Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di samping-samping rumah masa depan

Film seri rumah masa depan tidak muncul lagi. masa kontraknya sudah habis dengan tvri. drama losmen tinggal 9 episode lagi. film seri yang dikerjakan orang luar lebih murah dibandingkan dengan orang tvri. (tv)

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA Pak Sukri sudah tidak ada lagi di layar TV. Kehidupan Desa Cibeureum yang tenang, dengan kepala desanya yang menduda -- dan selalu dijadikan sasaran gosip Bu Suwito, seorang warga -- tak lagi menjadi bagian dari acara penonton pada Ahad siang. Rumah Masa Depan (RMD) memang sudah menghilang -- sejak akhir bulan lalu. "Memang kontraknya sudah selesai," kata Rahayu Effendi direktur operasional PT September Promotion (Sepro) yang memproduksi film itu. Inilah film seri TVRI yang dikerjakan pihak swasta, dengan TVRI hanya menyediakan dana. Semula kontrak antara kedua pihak hanya untuk dua tahun atau 26 episode. Karena desakan penonton, lewat surat-surat, mereka menambahnya dengan tiga episode lagi, seperti dituturkan Yayuk, panggilan hajah ini. Sutradara dan penulis skenario RMD, Ali Shahab, memperkuat ucapan Yayuk. "Betul-betul hanya karena kontraknya sudah selesai," katanya. Toh ia tak menutupi kenyataan adanya kerugian menggarap RMD. PT Sepro, katanya, sudah menombok sekitar Rp 20 juta. "Tapi buat kami bukan masalah, sebab kami cukup puas dengan hasil produksi itu", kata Ali Shahab, kali ini sebagai direktur utama PT itu. Kontrak dengan TVRI sebesar Rp 13 juta untuk satu episode. Yang diterima PT Sepro hanya Rp 11 juta lebih sedikit sisanya dipotong pajak -- Ali tak menjelaskan, pajak apa. Yang jelas, dari anggaran itu ia harus membiayai seluruh produksi: membayar artis, membeli bahan baku, dan semua pengeluaran lain. "Biayanya memang bervariasi -- tak bisa dirinci: untuk artis, untuk dekor, dan sebagainya. Pada setiap episode berlainan," katanya. Ia memberi contoh dengan pembuatan episode Anak Ajaib (tiga kali pemutaran) yang melibat ratusan anak sekolah. Setiap anak diberinya honor Rp 12.500, ditambah makan siang dan malam, serta angkutan bis antar-jemput. Tak disebutkannya berapa besar honor artis. Juga Deddy Sutomo, Aminah Cendrakasih, Wolly Sutinah, A. Hamid Arief para pemeran keluarga inti -- tak bersedia membicarakannya. Mieke Wijaya, yang memerankan tokoh Bu Suwito, hanya berkata "Memang belum memuaskan. Tapi, yang penting, batin sudah puas." Sedang Panji Anom, 70, yang menjadi suami Mieke di film ini, agak berterus terang. Katanya, kepada Sayadi dari TEMPO, "Saya menerima Rp 200 ribu untuk satu cerita. Saya kira itu sangat pantas, karena shooting-nya tidak lama cukup dua hari untuk seorang pemain." RMD lahir setelah TVRI mengadakan dengar pendapat dengan para pengisi siaran, 1983. Ali Shahab hadir. Ia melemparkan gagasan: bagaimana kalau film seri digarap sepenuhnya oleh kelompok di luar instansi itu. Pihak TVRI, yang sudah punya pengalaman kerja sama dengan kepolisian dalam produksi film seri Lingkaran (macet setelah menghasilkan sembilan film) tertarik. Ali langsung ditantang. Dan kemudian membuat proposal. Dan diterima. Kontrak pun ditandatangani, Juni 1984. Judul yang dipilih: Rumah Masa Depan -- muncul karena, kebetulan, TVRI baru saja usai memutar film seri A Little House on the Prairie. Ada syarat khusus, mengenai isi? "Tidak ada, selain pesan moral: serial itu harus memperlihatkan kerukunan antar warga dari satu masyarakat pedesaan. Ini jawaban Yayuk. Seri pertama berjudul Nenekku Manis Jangan Menangis. Ceritanya tentang Mak Wok (Wolly Sutinah) yang kesepian di tengah ingar-bingar Kota Jakarta, lalu jatuh sakit, lalu kembali ke desa, tinggal bersama anak dan cucu. Sebuah awal yang menjanjikan kampanye "lirik desa, tinggalkan kota" Dakwah ini semakin jelas pada seri-seri selanjutnya: Cibeureum digambarkan sebagai desa yang teduh dengan para warga yang jujur. Kalaupun di suatu saat ada keributan biang keroknya selalu orang kota, atau orang situ yang baru pulang dari kota. Bu Suwito, tokoh nyinyir yang dalam beberapa episode, digambarkan sebagai tukang bikin runyam, adalah contoh. Ia sok modern, sombong, tetapi selalu pada akhirnya menyesal dan minta maaf. Dalam episode Anak Ajaib, Ali Shahab begitu membela anak desa yang tak bersekolah tetapi bisa mengalahkan anak-anak kota dalam adu cerdas-cermat, hanya karena anak yatim ini berjualan majalah, sumber ilmunya. Si pengarang mau berkata: pendidikan tak hanya ada di bangku sekolah. Bagus, Li. Menurut Ali dan Yayuk, sudah ada permintaan dari televisi negara-negara tetangga (Malaysia, Singapura, Brunei) yang ingin memutar film seri yang banyak diperani para bintang terkenal ini -- Almarhum Sukarno M. Noor, Tino Karno, Mila Karmila, misalnya. "Kami tak keberatan, tetapi hak penjualan ada pada TVRI," kata Ali sendiri. "TVRI siap melayani" -- sambutan Sa'dullah, Kepala TVRI Stasiun Pusat Jakarta. "Dan perjanjian itu memang sudah ada dalam kontrak dengan PT Sepro," kata Sa'dullah. Menurut Ali, kalau itu jadi, "Sepro akan mendapat 40%." Putusnya kontrak antara TVRI dan Sepro memang disesali. Bukan cuma oleh penonton, tapi juga para pendukung filmnya. Kabarnya, PT Sepro masih bersedia menandatangani kontrak baru, asal dengan biaya di atas harga lama. Tapi, menurut Sa'dullah masalahnya bukan biaya, tapi jarak waktu produksi dan waktu siaran yang tidak klop. "Waktu yang diperlukan untuk memproduksi hampir satu bulan untuk satu episode, sedang siarannya dua minggu sekali," katanya. Ini mengharuskan TVRI siap jauh sebelumnya, jika pun ada kontrak baru. Mungkin seperti film seri ACI (Aku Cinta Indonesia) itu, yang diproduksi seluruhnya 52 judul, baru disiarkan setiap minggu. Bisa jadi RMD akan hilang selamanya: penyediaan seri-serinya yang baru, berdasar kontrak baru, akan memutus kesinambungannya dengan yang kemarin. Dan kehilangan itu mencemaskan proyek kerja sama yang lain: drama seri Losmen, yang diputar Rabu malam minggu kedua setiap bulan. Losmen, seperti RMD, juga produksi yang dikerjakan kelompok luar: Studio 17, yang dipimpin Wahyu Sihombing. Bedanya dengan pada RMD: pihak Hombing hanya menyodorkan cerita, merancang kostum, mengatur dekor, sementara awak televisi terlibat dalam pengambilan gambar, yang lebih banyak dilakukan di studio. Senang susah sama-sama, begitu teorinya. Adapun bedanya dengan produksi murni TVRI: drama seri yang mengambil lokasi cerita di sebuah penginapan plus rumah makan di Yogya ini, yang memfokuskan masalah -- menurut Tatiek Maliyati Sihombing, pengarang ceritanya -- pada postpower syndrome keluarga Pak Broto, bersih dari pesan sponsor. "Sebuah departemen pernah mau menitipkan pesan-pesan dengan membayar mahal. Tetapi saya tolak," kata Wahyu Sihombing, pengatur laku alias sutradaranya. "Kalau Losmen menerima pesan sponsor, lebih baik saya berhenti." Tapi akibat "antisponsor" itu, nilai konrak Losmen sangat murah. Mula-mula hanya Rp 1,5 juta per judul, belakangan dikabarkan Rp 2,5 juta. Studio 17 memang tak perlu membeli bahan baku film, membayar honor juru kamera, membeli peralatan dekor -- tapi biaya selama latihan dan kostum ditanggung sendiri. Latihan diselenggarakan berhari-hari -- pada tahap-tahap pertama, sampai tiga bulan -- untuk menyatukan bahasa dan gerak. Maklum, tidak semua pemainnya orang Jawa. "Bekerja 'kan tidak selalu harus diukur dengan uang. Karena itu, Losmen jalan terus," kata Wahyu Sihombing. Soalnya, kata sebuah sumber, seorang pemain tetap hanya dibayar rata-rata Rp 100.000 per judul. Toh semua pemain (Mieke Wijaya, Poernomo alias Mang Udel, Ida Leman, Dewi Yull, Mathias Muchus, Sutopo Hs., Eeng Saptahadi, di luar para pemain tamu) mengaku rela merugi. "Untuk mencari uang, toh saya masih tetap main film," ujar Ida Leman, tokoh perawan tua di situ. Malah, kalau dihitung-hitung, ada juga pengaruh positif lakon layar yang menurut Sihombing ditonton 50 juta orang ini: artis Losmen jadi makin laris di film. Impas, ni, ye?. Losmen sudah memasuki episode ke-15, dan pada Tatiek sudah tersedia sembilan skenario lagi. Memang, rencananya serial ini berakhir pada episode ke-24 (rencana semula cuma 12 episode). Setelah itu ? Tak ada yang bisa meramalkan. Tak selamanya film bersponsor jelek. Beberapa film produksi murni TVRI yang diputar bulan-bulan Agustus dan September ini, jelas mendukung pesan dari berbagai departemen pemerintah (Nyi Kedasih, Wajah-Wajah, Kelepak Sayap Terluka, Satria-Satria, misalnya), menunjukkan perencanaan yang baik pada cerita, penyusunan konfliknya, atau konsep setingnya (pada tema masa penjajahan: tidak cuma dor dor dor dan ektremis ektremis dan en kowe en kowe, walau seperti kurang latihan atau kurang kemampuan para pendukungnya. Yang jelas terbayang adalah biaya yang mahal: semua film tersebut ber-shooting di daerah -- untuk, mengutip Sa'dullah, "memperhatikan unsur daerah dan memberi dampak positif demi pembangunan." Berapa crew harus diboyong dari Jakarta, coba? Lepas dari yang mana yang kira-kira lebih mendukung pembangunan, antara film produksi TVRI sendiri dan produksi luar, dan mana yang lebih digemari penonton atau lebih bermutu, biaya yang dikeluarkan TVRI untuk proyeknya sendiri itu berjumlah -- menurut Sa'dullah -- Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Para awak, tentu saja, digaji pemerintah. Putu Setia, Laporan M.Cholid & Erlina S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus