DARI 7 papan yang dimainkannya, Utut Adianto dengan mudah
mengumpulkan 6 angka. "Di Cipayung itu tidak ada lawan yang
berani," ceritanya pekan lalu tentang turnamen catur junior
se-Indonesia yang barusan berakhir.
Namun karena menganggap lawan terlalu enteng, anak itu ditahan
remis oleh Agusyanto dari Jatim yang akhirnya keluar sebagai
juara ke-2. Pada papan terakhir, setelah merasa angkanya tak
mungkin dikejar lagi, dia pun membiarkan remis saja, tak serius
menghadapi Wahyu Hidayat (juara ke-3) dari Kal-Sel.
Utut Adianto, 14 tahun, murid kelas II SMP Negeri XII Jakarta
Selatan, tampaknya belum begitu bangga sekedar sebagai juara
junior putra. Kepada Max S. Wangkar dari TEMPO, dia mengatakan
sasarannya ialah gelar Master Nasional. Sudah pernah dicobanya,
bahkan dapat mengalahkan MN beberapa kali, tapi dalam turnamen
Percasi Oktober lalu dia jadi jurukunci.
Ngatijo, ayah merangkap pelatihnya, mengatakan kejuaraan Percasi
itu tetap lerharga bagi Utut. Juga berharga sekali baginya
pengalaman di San Juan, Puerto Rico, September lalu.
Mengikuti turnamen internasional untuk usia di bawah 16 tahun
di San Juan itu, Utut tak pernah kalah. Tapi ia kekurangan «
angka saja dari pemain Islandia, K. Thorste yang mengumpulkan 7«
angka. Utur menggigit sapu tangan ketika mengenang kembali
kekalahan tipis itu.
Kini Utut memerlukan pelatih yang hebat. Ngatijo yang pernah
mengorbitkan putra sulungnya, Erwanto menjadi MN, sudah tak
sanggup lagi untuk meningkatkan putra ke-4, Utut. "Saya ini
ibarat guru SD, yang tak mungkin lagi mengajar Utut yang
pengetahuan caturnya sudah setingkat SLA," ujar Ngatijo, bekas
Ketua Komisi Teknik klub catur Gajah Mada, Jakarta. Karyawan
Departemen Perindustrian ini mengajar Erwanto dan Utut dari buku
dasar saja ketika keduanya baru berusia 6 tahun.
"Dia berbakat jadi Grand Master," demikian komentar A.M.
Quinteros, GM dari Argentina tentang Utut yang masih berusia 11
waktu dilangsungkan prtandingan simultan 14 Mei 1976 di
Jakarta. Utut kebetulan ikut dalam simultan itu dan
mengalahkan sang GM.
Quinteros kemudian konon menganjurkan Utut supaya berlatih 4-5
hari seminggu, minimal 2 jam sehari. Utut ternyata masih kurang
tekun berlatih. Dia juga senang main bola atau layang-layang di
kampung Damai, Cipete, Jakarta Selatan.
Namun ayahnya melihat catur itu membuat Utut kurang berprestasi
di sekolah. Rapornya rata-rata 7. "Kalau tidak main catur,
mungkin rapornya bisa lebih baik," kata Ngatijo.
Djamal Djamil, seorang pengurus Percasi, pernah berusaha mencari
sponsor yang mau membiayai pelatih untuk Utut. Sponsor itu belum
dijumpainya, namun Utut boleh berlatih dalam klub Jayakarta B,
asuhan Ketua Percasi yang baru, Djokomoeljo SH. Utut diharapkan
bisa jadi GM, demikian Djokomoeljo. "paling lama 10 tahun lagi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini