SPERLING Pangaribuan dua kali saja dapat naik ring dalam
setahun. Maksimum Rp 250.000 diperolehnya sekali bertanding.
"Tak cukup itu untuk membuat dapur tetap berasap," kata petinju
profesional itu.
Kesempatan bertanding terbatas sekali bagi banyak orang
Indonesia seperti Pangaribuan yang mencoba hidup sebagai petinju
bayaran. Soalnya ialah tinju belum sepenuhnya dikembangkan
menjadi usaha bisnis.
Jadi, kalau tidak naik ring, bagaimana "Harus mencari tambahan
penghasilan lain," jawab Pangaribuan, ayah dari seorang anak.
Biasanya itu sulit baginya, karena dia tidak terlatih di bidang
lain. "Ketika melamar keperusahaan," katanya, "saya ditawarkan
jadi Hansip."
Semula Andy Ulifero, seorang promotor, sudah mulai menggiatkan
tinju prof. Sejak ia meninggal tahun 1978, kegiatan itu
terhambat lagi. "Kami petinju prof seperti anak ayam kehilangan
induk jadinya," kata Pangaribuan lagi.
Namun titik terang mulai kelihatan bagi para petinju profesional
dalam hari-hari mendatang ini. Boy Bolang, 32 tahun, baru-baru
ini meresmikan perusahaannya, BB Boxing Corporation, yang
membuat adu tinju sebagai bisnisnya. Dia sendiri bekas petinju
Berkantor di Speed Building, Jl. Gajah Mada, Jakarta, ia akan
menyelenggarakan pertandingan sebanyak mungkin. Buat sementara
ia melihat kemungkinan paling sedikit 8 kali dalam setahun,
mulai Januari nanti.
Para petinju profesional yang tadinya sudah kurang bergairah,
kini kembali berlatih. "Sekarang ada target -- lebih
merangsang," kata seorang petinju dari Sasana Sawunggaling,
Surabaya. Setiadi Laksono, yang memimpin sasana itu, konon mulai
aktif mengkoordinir para petinju Jawa Timur yang bersarang di
berbagai sasana lain seperti Gajahyana, Taman Tirta dan Massa 33
Camp.
Boy Bolang mengaku ia mendapat beking modal Rp 20 juta dari
Tommy dan Spencer Djorgie, keduanya wiraswasta. Untuk pertandingan
Januari nanti, ia menawarkan pada petinju pembayaran Rp 100.000
s/d Rp 500.000.
Seorang petinju, ketika ditawari untuk mengikuti pertandingan
Januari itu, semula meminta Rp 2 juta, dengan bayangan mungkin
sekali itu saja selama 1980. Tapi kemudian, setelah mengetahui
rencana Bolang, ia bersedia menurunkan harga. "Kan lebih baik
Rp 100.000 saja tapi bisa 8 kali naik ring dalam setahun," ujar
Bolang padanya.
Apakah bisa untung? Bolang menjawab bahwa ia sudah berpengalaman
sebagai promotor tinju amatir bulanan DKI. Waktu itu diundangnya
berbagai perusahaan sebagai sponsor. Dari penjualan karcis tidak
begitu diharapkannya. "Untuk tinju amatir saja sudah banyak
sponsor," katanya, "apalagi untuk pertandingan prof."
Sudah diduganya bahwa ia akan rugi dari pertandingan pertama,
tapi akan beruntung setelah pertandingan kedua atau ketiga.
"Mungkin pada pertandingan ketiga kita sudah akan bisa jadi
promotor petinju luar negeri yang digabung dengan petinju
lokal," katanya. "Tapi ini bukan melulu bisnis. Kita juga
mengejar prestasi nasional."
Prestasi itu, menurut bayangannya, akan bisa dikejar kalau
petinju sering bertanding dan dirangsang. Dalam hal ini Max
Djorgie, Komisaris Komite Tinju Indonesia (KTI) yang
berpengalaman mengasuh petinju prof sejak 1939, sependapat. "Di
Thailand dan Filipina hampir setiap hari ada pertandingan di
berbagai kota," kata Djorgie, 67 tahun. "Maka di sana muncul
petinju kelas internasional."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini