Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah sudut India Utara, seorang remaja asal Indonesia menggelandang. Hanya enam ratus dolar Amerika di sakunya. Ia melihat sudut-sudut kota penuh fakir miskin. Omar Taraki Niode, remaja itu, kemudian berputar-putar dalam taksi kusam mengelilingi Kolkata, tempat Ibu Theresa mengulurkan tangan untuk mereka yang papa.
Ratusan frame foto dihasilkan lensa kamera Lumix DMC-FX01-nya. Omar bukanlah seorang Steve McCurry yang begitu besar namanya dengan potret seorang gadis Afganistan yang menjadi sampul muka majalah National Geographic. Ia juga bukan seorang Paolo Pallegrine, yang berusaha bercerita tentang Palestina dengan sebuah kamera saku digital. Pun ia bukan seorang yang dikenal kalangan fotografer Indonesia.
Omar hanyalah remaja 22 tahun yang mencoba mencari jati diri setelah menyelesaikan studi teknologi pangan di University of California Davis, Amerika Serikat. Foto-foto perjalanan itu terasa menggetarkan karena tiga tahun kemudian, pada Februari 2009, di usia 25 tahun, Omar dipanggil Tuhan.
Itulah yang kita rasakan ketika menyaksikan sebuah pameran bertajuk Omar Visual Journey di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Omar bukan siapa-siapa. Namun, saat ia wafat, ia meninggalkan buku catatan perjalanan yang tersusun rapi dalam lemari bersama lima cakram digital bertajuk Bhopal Khajuraho, Bhodgaya to Kolkata, Delhi, Japiur Agra, yang ternyata berisi foto-foto masa pengembaraannya.
Amanda Katili Niode, sang ibu, mencoba membuka satu demi satu buku dan cakram digital itu. Ia terkesima. Omar, anaknya yang pendiam, ternyata seolah mampu melepas perilaku introvernya di situ. Foto-foto perjalanan dan catatan anaknya itu bagai sebuah diari yang tak terbatas.
Ia lalu menyerahkan hasil jepretan sang anak ke kurator foto Oscar Motuloh. Oscar kaget. Ia tak pernah tahu siapa Omar, tapi ia melihat perjalanan Omar bukanlah sebuah perjalanan yang asal tanpa persiapan. Ia benar-benar melakukan riset. Omar merencanakan pengembaraannya bertolak dari buku wajib para pengelana, Lonely Planet India. Ia memilih menginap bukan di hotel berbintang, melainkan hotel bertarif tiga dolar yang dekil dengan dinding berjamur. Oscar melihat peninggalan Omar itu sesuatu yang berharga.
Maka sang ibu dan Oscar memutuskan memamerkan karya Omar dan menerbitkan buku kecil tentang foto-fotonya di Galeri Antara. Dari ratusan foto yang ada, Oscar Motuloh berusaha meraba, menyelami kenaifan gambar demi gambar. Lima puluh jepretan realisasi dari Lonely Planet India dipamerkan. Foto-foto lain disajikan dalam buku Omar Visual Journey, yang diterbitkan oleh Omar Taraki Niode Foundation dan Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Kita melihat jepretannya puitis. Di tepi Sungai Yamuna tempat dulu Kerajaan Indraprasta dibangun oleh Pandawa, misalnya, ia merekam seorang lelaki yang duduk bersantai di tepi daratan sambil memandangi air yang memantulkan cahaya sore. Ia juga lebih memilih menikmati Taj Mahal dari sebuah tanah lapang, hingga ia seakan melihat sebuah masa lalu dari sejarah dan berusaha hidup di dalamnya.
Komunikasi yang dibangun oleh Omar sungguh terasa kuat. Simaklah potret bocah-bocah yang tertawa di sudut kota yang kumal. Pasti Omar sebelumnya berusaha memancing agar senyum manis merekah dari mulut para bocah Hindustan itu, agar mereka lupa akan lingkaran kemiskinan yang mendekap mereka.
Yang mengharukan, kita seolah dapat menyelami gejolak perasaan Omar ketika mengunjungi tempat-tempat itu, karena ia meninggalkan catatan dalam buku tulis butut biru. Catatan itu adalah cerita yang disampaikan kepada oma, ibunya, serta keluarga lainnya yang ia cintai. Catatan itu remeh-temeh, berisi coret-moret ungkapan rasa kangen, penyesalan, kekaguman terhadap obyek yang difotonya, dan sebagainya.
Pada akhirnya petualangan pun adalah sesuatu yang fana. Omar tanpa sengaja telah meyakini ideologi para pengelana: take nothing but pictures, leave nothing but footprints, kill nothing but time”.
Bismo Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo