BENTROKAN antara nelayan tradisional dengan kapal pukat harimau
(trawl) masih sering terjadi. Untuk menanggulanginya, juga
melindungi nelayan tradisional, pemerintah membatasi jumlah si
harimau. Hasilnya: hampir semua di antara sekitar 3.000 pukat
yang menjaring hasil laut di perairan Indonesia sudah mendapat
izin.
Kepada mereka memang pernah dihimbau agar memberi kesempatan
kepada nelayan yang lemah. Misalnya 2 bulan lalu ketika mereka
dikumpulkan oleh Gubernur Jawa Timur Soenandar Prijosoedarmo.
Dalam pertemuan itu Soenandar berkata agak keras: "Janganlah
saudara seolah-olah menari di tengah keprihatinan nelayan kecil
yang melarat. "
Repotnya, "kebijaksanaan nasional" yang mengatur pembagian
rezeki di laut itu belum mantap. Hal ini diakui oleh Dirjen
Perikanan Imam Sudjono pertengahan bulan ini dalam rapat
kerja dngan Komisi IV DPR. Menurut Dirjen, langkah-langkah
mendasar "saat ini harus digodok secara intensif diharapkan
dalam waktu yang relatif dekat telah dapat diselesaikan."
Mungkinkah nelayan tradisional memiliki trawl? Sulit. Sebab
selain mahal, sekitar Rp 15 - 20 juta, pemerintah juga sudah
memutuskan. tidak menambah jumlah trawl yang ada. Kalau pun
kesempatan itu ada, barangkali lewat KUD. Seperti awal tahun ini
lebih kurang 150 trawl yang tertangkap (dan diadili karena
melanggar ketentuan oprasi) diserahkan kepada Ditjen Koperasi.
Bahaya Baru
Usaha meningkatkan kemampuan nelayan untuk menangkap ikan bukan
tak ada. Sebelum memanfaatkan trawl hasil sitaan liwat KUD, yang
pertama ditempuh pemerintah ialah memberi kredit pada nelayan
pribumi untuk membeli sejenis trawl ukuran lebih kecil seharga
Rp 4 - 5 juta pukat harimau kecil itu konon dibikin oleh para
ahli perkapalan asal Bagansiapi-api.
Usaha seperti itu bahkan sudah dimulai setelah meletusnya
"peristiwa Muncar" 5 tahun lalu (TEMPO, 1 September). Di
Muncar, Banyuwangi, ketika itu sudah diluncurkan 54 unit kapal
kecil selerek. Setiap unit dimiliki 13 nelayan. Dalam
perkembangannya kemudian, ada beberapa selerek yang bisa disebut
sebagai trawl mini.
Hal itu karena mereka kemudian menangkap ikan dengan jaring
trawl. Tentu saja secara diam-diam. Dalam izin Dinas Perikanan
setempat, selerek hanya diperkenankan menggunakan jaring
gillnet atau purse seine. Jaring semacam itu hanya bisa
menangkap ikan pelagis seperti cakalang dan tuna di permukaan
laut. Tapi trawl, mampu menggaruk ikan tenggiri di lapisan
tengah, bahkan udang di dasar laut.
Sekitar Agustus lalu, trawl mini pertama kali muncul di perairan
Cilacap, kemudian dengan cepat menyebar ke segenap perairan
Jawa Tengah. Bahkan juga di Jepara, Pati dan Rembang yang tak
begitu banyak ikan. Hal ini sempat memprihatinkan Gubernur Jawa
Tengah Soepardjo Roestam. Di pelabuhan nelayan Juana, Kabupaten
Pati, 2 bulan lalu, Gubernur Soepardjo dan Dirjen Perikanan Imam
Sardjono sepakat menanggulangi "bahaya baru" itu.
"Masalah trawl sudah agak bisa diatasi. Tapi kalau trawl mini
tidak di bendung, akibatnya akan sama saja, "kata gubernur. Di
Cilacap September lalu 3 trawl mini ditangkap. Biarpun
pemiliknya pribumi, segera akan diadili. "Mereka memang
pribumi. Tap, saya tahu siapa di belakang mereka, meskipun itu
tidak harus berarti non pribumi," kata gubernur. Untuk
membedakan trawl besar dengan trawl mini tak sulit. Yang besar
berukuran 15 x 3 meter, dengan mesin 100 - 150 PK, awak kapal 10
orang, kapasitas angkut 20 ton, harga Rp 15-20 juta. Yang mini
ukuran 12 x 2 meter, mesin 24-35 PK, kapasitas angkut 3 ton,
awak kapal 3-5 orang, harga Rp 5-7 juta.
Meski lebih murah ketimbang trawl biasa, pukat harimau kecil toh
hanya bisa dijangkau nelayan pribumi yang kuat. Trawl mini KM
"Samudera" yang 2 bulan lalu ditenggelamkan nelayan tradisional
di Cilacap misalnya, ternyata milik Syahbandar Cilacap,
Sriyanto. Belum tuntas menghadapi trawl yang umumnya dimiliki
pengusaha non-pribumi, kini nelayan tradisional menghadapi
trawl mini yang pribumi.
Mampu Merajalela
"Trawl mini itu liar karena tidak punya izin. Jadi bisa
dimengerti kalau ada pemda yang melarang," kata drs. Alwinur
dari Ditjen Perikanan kepada TEMPO akhir pekan lalu. Sejak bulan
lalu Pemda Ja-Teng dan Ja-Tim melarang trawl mini beroperasi di
wilayahnya. Bahkan menurut Suhartono, Ka-Humas Pemda Ja-Tim,
"bukan hanya pengusaha luar, pengusaha Ja-Tim sendirl termasuk
KUDnya dilarang mengoperasikan trawl mini."
Para pemilik trawl mini tentu merasa dirugikan. "Sejak
pelarangan itu, sekitar 130 awak kapal kami nganggur," kata Atas
Munandar (44 tahun) nelayan pribumi dari Cilacap mewakili 6
pemilik trawl lainnya. Sebab rekan-rekan Munandar menganggap
pemilikan trawl mini itu sebagai konsekuensi anjuran pemerintah
untuk memajukan nelayan tradisional.
"Saya sudah minta kredit Rp 2 juta dan kredit KUD Rp 1,5 juta
untuk memesan trawl mini. Tapi baru 3 bulan berjalan sudah
dilarang," kata Munandar lagi. Dia enggan mengganti jaring trawl
yang dipakainya dengan jaring gillnet. "Kalau pakai gillnet
lagi, lalu kapan kita bisa maju?" tambahnya. Menurutnya, kalau
trawl mini diizinkan beroperasi, trawl biasa akan bangkrut.
Para pembuat trawl mini tampaknya cukup berpengalaman. Dan
lihay. Kapal jenis ini dibuat sedemikian rupa hingga mampu
merajalela di semua jalur. Baik di wilayah yang hanya dijatahkan
buat nelayan tradisional (3 mil dari pantai), maupun di tengah
laut (7 mil dari pantai), wilayah khusus bagi trawl biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini