Catalan dihitung sebagai klub terkaya kedua sejagat. Aset dan pemasukan Barcelona ditaksir mencapai 489 juta euro (sekitar Rp 6 triliun). Real Madrid, klub terkaya pertama, lebih mending, memiliki utang ”cuma” 244,6 juta euro (sekitar Rp 2,8 triliun). Menurut data Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) yang dirilis pada Februari lalu, Manchester United, klub terkaya ketiga, bertimbun utang 716 juta pound sterling (lebih dari Rp 10 triliun). Utang MU lebih besar daripada total utang 36 klub Divisi I dan II Liga Jerman.

Itu sebenarnya fenomena umum klub Eropa. ”Dari penelitian kami terhadap 650 klub di Eropa, 50 persennya rugi tiap tahun,” kata Sekretaris Jenderal UEFA Gianni Infantino. Seperlimanya rugi 20 persen di atas pendapatan. Sepertiganya membelanjakan 70 persen pendapatan untuk gaji. ”Pada musim lalu, pendapatan total klub Eropa meningkat 10 persen, tapi pengeluaran untuk gaji meningkat 18 persen.”

Jelas, defisit anggaran itu terjadi karena membengkaknya gaji dan belanja pemain. Dalam hitungan UEFA, utang 20 klub Liga Primer Inggris mencapai 3,4 miliar pound (sekitar Rp 48 triliun) atau 56 persen dari seluruh utang klub Eropa. Total aset mereka cuma 3,8 miliar pound, hampir setara dengan jumlah utang. Adapun anggota La Liga Spanyol berutang total 858 juta pound (sekitar Rp 12 triliun) atau 48 persen dari total aset. Utang klub-klub Seri A Italia separuh dari utang klub La Liga.

Laporta sebenarnya sangat sukses pada awalnya. Naik sebagai Presiden Barcelona pada 2003, pengacara ternama ini menjual beberapa pemain senior untuk mendapatkan dana segar. Dengan lebih mengandalkan pemain produk La Masia, Akademi Sepak Bola Barcelona, pria berusia 48 tahun ini mengumpulkan enam gelar kompetisi domestik dan dua kali juara Liga Champions selama kepresidenannya. Blunder pembelian mahal dan melonjaknya penggajian menutup cerita manis Laporta.

Tinggallah Rosell yang pening. Menyewakan Camp Nou untuk laga rugbi, yang bisa merusak rumput lapangan sepak bola, hanya satu cara mengais uang. Dia juga meluaskan pasar merchandise ke Asia Timur, mengetatkan pengeluaran, dan menaikkan harga tiket 15 persen untuk para socis—anggota pemilik bersama Barcelona, yang berjumlah 170 ribu orang.

Upaya alternatif yang lebih ekstrem pernah dilakukan Presiden Real Madrid, Florentino Perez, dengan menjual kompleks latihan Ciudad Deportiva kepada pemerintah daerah pada 2004. Itu setelah Madrid mengumpulkan superstar sekelas Zinedine Zidane, Luis Figo, Roberto Carlos, dan David Beckham, pada awal 2000-an. Sebagian masyarakat curiga, Pemerintah Kota Madrid membeli kompleks itu dengan harga lebih besar dari yang seharusnya untuk membantu Real Madrid.

Perez tak kapok. Pada awal musim lalu, dia membeli beberapa pemain dengan transfer mahal, terutama Cristiano Ronaldo (80 juta euro) dan Kaka (68 juta euro). Ronaldo menerima gaji 150 ribu euro (sekitar Rp 1,8 miliar) per pekan. Faktanya, Madrid justru mencatat keuntungan bersih 24 juta euro (sekitar Rp 297 miliar) pada akhir 2009-2010, naik 11,5 persen dari musim sebelumnya. Daya tarik bahwa bintang menggelembungkan uang dari sponsor memang sangat menggiurkan.

Dalam hal berutang untuk membeli bintang sambil berharap datangnya keuntungan besar di kemudian hari, Perez jagonya. Dan teknik tersebut sukar ditiru. Laporta gagal menirunya. Gaya Laporta pada musim terakhir jabatannya bak ”amatiran” ala Malcolm Glazer (pemilik MU) dan duet George Gillet-Tom Hicks (pemilik Liverpool). Para pengusaha asal Amerika itu mengandalkan utang bank. Pada 2005, Glazer membeli MU dengan modal cuma 272 juta pound sterling. Sisanya, 540 juta pound (sekitar Rp 7,6 triliun), utang ke bank dengan bunga di atas 15 persen per tahun.

Pendapatan MU tiap musim habis untuk mencicil utang. Begitu pula yang terjadi pada Liverpool. Gillet-Hick dan Glazer kini tengah menunggu pembeli dengan tawaran terbaik untuk klub mereka. Rumornya, Glazer bahkan berniat menjual Stadion Old Trafford.

”Akan selalu ada yang berniat membeli dan menutup utang,” kata Simon Chadwick, profesor bidang bisnis olahraga dari Universitas Coventry, Inggris. Bisnis sepak bola selalu menarik minat meski penuh risiko dan keuntungannya tak seperti yang dibayangkan. Begitu Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand, kesulitan keuangan karena rekeningnya dibekukan pemerintah, miliarder asal Uni Emirat Arab, Syekh Mansour bin Zayed al-Nahyan, langsung membeli Manchester City pada 2008.

Setelah mengeluarkan dana 200 juta pound (sekitar Rp 3,1 triliun) untuk Thaksin, sampai tahun ini Syekh Mansour juga menggelontorkan 300 juta pound untuk membeli pemain baru. Pada akhir tahun lalu, dia menutup semua utang City peninggalan masa lalu. Miliarder Rusia, Roman Abramovich, telah merogoh saku dua kali lebih besar daripada Syekh Mansour untuk membeli klub, membeli pemain, dan menutup utang Chelsea. Kedua klub itu tak memiliki utang karena kekuatan dana pemiliknya, bukan utang dari bank.

Syekh Mansour tak peduli dengan kenyataan klubnya merugi 121 juta pound (sekitar Rp 1,7 triliun) selama 2009-2010. Pendapatan The Citizens cuma 125 juta pound, sementara pos gaji menghabiskan 133 juta pound. Gaji para pemain baru City sangat tinggi. Ambil contoh Yaya Toure, 185 ribu pound (sekitar Rp 2,5 miliar) per pekan, yang merupakan gaji tertinggi di Inggris. Selain itu, klub menanggung gaji staf yang jumlahnya membengkak, dari 302 menjadi 413 orang.

City dan Chelsea tak masuk kategori ”lampu merah” andai aturan UEFA yang bernama Financial Fair Play diterapkan. Pembelian besar-besaran kedua klub itu berasal dari kocek para pemiliknya, bukan dari pinjaman bank. Aturan ini menyebut pengeluaran klub harus seimbang dengan pendapatan. Yang melanggar bakal didepak dari kompetisi antarklub Eropa. ”Agar tak terulang kasus pemilik Liverpool membeli klub dengan modal utang,” ujar Presiden UEFA Michel Platini.

Sembari menunggu aturan itu diterapkan, mulai 2015 Sandro Rosell masih punya waktu untuk berakrobat mencari tambahan dana. Setelah untuk rugbi, dia mungkin mengundang klub-klub cabang olahraga lain untuk menikmati kemewahan Camp Nou, stadion terbesar di Eropa.

Andy Marhaendra (Soccernet, UEFA, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus