PADA usia 31 tahun, apa saja yang telah dapat diperbuat dan
dicapai? Bagi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang merayakan
lustrum keenamnya 19 Desember yang lalu, memang banyak yang
bisa di catat.
Soal mahasiswa misalnya. Menurut Prof. ir. Herman Johannes, 66
tahum Guru Besar Fisika dan Kimia, paling tidak "gaya mahasiswa
tahun 50-an, kemudian tahun 60-an dan sekarang berbeda-beda."
Sebagai salah seorang anggota Senat UGM yang pertama (dibentuk
beberapa saat, setelah UGM resmi dibentuk, 19 Desember 1949),
dan kemudian menjabat rektor (1961-66) agaknya profesor ini
sulit mengamati kehidupan mahasiswa UGM dari tahun ke tahun.
"Sampai pertengahan tahun 60-an, banyak dosen dihantam dengan
poster oleh mahasiswa. Malahan mahasiswa sampai minta dosen
tertentu dipecat, karena tidak memuaskan," tutur profesor yang
pernah menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga itu
(1950-1951).
Hal itu dibenarkan Dr. Umar Kayam. 47 tahun, yang tahun 1955
lulus sarjana muda dari Fak. Pedagogik, dan pernah didukung
sebagai redaksi majalah kampus Gema Mabasisva (terbit 1953,
oleh DM UGM): "Barangkali iklim saat itu memungkinkan." Ia pun
menceritakan bagaimana leluasanya pers kampus bersuara. Dan
menurut penilaiannya "Analisa politik lebih baik dan matang
ketimbang penerbitan kampus sekarang."
Juga usaha mahasiswa waktu itu benar-benar efektif. Paling tidak
menurut penilaian Kayam, yang sekarang menjabat Ketua Pengkajian
Budaya UGM. Dari hasil penyetensilan paper dan skripsi, Badan
Penerbit Gajah Mada hersil menerbitkan koran mingguan Minggu.
Koran ini, karena kemudian "tak ada yang meneruskan," pindah
tangan dan menjadi Pelopor Jogja (1966).
Tapi diakui Kayam juga, bahwa pers kampus sekarang "pengetahuan
umum dan pembahasan buku lebih kaya."
Dalam pidato menyambut 30 tahun universitas ini, Prof. Dr.
Sukadji Ranuwihardjo, Rektor UGM sejak 1973, mengatakan bahwa
minat calon mahasiswa UGM tahun 70-an sebagian besar pada bidang
teknologi. Kemudian baru ekonomi, hukum dan pertanian. Itu yang
boleh dianggap menonjol.
Sementara fakultas yang memegang peranan, menurut Kayam, "dulu
Fak. Kedokteran di Ngasem itu." Dalam kegiatan-kegiatan kampus
"kelompok Ngasem ini pelopornya." Sekarang1 adalah tak.
Ekonomi. "Kenapa? Sebab pengkaderannya baik. Jumlah doktornya
juga banyak," kata Kayam.
Hukum Dan Kesusastraan
UGM yang kini fakultas-fakultasnya telah menyatu di Bulaksumur,
menempati tanah seluas 110 ha. Dan telah berhasil menelurkan
25 doktor berbagai bidang. Yang masih menunggu promosi
sudah tercatat 121 orang. Perpustakaan Pusatnya telah memiliki
lebih dari 2 ribu judul buku. Ini belum terhitung perpustakaan
masing-masing fakultasnya yang berjumlah 18 fakultas itu
(Universitas Indonesia hanya mempunyai 10 Fakultas).
Sejarah UGM dimulai dari berdirinya sebuah perguruan tinggi
swasta bernama Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada 1946, oleh
antara lain Ki Hadjar Dewantara, Mr. Soenarjo, Dr. Soekiman,
Prof. ir. Rooseno. Baru 19 Desember 1949 perguruan yang baru
mempunyai dua Fakultas itu (Hukum dan Kesusastraan) diresmikan
menjadi UGM setelah digabung dengan beberapa sekolah tinggi
negri di Yogyakarta (antara lain Sekolal Tinggi Teknik,
Kedokteran, Farmasi). Dan tentu saja, universitas yang lahir
bertepatan dengan Aksi Militer Belanda II itu, pada mulanya
berjalan penuh kesederhanaan dan apa adanya. Bekas-bekas rumah,
kantor bangsawan Yogyakarta ikut berjasa dalam perkembangan
universitas ini. Misalnya di kawasan yang disebut Ngasem itu,
bekas kandang kereta menjadi ruang praktek Fak. Kedokteran.
Bekas kamar jaga menjadi laboratorium bakteriologi. Dan bekas
kamar-kamar pelayan Adipati dulu menjadi laboratorium kimia.
Sampai dengan Prof. Dr. Sukadji, UGM telah pernah berganti
rektor (dulu istilahnya Presiden Universitas) lima kali. Rektor
pertama, Prof. Dr. Sardjito, kemudian digantikan Prof. Johannes.
Dan berturut-turut menjabat rektor. drg. Nazir Alwi, drs. Supojo
Padmodiputro, drs. Suroso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini