Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM panen sudah berakhir. Padi dan gabah telah dipinggirkan. Para petani berleha-leha di atas tumpukan karung padi. Panggung pun ditegakkan. Sebentar lagi, kenduri ini segera dimulai.
Tuan rumah kenduri yang digelar di Teater Salihara pada Selasa dan Rabu pekan lalu itu adalah Teater Garasi. Komunitas teater Yogyakarta itu memindahkan suasana kenduri di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ke ruang teater dalam pertunjukan Tubuh Ketiga: Pada Perayaan yang Berada di Antara.
Seluruh ruang teater itu berubah jadi ajang pesta. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan pemandangan karya Jompet Kuswidananto, yang menggambarkan sawah, langit, laut, dan kereta api yang menjadi latar kehidupan masyarakat Indramayu, yang berada di pesisir pantai utara Jawa. Di salah satu pojok, tegak sebuah gerbang yang lazim menjadi pintu masuk atau latar pelaminan. Di sudut lain, berdiri sebuah panggung kecil, lengkap dengan organ tunggal dan pemain gitar.
Mereka siap menghibur para tamu, yang boleh duduk atau berdiri di mana saja di ruangan itu, menyatu dengan para aktor dan perlengkapan pementasan. Lalu sebuah perahu-perahuan kecil masuk, didorong seorang badut berpakaian mirip Po, tokoh serial televisi anak-anak Teletubbies, yang berwarna merah, tapi dengan ”rambut” tegak ala punk. Di atasnya duduk seorang perempuan separuh baya dan seorang gadis yang sibuk menari.
Pertunjukan ini tanpa sebuah cerita yang linier dan tanpa penokohan yang tegas. Sutradara Yudi Ahmad Tajudin hanya menata fragmen-fragmen cerita dalam suatu struktur naratif awal-puncak-akhir, yang bahkan bisa dipertukarkan letaknya.
Penonton, dengan demikian, tak akan menemukan tokoh protagonis dan antagonis, seperti lazimnya muncul dalam drama. Yang ada hanyalah banyak tokoh, orang-orang yang dikenali perannya melalui gerak, percakapan, dan kostum mereka.
Di situ kita, misalnya, akan menemukan seorang sinden dan penari topeng, yang diperankan Wangi Indriya, penari topeng Indramayu berusia 49 tahun. Ada pula dua penyanyi tarling dangdut. Yang satu terkesan lebih santun dalam berjoget, yang dimainkan Hanny Herlina, penari lulusan Institut Kesenian Jakarta yang sempat mendalami tari topeng Cirebon pada maestro Mimi Rasinah. Dan satu penyanyi lagi, yang goyangannya lebih ”seronok”, diperankan oleh Sri Qadariatin dari Garasi, yang dulu bekerja bersama dengan sutradara Robert Wilson dalam I La Galigo. Atau seorang lelaki yang memuja tubuhnya, yang dimainkan Theodorus Christanto, aktor Garasi.
Tak ada pusat cerita. Yang disajikan ke penonton adalah potongan catatan tentang kehidupan masyarakat Indramayu, khususnya penyanyi tarling dangdut. Ada penggal kehidupan Santi, penyanyi di kelompok organ tunggal Candra Wulan. Ada kisah Tami, perempuan yang menjadi tenaga kerja di Arab Saudi yang pulang untuk mengadakan kenduri dan upacara rasulan (mengucapkan dua kalimat syahadat) buat putrinya yang berusia delapan tahun. Tami kembali ke Arab Saudi dan akan pulang lima tahun lagi untuk kembali menggelar kenduri—untuk pernikahan anaknya.
Ada pula kisah penyanyi tarling dangdut yang membangun rumahnya bata demi bata dan sebuah jalan buruk di depannya. ”Jalanan buruk ini telah mengantarmu ke mana-mana. Ke panggung-panggung hajatan yang jatuh cinta pada suaramu. Ke tempat-tempat di mana uang berguguran seperti hujan, meski hanya ribuan. Ia akan membasahi tubuhmu. Apa lagi yang dapat kita katakan tentang jalanan buruk ini?” tutur seorang narator membacakan puisi Jalanan Buruk Menuju Rumahmu karya Gunawan Maryanto.
Cerita-cerita itu benar-benar cuma cerita, yang dituturkan oleh satu atau lebih pemain. Ada dialog, tapi minim sekali. Para pemain lebih banyak bergerak, tepatnya menari, untuk mengurai kisah-kisah itu. Konsep berteater semacam ini telah menjadi bagian dari proses kreatif Garasi. ”Dulu kami menyebutnya teater-gerak. Kini cukup teater saja,” kata Yudi Ahmad Tajudin.
Tarling dangdut adalah sebuah perkawinan silang antara kesenian modern dangdut dan seni tradisional tarling—pertunjukan dengan gitar dan suling di kawasan Indramayu, yang konon sudah muncul pada 1930-an dan mencapai puncak popularitas pada 1960-an.
Komunitas Teater Garasi menjelajah ke Indramayu sejak April lalu, bertepatan dengan usainya musim panen dan digelarnya berbagai kenduri. Mereka menyaksikan berbagai pertunjukan tarling dangdut, sandiwara tradisional, dan pertunjukan lain yang lazim diadakan di tengah kenduri. Mereka bertemu dengan para seniman lokal itu dan menggali kehidupannya, termasuk Dewi Kirana dari kelompok organ tunggal Puspa Kirana. Penyanyi yang dijuluki Ratu Pantura itu konon artis terlaris dan termahal di kawasan pantai utara, dengan tarif Rp 10 juta untuk sekali pentas.
Menurut Yudi, Indramayu dengan tarling dangdutnya dipilih sebagai salah satu eksemplar saja dari sebuah strategi kebudayaan Indonesia yang berada di ”antara”, yakni persilangan antara seni tradisional dan modern, budaya agraris dan industrial. ”Di daerah lain mungkin ada pula dengan kasusnya sendiri, tapi kami memilih Indramayu karena kebetulan kami temukan saat dulu melakukan observasi untuk Jejalan pada 2008,” ujarnya.
Bagi Garasi, kata Yudi, persoalan kebudayaan sekarang tak bisa lagi dijelaskan dengan pandangan dualistis asli-asing, tradisi-modern, atau semacamnya. Untuk itulah mereka menawarkan tubuh ketiga, yakni tubuh kebudayaan yang berada di antara dua kutub dalam dualisme itu. Tubuh ketiga inilah strategi kebudayaan itu, yakni sikap berkebudayaan yang tak lagi mempertanyakan siapa kita, tapi apa yang bisa kita lakukan dengan semua ini. ”Bagi kami, barangkali yang lebih produktif adalah rileks atas banyak hal, kemudian bagaimana membangun kreativitas,” katanya.
Pertunjukan Teater Garasi kali ini memang bukan sebuah teater yang la—zim, melainkan sebuah esai dalam bentuk teater dengan mengangkat wacana kebudayaan Indonesia pascakolonial. Sebagai sebuah wacana, tentu ia akan lebih bermakna bila dibahas dalam sebuah diskusi. Itu sebabnya Yudi juga menyisipkan rekaman obrolannya dengan Ugoran Prasad tentang wacana ini pada bagian epilog pertunjukan. Namun, karena sepotong-sepotong, obrolan itu jadi lebih mirip gumaman intelektual yang sukar dipahami maksudnya.
Namun, sebagai teater, pertunjukan ini tampak cukup dinikmati penonton, barangkali karena beberapa kode budaya yang ditampilkannya mudah dikenali. Garasi, misalnya, menyisipkan beberapa lagu populer, seperti Diobok-obok karya Papa T. Bob dan Kucing Garong karya Usin Indra. Apalagi pentas ditutup dengan goyangan Sri Qadariatin yang heboh di tengah dentuman Mujaer Mundur, lagu ciptaan Mamat Surahmat yang dipopulerkan Dewi Kirana: Iwak mujaer mundur, mundur dipatil lele/Gulang-guling ning kasur, aduh kelingan bae/Kakang sing gede dhuwur, sayang ana sing due.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo