Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Di Bawah <font color=brown>Lindungan</font> Bapak

Anak lelaki bintang sepak bola mengikuti jejak bapaknya. Nama besar jadi inspirasi, tapi juga beban berat.

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu, Peter Schmeichel grogi bukan main. Bolak-balik ia berbicara dengan istrinya. Sang Nyonya pun berusaha menenangkan bekas kiper legendaris tim nasional Denmark dan Manchester United itu. Pangkal kegelisahan Schmeichel adalah aksi Kasper, sang anak, di Upton Park, kandang West Ham.

Kasper kala itu tengah menghadapi ujian berat. Agustus lalu, untuk pertama kali dia masuk skuad inti Manchester City. Deg-degan sudah pasti. Maklum, kiper yang tingginya 182 sentimeter ini tampil di ajang Liga Primer, kompetisi paling berat di dunia.

Peter pantas saja khawatir. Meski bangga karena Sven-Goran Eriksson, manajer baru klub itu, memilih sang anak menjadi penjaga gawang nomor satu di klub, sebelumnya dia hanya kiper nomor empat, tetap saja penampilannya kali ini bakal punya dampak besar.

Bila berhasil, tentu karier dan rasa percaya diri anaknya bisa langsung on the track. Sebaliknya, kalau tampil buruk, sudah pasti Kasper akan mengalami persoalan besar. Bisa berdampak pada masa depannya. Maklum, usia Kasper masih 20 tahun.

Untunglah, ketakutan itu lenyap, bahkan berubah menjadi kebanggaan. Klub ini memukul West Ham, 2-0. ”Dia tampil bagus. Saya bangga sekali padanya,” kata Peter. Dalam game itu Kasper terpilih menjadi man of the match. Tiga kali melakukan penyelamatan gemilang.

Gawangnya juga masih bersih ketika Manchester City mengalahkan rival sekotanya, Manchester United, 1-0. Pada pertandingan berikutnya, Kasper sempat menggagalkan penalti penyerang Arsenal, Robin van Persie, meski City akhirnya kalah 0-1.

Kemunculan Kasper di awal kompetisi Liga Inggris ini mendapatkan sorotan luar biasa. Maklum, dia anak dari Peter Schmeichel, salah satu kiper terbaik dunia di era 1990-an. Orang lantas mengaitkan Kasper dengan sang bapak. Mampukah dia menjelma atau, paling tidak, menyamai kehebatan Peter.

Kasper bukanlah pesepak bola pertama yang disorot karena bapaknya. Sebelumnya, ada Jordy Cruyff, kini 33 tahun, anak Johan Cruyff. Kariernya tidak terlalu buruk. Setelah tampil di Euro 1996, dia sempat bermain di Old Trafford selama beberapa musim sebelum akhirnya hijrah ke Spanyol. Belakangan, dia mulai menekuni dunia kepelatihan.

Jordy relatif beruntung. Nama Stefan nyaris tak bunyi. Siapa Stefan? Dia adalah anak Franz Beckenbauer. Stefan yang kini 29 tahun itu memulai kariernya bersama Bayern Munich, seperti bapaknya. Tapi, nasibnya berbeda dengan sang ayah yang menjadi legenda Muenchen dan tim nasional. Dia terpental dari klub itu dan kini menjadi salah satu pelatih di Bayern Munich.

Yang paling apes adalah Diego Armando Maradona Jr. Anak dari si bogel ajaib Maradona ini malah bergelut dalam batin akibat kelakuan sang ayah. Jangankan mendukung, mengakuinya saja sebagai anak, Maradona senior ogah. Kariernya macet dan hanya bermain di klub kecil (lihat Nasibmu Diego!)

Pengalaman buruk sang anak itu agaknya yang memberikan pelajaran bagi bapak-bapak yang lain. Mereka secara serius mempersiapkan anak mereka menjadi bintang yang berhasil, bukan bintang jatuh. Satu yang sudah berhasil adalah Cha Bum-kun, legenda Korea Selatan. Anaknya, Cha Du-ri, 27 tahun, kini telah wara-wiri menjadi pilar tim nasional Korea.

Upaya yang sama juga dilakukan Michael Laudrup, bintang asal Denmark 1990-an. Dua anak laki-lakinya, Mads, 19 tahun, dan Andreas, 17 tahun, kini tengah dipupuk menjadi pemain besar. Dua anak ini seolah memperpanjang nama Laudrup di kancah sepak bola. Sebelum Michael dan Brian, kakek mereka, Finn Laudrup, juga menjadi pilar tim Denmark.

Mads, yang menjadi kapten untuk tim nasional Denmark junior, sudah diincar beberapa klub besar. Salah satunya Real Madrid. ”Sangat mungkin Real memintanya untuk bergabung. Bapaknya pernah menjadi legenda klub ini dan akan sangat fantastis bila anaknya pun bermain di sini,” kata Francisco Caldado, juru bicara Real Madrid.

Menjadi bapak yang baik juga dilakukan George Weah, andalan AC Milan pada 1990-an. Dia sepenuhnya mendukung lakon Champ, anak tertuanya. Agaknya, Weah ingin betul anaknya mengikuti jejaknya. Nama ”Champ” sengaja diberikan George saat dia merebut Piala Liberia pada 1986.

George membuka jalan bagi anaknya selebar-lebarnya. Salah satunya, dengan memasukkan Champ ke dalam skuad remaja Milan. Pada usia 16 tahun, George Weah Jr. meneken kontrak dengan klub yang pernah dibela si babe. ”Saya selalu membuka jalan kesuksesan padanya, karena dia pun memiliki disiplin dan keinginan untuk belajar,” kata Weah Sr.

Meski begitu, dia menolak menggunakan koneksinya. Kemampuannya oke punya. Kecepatan dan keterampilannya luar biasa. ”Suatu tanggung jawab besar bagi dia untuk meneruskan kejayaan ayahnya,” katanya. Setelah sempat bermain di Amerika Serikat, Weah Jr. kini merumput di Swiss. Tujuan akhirnya, tentu saja, AC Milan.

Lain halnya dengan Edward ”Teddy” Sheringham, 41 tahun. Pemain gaek yang masih merumput di Colchester United itu membiarkan anaknya, Charles Edward Sheringham, 19 tahun, berkembang sendiri. Ia hanya memberikan contoh bagaimana seharusnya berada di lapangan.

Hasilnya, Charlie tidak saja memiliki senyum lebar mirip bapaknya, tapi juga ketajamannya tak buruk. Penampilannya di klub divisi I, Crystal Palace, tidak mengecewakan. Satu keinginannya, dia bisa membawa klubnya masuk ke Liga Primer. ”Alangkah indahnya kalau bisa bermain di Liga Primer,” katanya. Namun, jauh sebelum itu, ia ingin melawan sang bapak.

Peluang itu terbuka lebar karena Sheringham Sr. kini bermain di Colchester United yang juga ada di Divisi I. ”Asyiknya bila aku bisa bertanding melawan dia,” kata Charlie. Ternyata hal itu juga yang jadi keinginan Teddy. ”Sebelum pensiun, aku sangat ingin bertanding melawan dia.”

Membicarakan bapak-anak akan kurang jika tak menyebut keluarga Maldini. Pada Piala Dunia 1998, Cesare Maldini menjadi pelatih Italia, sedangkan anaknya, Paolo Maldini, menjadi kapten. Pasangan ini membawa Italia sampai perempat final. Keduanya juga berhasil merebut Piala Champions bersama AC Milan dalam kurun waktu berbeda.

Kini, kiprah klan Maldini di sepak bola akan diteruskan Christian Maldini yang masih berusia 11 tahun. Pada Oktober dua tahun silam, Adriana Fossa, sang ibu, meneken perjanjian tanda ia bergabung di tim junior AC Milan. Ia ingin menggantikan ayahnya sebagai legenda klub yang tahun lalu menjuarai Liga Champions itu.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus