SUDAH hampir seminggu Asian Games (AG X) berlangsung. Tapi, suasana di Seoul, ibu kota Korea Selatan, tempat diselenggarakannya pesta olah raga untuk 3 milyar penduduk Asia itu, tetap tampak tegang, ribuan petugas keamanan berpakaian preman masih terus berjagajaga: menggeledahi semua orang yang hilir mudik ke dan dari sejumlah tempat strategis, seperti perkampungan para atlet, hotel-hotel, atau tempat-tempat pertandingan olah raga di seputar Seoul. Akibatnya, pesta olah raga yang dibuka oleh Presiden Chun Doo-hwan dengan suatu upacara glamour penuh warna diiringi hujan -- Sabtu pekan lalu di Stadion Utama Chamsil itu, tetap saja terasa mencekam. Puluhan ribu tamu, yang menginap di sekitar 52 hotel besar di Seoul, merasa seperti diintip terus oleh petugas keamanan yang ditempatkan sedikitnya 10 orang di tiap-tiap hotel. Mereka ini dengan wajah serius kerap bertanya, dan memeriksa siapa saja yang mereka curigai. Dan ini sah. Sebab, negeri ini memang berada dalam keadaan siaga penuh, sejak peristiwa pengeboman lapangan udara Kimpo, pertengahan bulan ini, seminggu sebelum Asian Games dibuka. Adalah perdana menteri Kor-Sel, Lho Shim Yong, sendiri yang mengumumkan keadaan itu, sehari setelah kasus pengeboman yang menewaskan lima orang, dan melukai sedikitnya 30 orang itu. Masih belum menemukan jejak pelaku pengeboman tadi, dan setiap saat dibayangi ancaman demonstrasi mahasiswa serta teroris internasional, agaknya memaksa pemerintah militer Kor-Sel tetap memberlakukan kondisi tak sedap itu. Maklum, sudah sekitar Rp 1 trilyun -- dari hampir Rp 4 trilyun yang disiapkan mereka buat pelaksanaan AG X dan Olimpiade ke-24 dihabiskan untuk menyiapkan pesta olah raga multigames pertama buat mereka itu. Inilah juga pesta yang sekaligus ujian pertama buat mereka sebelum jadi tuan rumah kegiatan yang lebih besar, Olimpiade ke-24, dua tahun mendatang. Berpenduduk sekitar 42 juta jiwa, Kor-Sel tampaknya memang berambisi besar untuk bisa menyelenggarakan dua peristiwa olah raga bergengsi itu. "Kami mau menjadi negeri Asia kedua setelah Jepang yang mampu menjadi tuan rumah Olimpiade dan juga Asian Games," kata Lee Jae Hong, direktur jenderal hubungan masyarakat komite Olimpiade Seoul, kepada TEMPO. Padahal, tantangan untuk itu diakuinya cukup besar. Di Asian Games, misalnya, sudah terbukti dengan pemboikotan oleh Korea Utara. Dan juga dari sejumlah organisasi agama (Kristen) serta para mahasiswa, yang menuduh pemerintah mereka ingin mengeksploitasi acara ini untuk kepentingan politik. Lewat AG X, pemerintah Kor-Sel ingin memperpanjang, dan menyelubungi, kediktatoran militer mereka, itu antara lain bunyi sejumlah slogan yang diteriakkan para demonstran dan sempat diliput para wartawan yang sudah berdatangan ke Seoul sebelum AG dibuka. Tapi petugas keamanan telah meringkus tokoh-tokoh demonstran itu. Puluhan orang sudah ditangkap dan ditahan, pemerintah Kor-Sel rupanya jalan terus mendukung kuat penyelenggaraan AG yang sepenuhnya ditangani sebuah panitia swasta (SAGOC Seoul Asian Games Organizing Committee), yang diketuai Park Seh Jik, bekas menteri olah raga Kor-Sel. Panitia ini dibentuk April 1982, setahun setelah secara resmi Seoul ditunjuk menjadi tuan rumah AG X. Lewat panitia ini, Presiden Chun, penggemar tenis dan sepak bola, ingin meneruskan ambisi kebanyakan orang Kor-Sel untuk paling tidak menyamai Jepang. Tak hanya di bidang ekonomi -- negeri ini sudah berhasil meningkatkan pendapatan kotor per kapita nasional dari sekitar 248 US$ pada 1970 menjadi 2.000 US$ lebih pada tahun ini -- tapi juga di bidang olah raga. Di bidang yang terakhir ini, Kor-Sel dalam 40 tahun terakhir ini memang masih terus di bawah negeri yang pernah menjajah mereka 1910-1945 lalu itu. Terakhir di Asian Games 1982 di New Delhi, India, mereka tetap setingkat di bawah Jepang dalam perolehan medali emas. Jepang, yang sudah mendominasi AG sejak pertama kali dimulai (1951), memperoleh 57 medali emas, dan berada setingkat di bawah RRC yang menjuarai Asian Games waktu itu, dengan 61 emas, sedangkan Kor-Sel berada di posisi ketiga dengan 28 emas. Kendati masih separuh lebih tertinggal, toh kini Kor-Sel, yang sedikitnya sudah mempersiapkan atletnya sekitar setahun lcbih, tampak bersiap-siap untuk merebut gelar runner-up di kandang sendiri. Kami sudah memperkirakan dan berharap sedikitnya akan mengumpulkan 65 emas, kata Kim Chong Ha, Presiden Komite Olah Raga Amatir Korea Selatan (Kasa), memang tak mudah, katanya lagi, "karena Jepang juga punya persiapan yang baik." Namun, kami sudah bertekad akan berusaha sekuat tenaga mencapai target itu, tambah Kim Jip, ketua kontingen Kor-Sel. Untuk itu, 500 atlet hasil saringan dari beberapa kali seleksi ketat sudah mereka siapkan, akan ikut di semua cabang pertandingan (25 cabang). Para atlet pilihan itu sudah dilatih intensif setahun lebih. Ada yang di dalam negeri, dan banyak juga yal1g dikirim ke luar negeri: AS, Jerman Balat. dan negeri Eropa lainnya. Mereka, menurut Kim Yong Mo, kepala pelatih kontingen Kor-Sel, sudah digodok dalam tiga fase latihan. "Penekanan dalam latihan kekuatan fisik, skill, dan kemampuan memadukan kedua faktor tadi menjadi kekuatan," katanya. Ditambah suntikan semangat agar semua bisa meniadi pahlawan di cabangnya masing-masing, Kim tampak optimistis kontingennya akan bisa mencapai target. Kendati tak begitu mudah, jalan untuk itu memang cukup terbuka. Sebab, Kor-Sel tak hanya diuntungkan main di kandang sendiri. Namun, juga beroleh keuntungan tambahan dengan mulai dipertandingkannya di hari-hari pertama taekwondo, cabang bela diri yang berasal dari negeri mereka. Dari cabang ini saja kontingen mereka akan mendapat tambahan sedikitnya 8 emas, sesuai dengan jumlah medali yang dipertandingkan. Dari 25 cabang yang dipertandingkan, Kor-Sel setidaknya merasa bakal memperoleh medali dari cabang: panahan (memperebutkan 34 medali), tinju (12 medali), balap sepeda (9 medali), dan judo (8 medali). Cukup alasan untuk bisa merebut emas di cabang-cabang itu. Sebab, di panahan mereka kini punya dua pemanah kaliber dunia: Kim Jin Ho juara dunia 1985 dan Seo Myang Soon. Karena itu, Kim berani memperkirakan dari cabang ini sedikitnya mereka akan memperoleh 8 emas. Demikian juga di tinju. Di New Delhi, 4 tahun lalu, Kor-Sel berhasil mendominasi kejuaraan dengan memperoleh 7 emas dari 12 yang dipertandingkan. Bahkan tahun lalu supremasi itu masih rnereka buktikan dengan merebut 7 emas di kejuaraan tinju Asia di Bangkok. Bisa dimengerti kalau direktur federasi tinju Kor-Sel, Yoo Hyun Hoo, menyatakan dengan lantang timnya bisa dianggap tak bakal terkalahkan di enam kelas: kelas bantam atas nama Moon Sung Gil, 23, yang tak hanya pemegang medali emas di AG 1982, tapi juga merebut mahkota dunia di kejuaraan dunia yang berlangsung tahun lalu di Seoul, kelas welter ringan, Kim Ki Taek, 21, juga juara dunia tahun lalu, kelas menengah ringan, Lee Hae Jung, 23, juara AG 1982, kelas menengah, Sin Jup Seop, 23, juara Olimpiade Los Angeles, kelas berat ringan, Min Byeong Yong, 23, juga juara dunia tahun lalu, dan terakhir kelas berat super, Baik Hyun Man, 27, juara dunia tahun lalu. Di cabang balap sepeda potensi Kor-Sel membaik dibandingkan Jepang. Sebab, di New Delhi, mereka baru bisa merebut 2 emas sedangkan Jepang 5. Tapi, di kejuaraan balap sepeda Asia tahun lalu mereka menggeser Jepang dengan berhasil mengumpulkan 11 medali emas, Jepang hanya memperoleh 5 emas. Secara keseluruhan prestasi olah raga negeri ini memang membaik belakangan ini. Di cabang sepak bola, terbukti, merekalah salah satu wakil Asia ke kejuaraan dunia. Dan itu bukan yang pertama. Pada 1936, negeri ini sudah mengukirkan prestasi dunia ini lewat Sohn Kee Chung, yang meraih medali emas di Olimpiade Berlin. Kini diperkuat sekitar 30 atlet pemegang rekor Asia dan dunia mereka mencoba menyeruak menjadi negeri nomor II terkuat rekor Asia dalam olah raga. Tak mudah, karena yang yang dipukul RRC empat tahun lalu di India, kini juga tak hanya ingin mempertahankan gelar. "Kami akan mencoba merebut gelar yang lepas itu sekarang, kata Anai Minoru, ketua kontingen Jepang. Kontingen Jepang datang dengan jumlah kontingen nomor kedua terbesar setelah Kor-Sel, 591 orang, dan ikut di semua nomor pertandingan. Datang dengan sebagian atlet muda, tim dari negeri sakura ini sudah membidik dua cabang: judo dan renang, sebagai tambang perolehan medali. Dari renang, misalnya, empat tahun lalu mereka berhasil merebut 21 dari 27 medali yang diperebutkan. "Kali ini kami yakin dapat 18 emas," kata Tsuyoshi Aori, pelatih renang tim Jepang. Dia tak merinci dari kelas mana saja emas itu bakal direbut. Namun, jelas mereka punya antara lain Mika Saito, juara Asia, nomor 400 meter gaya bebas putra. Naomi Sekido, 17, yang dua tahun lalu sempat bertarung di Olimpiade Los Angeles di nomor 800 meter gaya bebas putri. "Sedikitnya akan mengumpulkan 70 emas," sambung Anzai. Selain rencana menyapu bersih semua emas di judo, kontingen negeri matahari terbit ini juga akan mencoba mendobrak dominasi RRC, rival utama mereka di atletik, balap sepeda, dan menembak. RRC, yang datang dengan jumlah kontingen 520 orang, hanya ikut dalam 20 cabang. "Tapi, kami membawa serta semua atlet terbaik kami," kata Ji Ming Tao, asisten pimpinan delegasi RRC. Dan mereka itulah, misalnya pesenam Li Ning (lihat Pengumpul Emas dari Liuzhou) Zhu Jianhua, peloncat tinggi, yang menghangatkan pasaran perebutan medali di Seoul hari-hari ini. Ketiga negeri, Kor-Sel, Jepang, dan RRC, boleh jadi memang bersaing ketat untuk merebut tiga besar pesta yang kali ini hanya diikuti atlet dari 27 negara saja menurun dari 33 negara pada 1982 lalu. Siapa di tempat keempat? Ketua Umum KONI Surono sudah memberi isyarat: Indonesia. "Saya berharap para atlet kita, yang telah punya persiapan cukup, dapat berjuang menaikkan peringkat kita dari ke-6 menjadi ke-4 tahun ini," katanya. Indonesia ikut di 23 cabang, dan mengirim 203 atlet plus sekitar 100 ofisial ke Seoul. Ini jumlah kontingen terbesar dalam sejarah pengiriman atlet. Masih teka-teki apakah mereka bisa menjegal India, yang datang dengan jumlah kontingen 500 orang lebih, dan juga berambisi setidaknya merebut tempat itu. Diperkuat atlet bintang kejuaraan atletik Asia 1983, P.T. Usha, India cukup berharap emas di atletik putri dan juga hoki. Sampai Senin pekan ini, kedua kontingen terakhir ini dan juga 22 kontingen lainnya tetap belum berhasil merebut satu medali emas pun. Medali pertama Indonesia, perunggu, disumbangkan Wihadja Dirja pada angkat besi kelas 56 kg. Adapun atlet lain, untuk sementara, cukup menonton pemecahan rekor yang terus dibuat atlet RRC, Jepang, dan Kor-Sel. Atau bersaing dalam pemecahan rekor lain di luar lapangan. Misalnya, dalam hal bertelepon dengan kerabat mereka di tanah air dari kompleks perkampungan di Seoul, yang sampai sehari sebelum kejuaraan dimulai dimenangkan kontingen Indonesia. Kontingen ini tercatat menghabiskan sekitar 3 juta won atau sekitar Rp 6 juta untuk 443 kali pembicaraan telepon. Disusul Jepang menghabiskan 1,4 juta won buat 219 kali pembicaraan. Lalu Arab Saudi dan kemudian Kuwait. Marah Sakti (Seoul)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini