Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bermula dari kandang kereta

Pada usia 30 tahun, universitas gajah mada kini memiliki kampus se luas 110 ha di bulaksumur. sejumlah 18 fakultasnya bergabung menjadi satu, dengan 17.000 mahasiswa. (pdk)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA usia 31 tahun, apa saja yang telah dapat diperbuat dan dicapai? Bagi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang merayakan lustrum keenamnya 19 Desember yang lalu, memang banyak yang bisa di catat. Soal mahasiswa misalnya. Menurut Prof. ir. Herman Johannes, 66 tahum Guru Besar Fisika dan Kimia, paling tidak "gaya mahasiswa tahun 50-an, kemudian tahun 60-an dan sekarang berbeda-beda." Sebagai salah seorang anggota Senat UGM yang pertama (dibentuk beberapa saat, setelah UGM resmi dibentuk, 19 Desember 1949), dan kemudian menjabat rektor (1961-66) agaknya profesor ini sulit mengamati kehidupan mahasiswa UGM dari tahun ke tahun. "Sampai pertengahan tahun 60-an, banyak dosen dihantam dengan poster oleh mahasiswa. Malahan mahasiswa sampai minta dosen tertentu dipecat, karena tidak memuaskan," tutur profesor yang pernah menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga itu (1950-1951). Hal itu dibenarkan Dr. Umar Kayam. 47 tahun, yang tahun 1955 lulus sarjana muda dari Fak. Pedagogik, dan pernah didukung sebagai redaksi majalah kampus Gema Mabasisva (terbit 1953, oleh DM UGM): "Barangkali iklim saat itu memungkinkan." Ia pun menceritakan bagaimana leluasanya pers kampus bersuara. Dan menurut penilaiannya "Analisa politik lebih baik dan matang ketimbang penerbitan kampus sekarang." Juga usaha mahasiswa waktu itu benar-benar efektif. Paling tidak menurut penilaian Kayam, yang sekarang menjabat Ketua Pengkajian Budaya UGM. Dari hasil penyetensilan paper dan skripsi, Badan Penerbit Gajah Mada hersil menerbitkan koran mingguan Minggu. Koran ini, karena kemudian "tak ada yang meneruskan," pindah tangan dan menjadi Pelopor Jogja (1966). Tapi diakui Kayam juga, bahwa pers kampus sekarang "pengetahuan umum dan pembahasan buku lebih kaya." Dalam pidato menyambut 30 tahun universitas ini, Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Rektor UGM sejak 1973, mengatakan bahwa minat calon mahasiswa UGM tahun 70-an sebagian besar pada bidang teknologi. Kemudian baru ekonomi, hukum dan pertanian. Itu yang boleh dianggap menonjol. Sementara fakultas yang memegang peranan, menurut Kayam, "dulu Fak. Kedokteran di Ngasem itu." Dalam kegiatan-kegiatan kampus "kelompok Ngasem ini pelopornya." Sekarang1 adalah tak. Ekonomi. "Kenapa? Sebab pengkaderannya baik. Jumlah doktornya juga banyak," kata Kayam. Hukum Dan Kesusastraan UGM yang kini fakultas-fakultasnya telah menyatu di Bulaksumur, menempati tanah seluas 110 ha. Dan telah berhasil menelurkan 25 doktor berbagai bidang. Yang masih menunggu promosi sudah tercatat 121 orang. Perpustakaan Pusatnya telah memiliki lebih dari 2 ribu judul buku. Ini belum terhitung perpustakaan masing-masing fakultasnya yang berjumlah 18 fakultas itu (Universitas Indonesia hanya mempunyai 10 Fakultas). Sejarah UGM dimulai dari berdirinya sebuah perguruan tinggi swasta bernama Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada 1946, oleh antara lain Ki Hadjar Dewantara, Mr. Soenarjo, Dr. Soekiman, Prof. ir. Rooseno. Baru 19 Desember 1949 perguruan yang baru mempunyai dua Fakultas itu (Hukum dan Kesusastraan) diresmikan menjadi UGM setelah digabung dengan beberapa sekolah tinggi negri di Yogyakarta (antara lain Sekolal Tinggi Teknik, Kedokteran, Farmasi). Dan tentu saja, universitas yang lahir bertepatan dengan Aksi Militer Belanda II itu, pada mulanya berjalan penuh kesederhanaan dan apa adanya. Bekas-bekas rumah, kantor bangsawan Yogyakarta ikut berjasa dalam perkembangan universitas ini. Misalnya di kawasan yang disebut Ngasem itu, bekas kandang kereta menjadi ruang praktek Fak. Kedokteran. Bekas kamar jaga menjadi laboratorium bakteriologi. Dan bekas kamar-kamar pelayan Adipati dulu menjadi laboratorium kimia. Sampai dengan Prof. Dr. Sukadji, UGM telah pernah berganti rektor (dulu istilahnya Presiden Universitas) lima kali. Rektor pertama, Prof. Dr. Sardjito, kemudian digantikan Prof. Johannes. Dan berturut-turut menjabat rektor. drg. Nazir Alwi, drs. Supojo Padmodiputro, drs. Suroso.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus