Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font color=brown>Fauzi Bowo:</font> Orientasi Kami Kepuasan Publik

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH kenal, kan, sama Bang Kumis?” Itulah pertanyaan seorang lelaki berseragam safari cokelat di depan khalayak yang hendak mudik Lebaran di terminal bus Pulo Gadung, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Ratusan pemudik itu berteriak bareng, ”Sudaaah....”

Dia, Fauzi Bowo, gubernur baru Jakarta, kemudian mewanti-wanti, ”Hati-hati di jalan. Jadi bisa kembali lagi ke Ibu Kota dengan selamat.” Nasihat pamungkas pria 59 tahun itu muncul di akhir pesan, ”Jangan bawa saudara, ya? Sebab, menjadi penduduk Jakarta ada syaratnya.”

Sejak dilantik, Ahad 7 Oktober, jad wal Foke padat nian. Pada hari pertama, ia sudah dikunjungi sejumlah tamu, dan langsung menggelar rapat pertama. Kemudian ia melesat ke empat pasar tradisional, melihat persiapan Lebaran. Sorenya ia berbuka puasa di Kelapa Gading, Jakarta Utara, lalu salat tarawih di Kelurahan Kayu Putih, Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Istirahat hanya beberapa jam, dini hari esoknya ia sudah meluncur dari rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, ke permukiman padat penduduk di kawasan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ia memilih sahur bersama warga setempat sambil mengecek pelaksanaan siskamling.

Fauzi Bowo boleh dibilang sudah karatan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Merintis karier dari bawah, sejak 1975, terakhir ia wakil gubernur di masa Gubernur Sutiyoso. Ia kemudian terpilih menjadi gubernur dalam pemilihan langsung oleh warga Jakarta, mengalahkan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dengan selisih angka ketat.

Bersama Prijanto, Fauzi bertekad membawa perubahan di Jakarta dalam lima tahun ke depan. Ia berencana melaksanakan program unggulannya dalam 100 hari pertama pemerintahannya setelah Lebaran. Salah satunya dengan menata ulang Jakarta menuju Megapolitan, sebuah konsep yang sudah lama ia tekuni dan menjadi tema disertasi doktornya di Jerman.

Di tengah jadwalnya yang ketat, Fauzi menyempatkan diri menerima Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Widiarsi Agustina, Ahmad Taufik, Anton Septian, dan fotografer Ramdani dari Tempo untuk sebuah wawancara di kantornya di Balai Kota Jakarta, Kamis dua pekan lalu.

Apa prioritas Anda dalam lima tahun ke depan?

Kami menyiapkan program dengan basis kepentingan publik. Apa yang saya tuangkan dalam visi dan misi pada saat kampanye akan kami bakukan dalam peraturan daerah mengenai rencana strategis pembangunan Kota Jakarta 2007-2012. Rencana itu yang akan jadi pegangan sekaligus patokan pembangunan Jakarta ke depan.

Dari mana Anda akan memulai pembenahan?

Kami bertolak dari keluhan, kelemahan, dan barangkali juga citra di masyarakat terhadap apa yang sudah diterapkan. Memang ini tolok ukur yang paling tepat. Sekarang pemerintah masih lebih sering menggunakan tolok ukur yang ditentukannya sendiri. Kami mengutamakan kepuasan masyarakat, atau dalam bahasa manajemen: customer satisfaction.

Jadi, pemerintah Anda akan lebih berorientasi pada pelayanan publik?

Bukan cuma public service oriented, tapi ujung-ujungnya berorientasi pada kepuasan masyarakat.

Menurut Anda, bagaimana kondisi konkret administrasi Jakarta sekarang ini?

Sekarang ini kami seperti pedagang kaki lima yang memiliki hak monopoli. Mau beli syukur, tak mau beli tak apa-apa. Dalam soal pelayanan penduduk, biar orang mengeluh dan ngomel, toh, dia tetap kembali ke kita. Tapi ini kan bukan perilaku yang baik sebagai pela yan publik? Bila masyarakat tak puas, ujung-ujungnya akan terjadi pengambilan jarak dan antipati terhadap pemerintah. Tidak bijak kalau pemerintah hanya bereaksi pada saat kumpulan ketidakpuasan itu muncul.

Seberapa banyak dan beragam keluhan masyarakat yang sudah Anda tampung selama ini?

Ketika menjadi wakil gubernur, saya punya kebiasaan dua kali dalam seminggu berkantor di kelurahan. Sebab, saya ingin seluruh perangkat kelurahan tahu bahwa dia merupakan bagian penting dari tata pemerintahan ini. Bagaimana dia bisa merasakan itu kalau pimpinannya tak pernah datang, tak pernah bicara, tak pernah tahu apa yang dia kerjakan? Saya juga ingin membangun kebersamaan, spirit korps. Saya tahu nama hampir semua lurah di Jakarta. Saya juga tahu permasalahan di kelurahan-kelurahan itu.

Mengapa kelurahan?

Kalau kita tanya warga, di mana mereka bertumpu bila menghadapi masalah, jawabannya ke RT, RW, dan lurah. Ribuan orang yang saya tanya tak pernah mengatakan bahwa kalau ada masalah dia pergi ke gubernur. Artinya, kelurahan adalah tumpuan harapan masyarakat. Tapi, apakah kelurahan sudah bisa berfungsi menurut harapan masyarakat? Jawabnya, simple definitely, not! Memang tak ada upaya dari siapa pun untuk membenahi simpul terdepan itu.

Apa saja permasalahan warga yang sudah Anda identifikasi?

Untuk masyarakat di komunitas, masalahnya sangat beragam tapi jelas berkaitan dengan kepentingan mereka. Misalnya urusan kependudukan, kebersihan, keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana yang ada di lingkungan itu. Ini bukan hal yang tak bisa dipecahkan, tapi harus ada kegiatan terpadu untuk memecahkan masalah itu di tingkat lokal. Embrionya sudah kita lakukan melalui program pemberdayaan masyarakat. Ini bukan sekadar proyek. Di baliknya banyak sekali nilai ideal.

Anda ingin memberdayakan komunitas di level kelurahan?

Pengurus RT/RW biasa berkumpul membicarakan masalah mereka dan mencari solusinya. Tapi di bagian akhir pembicaraan itu nadanya sama: duitnya dari mana? Padahal inisiatif masyarakat kan positif? Aspirasi mereka mestinya didengar oleh pengelola kota. Kalau memang ingin melayani, pemerintah harus memberdayakan dan memberikan dana kepada mereka.

Bagaimana dengan kesiapan masyarakatnya sendiri?

Mereka harus dibuat siap, dan di sini tak ada keseragaman. Ada komunitas yang lebih siap ketimbang yang lain. Maka kita perlu juga menyiapkan capacity building. Jangan dibiarkan saja, nanti mereka ditangkap polisi semua karena menyalahi peraturan. Kita harus mengarahkan mereka supaya bisa melaksanakan amanah ini dengan baik dan benar.

Apakah yang diberdayakan cuma di level kelurahan?

Tak cuma terbatas komunitas di kelurahan, tapi juga memberdayakan komunitas keahlian. Misalnya dalam menangani masalah transportasi, kita berdayakan masyarakat transportasi, dewan transportasi, ada pula perguruan tinggi dengan jurusan atau fakultas transportasi. Kota ini pada akhirnya bukan punya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini milik kita bersama. Kalau Pemprov tak mau memanfaatkan mereka, ini namanya Pemprov yang short sight.

Bagaimana soal global warming dan semakin terbatasnya ruang terbuka hijau di Jakarta?

Jangan dilihat ruang terbuka hijau nya saja. Saya lebih khawatir soal polusi udara akibat karbon dioksida. Kalau CO2-nya enggak kita kurangi, apa yang akan terjadi? Lubang ozon semakin hari semakin besar. Ada lagi yang lebih serius, 40 persen DKI Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. Setiap tahun permukaan air laut itu naik 0,8 sentimeter.

Apakah ruang terbuka hijau kurang penting?

Ruang hijau menjadi concern kami juga, tapi kita harus melihatnya secara proporsional. Polusi udara akibat transportasi itu luar biasa, mencapai 70 persen. Coba lihat negara lain. India saja, yang dulu dekil, sekarang lebih baik daripada Jakarta. Saya tak ikhlas melihat generasi mendatang di Jakarta paru-parunya dipenuhi udara kotor.

Bukankah penghijauan bisa mengurangi polusi?

Betul, dan itu menjadi bagian dari strategi kita, tapi harus ada balance of strategy. Semua orang bilang lahan terbuka hijau tinggal 13 persen. Jadi, perlu ditambah. Tahu enggak, penambahan 1 persen itu sama dengan 650 hektare? Ini tidak gampang, dan tidak cukup dengan membaca Al-Fatihah.

Kenapa tidak membeli lahan?

Sekarang ini kami terus membeli lahan. Stadion Menteng kita bayar dengan cukup tinggi. Sebentar lagi lapangan Borobudur, juga di Pluit. Kami berharap tiap satu kelurahan memiliki satu taman interaktif. Tapi coba kita hitung. Kalau satu taman interaktif luasnya seribu meter, sedangkan di Jakarta ada 267 kelurahan. Jadi, penambahan ruang terbuka hijau cuma 26 hektare. Apa artinya itu?

Kenapa tidak mencoba cara seperti di Chicago atau Singapura, misalnya membuat ruang hijau di atas atap gedung?

Saya sepakat, dan itu sudah masuk program kami. Singapura mungkin contoh yang bisa kita pelajari karena dekat. Mereka kini sedang mencoba kemungkinan membuat greenery atau penghijauan di bangunan bertingkat.

Beberapa komunitas warga sudah melakukan penghijauan sendiri....

Komunitas seperti itulah yang sedang kita encourage. Kami berupaya semaksimal mungkin memberdayakan mereka.

Bagaimana dengan pihak swasta? Mereka kan bisa didorong lebih memperhatikan masalah ini?

Pasti, tapi konkretnya seperti apa? Apakah swasta dibebani untuk membeli tanah?

Lalu bagaimana menyiasati keterbatasan lahan?

Tata ruang merupakan kunci. Bukan satu kawasan semata, tapi bersama dalam regional tertentu. Pada 1972 kita merancang Jabotabek karena menyadari tata ruang akan menjadi kunci penyelesaian berbagai masalah publik. Tapi kesepakatan tata ruang itu belum ada yang efektif sampai sekarang.

Mengapa tidak efektif?

Karena pemahamannya tidak sama. Tata ruang hanya dilihat peruntukan tanah semata. Padahal ini adalah jaminan kepentingan publik jangka panjang, dan itu tidak mengenal batas administrasi wilayah. Kita berharap stake holder dalam perencanaan wilayah bersama ini, antara Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Jakarta, bahkan Cianjur, bisa duduk bersama.

Ada upaya untuk duduk bersama?

Harus dilakukan. Enggak ada guna nya punya konsep bagus jika tidak disosialisasikan dan secara kontinu disampaikan kepada para stake holder. Jangan sampai stake holder lain mengatakan itu cuma buat kepentingan Jakarta.

Apa sejauh ini masalahnya hanya tentang beda persepsi?

Mulainya begitu. Mindset-nya keliru, ke depannya jadi amburadul. Sekarang ini urusan lintas kewenangan hampir tidak dibenarkan. Memang, otonomi yang diterjemahkan secara ketat ini jadi ruwet. Kita mau bicara tentang daerah aliran sungai Ciliwung saja, misalnya, kayak motong kue. Ini porsi Depok, Bogor.... Ini kan lucu? Urusan kepentingan bersama disikapi dengan pemahaman yang sangat . Karena itu saya sampaikan kepada Presiden, terpaksa membuat terobosan. Misalnya membikin kontrak dengan tetangga agar tidak menyalahi ketentuan. Bila tidak ada kontrak dan dianggap menyalahi ketentuan, bisa dipenjara saya.

Artinya, ada masalah peraturan yang harus disiasati, ya?

Mau nggak mau. Kalau enggak, bisa jalan di tempat. Inti dari kepentingan bersama kan di situ? Harus ada common interest dalam menyelenggarakan kepentingan bersama untuk common benefit.

Mengapa di beberapa kawasan jalan, jalur hijau digunakan untuk jalur transportasi?

(Meminta salah seorang pegawainya membawakan peta jalur hijau). Ada gambar di kawasan Pondok Indah. Di situ ada 567 pohon. Itu bukan kita tebang. Yang punya potensi untuk terkena, kita pindahkan. Saya beri jaminan, untuk setiap pohon yang akan terkena kegiatan ini, akan ada gantinya. Dekat-dekat situ juga. Pokoknya kami selesaikan dengan baik, dan penataan tidak akan merugikan.

Bagaimana dengan ruang hijau di bantaran sungai?

Menurut aturan memang ada badan kali, ada garis sempadan kali, ada jalan inspeksi, kiri dan kanan, tapi kenyataannya? (Fauzi menunjukkan gambar sketsa coretannya). Sungainya tinggal sedikit karena banyak permukiman. Mereka mau ditaruh ke mana? Bottom line-nya adalah kemiskinan. Dan masalah ini tak bisa diselesaikan Jakarta sendirian.

Bagaimana mengatasi masalah kemacetan lalu lintas?

Masalahnya sederhana, karena kita enggak punya public transport. Untuk sementara ini, namanya saja orang sakit, makan obat enggak ada yang enak. Kalau sudah sembuh akan happy.

Apakah tak ada upaya dalam jangka pendek?

Banyak hal bisa dilakukan. Jalur busway yang sudah dibeton bisa difungsikan sementara busnya belum jalan. Jadi, enggak menambah beban kemacetan.

Dalam lima tahun, berapa persen kemacetan yang bisa diselesaikan?

Saya kembali pada kepentingan publik. Ada blueprint kereta api. Kalau semua kereta antarkota bisa berhenti di Manggarai, dan jalur dalam kota bisa digunakan untuk kepentingan regional, saya kira dampaknya akan signifikan mengatasi kemacetan kota, dan persentase penggunaan angkutan umum akan berubah secara signifikan.

Bagaimana dengan proyek monorel?

Sedang dicari penyelesaiannya, meskipun kewenangan saya terbatas karena itu sepenuhnya swasta. Kami akan bicara kepada mereka. Saya enggak bisa meninggalkan begitu saja jadi monumen tak bersejarah.

Fauzi Bowo

Lahir: Jakarta, 10 April 1948

Pendidikan:

  • Sarjana Teknik Arsitektur, Perencanaan Kota dan Wilayah, Technische Universitat Braunschweig, Republik Federasi Jerman, 1976.
  • Sarjana Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1992
  • Doktor Ingenieur dari Fachbereich Architektur/ Raum Und Umweltplanung-Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern, Republik Federasi Jerman, 2000
  • Lembaga Ketahanan Nasional, KSA VIII/2000

Pekerjaan:

  • Asisten Ahli Teknologi Universitas Braunschweig, 1976
  • Staf Pengajar di Universitas Indonesia, 1977-1984
  • Pelaksana tugas Kepala Biro Kepala Daerah DKI, 1979-1982
  • Pejabat Kabiro Kepala Daerah DKI, 1986-1988
  • Kepala Dinas Pariwisata DKI, 1993-1998
  • Sekretaris Wilayah Daerah DKI Jakarta, 1998-2002
  • Wakil Gubernur DKI Jakarta, 2002-2007

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus