Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana Undang-Undang tentang Kebebasan Informasi sudah pasti akan melalui a long and winding road, jalan panjang dan berliku. Pada 10 Oktober lalu, DPR gagal mengesahkan rancangan undang-undang ini karena pemerintah menolak status badan usaha milik negara dikategorikan badan publik (baca rubrik Hukum: Terganjal Status BUMN). Debat itu bolak-balik mempersoalkan apakah perusahaan negara dikategorikan sebagai ranah publik atau bukan.
RUU tentang Kebebasan Informasi adalah inisiatif DPR yang muncul setahun setelah rezim Orde Baru ambruk. Inisiatif yang perlu disambut. Tapi, jika ada pihak yang mendadak kelabakan, itu juga suatu hal yang tak mengejutkan. Negara kita pernah diperintah rezim yang sangat tak mesra terhadap kebebasan informasi selama 32 tahun. Dalam masa panjang yang minim informasi itu, korupsi dan kekerasan berlangsung dan dibicarakan seadanya di kedai gosip dan belantara bisik-bisik.
Dengan adanya RUU yang terdiri atas 10 bab dan 59 pasal ini, masyarakat berhak mengetahui dan menyebarluaskan informasi dari badan publik atau lembaga mana pun yang berkaitan dengan publik.
Lembaga yang tidak memberikan informasinya bisa diperkarakan ke pengadilan. Dengan adanya undang-undang ini, bisa jadi kelak pejabat akan berpikir dua kali jika tak sudi memberikan keterangan, apalagi jika alasannya tak jelas. Bagi banyak pihak yang mendukung, inilah RUU yang akan menjadi kunci pemberantasan korupsi.
Pemerintah mengkhawatirkan bahwa pasal BUMN ini membahayakan kepentingan usaha nasional. Karena BUMN berbisnis untuk kepentingan negara, pihak asing bisa seenaknya mengetahui strategi negara ini, sehingga menghambat persaingan usaha BUMN dengan swasta dan asing.
Sebagian anggota DPR dan pengamat politik menganggap justru BUMN selama ini dianggap sebagai sapi perah pemerintah dan lahan subur bagi koruptor. Inilah lembaga pemerintah yang perlu dibersihkan.
Lalu bagaimana penyelesaiannya? Harus diingat, memang ada beberapa BUMN yang menyangkut kehidupan sehari-hari rakyat secara langsung, misalnya perusahaan negara yang mengurus transportasi (kereta api), atau air (PAM) dan listrik. Inilah jenis perusahaan negara yang perlu dibuka aksesnya kepada publik dan isi perutnya wajib diketahui masyarakat. Pemerintah tak perlu paranoid dalam soal rahasia perusahaan. Sebab, hal-hal yang berbau strategis, misalnya strategi investasi, bisa diatur dalam pasal khusus agar tidak diintip pihak kompetitor. Yang penting, sebetulnya, BUMN perlu dan harus transparan dalam hal keluar-masuknya uang. Ini terutama agar BUMN tak lagi menjadi sasaran empuk para koruptor.
Pemerintah juga tak perlu kelojotan dalam soal rahasia negara. Sebab, dengan penuh kesadaran, RUU ini sudah memasukkan berbagai pengecualian dalam akses informasi kepada publik, misalnya masalah intelijen, dokumen yang memuat strategi pelaksanaan peperangan, atau pangkalan militer. Dalam RUU ini juga dicantumkan bahwa informasi mengenai proses penyidikan atau hal-hal yang membahayakan keselamatan penegak hukum dan keluarganya juga tak boleh diumbar-umbar.
Jadi, segalanya bermula dari nawaitu negeri yang baru berusia sembilan tahun ini (jika dihitung sejak Orde Baru jatuh), apakah kita mau terus hidup dalam belantara gosip yang tak menentu (karena informasi yang ditahan) atau kita mau mulai hidup dengan lurus dan bersih. Jika nawaitu kita adalah menendang nama Indonesia dari daftar negara paling korup, sebaiknya RUU Kebebasan Informasi ini diberi jalan yang mulus, bukan the long and winding road.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo