Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Di timur matahari mulai bercahaya

Dalam kompetisi divisi utama pssi 1987 di 6 besar keluar dalam grand final kes. persebaya vs psis. pola sepak bola bertahan dijalankan banyak tim. termasuk persebaya, psis memainkan pola menyerang.

14 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN ribu orang dengan semangat yang menyala-nyala pekan ini menyerbu Jakarta. Mereka berdatangan dari Surabaya dan kota lainnya di Jawa Timur. Jumlah yan tak kalah besarnya datang dari Semarang, Purwokerto, Kudus, dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Ada yang datang dengan kepala diikat kain hijau, seakan bala tentara Pasdaran Iran selang menuju medan pertempuran Basra. Mereka tak lupa membawa genderang, trompet, atau alat bunyian lain, dan menyanyikan lagu-lagu mars untuk mendatangkan semangat. Gubernur Jawa Timur, Wahono, dan Gubernur Jawa Tengah, Ismail, Senin malam pekan ini, muncul di layar TV Surabaya dan Semarang. Mereka menasihati warganya yang akan berangkat ke Jakarta, agar berlaku sopan dan tertib, dan menjaga nama haik daerahnya. "Biar tak mengganggu jalannya pertandingan," kata Gubernur Wahono. Banyak pihak yang terpaksa menunda urusannya di kantor Kota Madya Surabaya atau kantor Gubernur Jawa Timur, karena para pejabatnya sibuk ke Jakarta. Gubernur Wahono memang memberi izin libur dua hari bagi karyawannya yang ingin ke Jakarta. "Tidak apa-apa, mereka 'kan sudah payah-payah merumuskan APBD, jadi refreshing-lah,'' kata Gubernur. Begitu gawatkah keadaan? Yang jelas, menurut siaran TV Surabaya, diperkirakan 20.000 arek Surabaya mulai Selasa siang bergelombang dengan bis dan kereta api ada pula dengan pesawat udara -- menuju Jakarta. Pekan ini, Stadion Utama Senayan pasti dikuasai para pendukung PSIS Semarang dan Persebaya Surabaya. Kedua bond inilah ternyata tim sepak bola yang paling tangguh d antara 12 anggota Divisi Utama PSSI dan layak berlaga memperebutkan Piala Presiden Soeharto, Rabu pekan ini. Bagi pendukung Surabaya, peristiwa ini seperti menggali batang terendam. Mengapa tidak ? Kota ini pernah menjadi juara PSSI 1951, 1952, dan 1977. Dari sana datang sejumlah pemain nasional ternama, seperti Abdul Kadir, Waskito, dan Junaedi Abdillah. Tapi sudah 10 tahun ini tim sepak bola dari "Kota Pahlawan" itu seakan dilupakan orang. Semarang lebih-lebih lagi. Sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, belum sekali pun PSIS bisa tampil di final. Maka, ketika di awal kompetisi 6 besar ini, mereka membabat Persija 3--1, dan membuat tim "Ayam Kinantan" PSMS Medan keok 1-0, decak kagum pun terdengar. Pada pertandingan terakhir, Sabtu pekan lalu, yang menentukan siapa akan maju ke final untuk menghadapi Persebaya (yang sudah pasti maju ke final), PSIS berhadapan dengan Persib, juara tahun lalu. PSIS bisa bangga karena Stadion Senayan yang dibanjiri sekitar 70.000 penonton sudah berubah jadi milik mereka. Seputar Stadion dipenuhi oleh spanduk dan poster menjagoi Semarang. Pekik dan teriakan mendukung mereka menghanyutkan suara pendukung Bandung yang sudah "menguasai" Senayan selama empat tahun terakhir ini. Bandung memang memenangkan pertempuran itu 1-0, tapi mereka tetap jadi pihak yang kalah perang: Semaranglah yang maju ke final karena selisih gol yang lebih baik. Padahal, bond dari Kota Peuyeum itu merupakan benteng terakhir tim Wilayah Barat. Kompetisi Divisi Utama ini membagi 12 tim dalam 2 wilayah yang didasarkan pada pertimbangan geografis dan potensi persepakbolaan. Wilayah Barat pada kompetisi tahun ini diwakili oleh Persiraja (Banda Aceh), PSMS, PSP (Padang), PS Bengkulu, Persija, dan Persib. Sedangkan Timur: Perseman (Manokwari), Persipura (Jayapura), PSM (Ujungpandang), Persiba (Balikpapan), Persebaya, dan PSIS. Setelah putaran 1 dan 2 dengan sistem pertandingan home and away yang dimulai 18 Oktober tahun lalu sampai 15 Februari bulan lalu, 12 tim itu cuma tinggal 6 -- yang berhak mengikuti kejuaraan 6 besar di Stadion Utama Senayan. Dari Timur adalah Persipura, Persebaya, dan PSIS. Sedangkan dari Barat: PSMS, Persija, dan Persib. Mereka ada!ah bond yang masing-masing menduduki 3 tempat teratas. Yang menempati peringkat ke-4, Perseman (dari Timur) dan PS Bengkulu (Barat) pulang kampung karena tak lagi mengikuti kompetisi. Sedangkan 2 bond yang menempati urutan terbawah, PSP dan Persiraja (Barat), PSM dan Persiba (Timur), harus bertarung terus di Jakarta untuk kejuaraan 4 kecil. Hasilnya, dua urutan teratas akan tetap berada di Divisi Utama -- bersama dua tim peringkat 4 tadi -- sedang dua terbawah akan mengalami penurunan pangkat (degradasi) ke Divisi 1. Tempatnya di Divisi Utama akan digantikan oleh 2 tim terbaik dari Divisi 1. Dua tim yang naik pangkat ke Divisi Utama pada musim kompetisi ini, PSDS (Deli Serdang, Sumatera Utara) dan Persitara Jakarta Utara) adalah tim wilayah Barat. Tapi 2 yang turun pangkat juga dari Barat, yaitu PSP dan Persiraja. Padahal, PSP di tahun 1950-an merupakan tim yang selalu masuk dalam 5 besar PSSI. Dalam 10 tahun belakangan bond Urang Awak ini selalu saja bercokol di 12 besar. Lebih parah Persiraja. Kesebelasan dari Serambi Mekah yang memakai pelatih asing, Andrew Yap, dari Singapura ini pernah menjadi juara pada 1980. Yang bertanding di final adalah PSIS dan Persebaya, jelaslah kekuatan sepak bola kini berpindah ke Timur. Sebetulnya, pada 1979 Persipura pernah sekali menjadi juara. Tapi waktu itu sedang ramainya dibentuk klub-klub Galatama sesuai dengan kebijaksanaan PSSI waktu itu. Sistem klub gaya baru yang yang semibayaran ini segera amat merangsang dan berhasil menyedot sebagian besar pemain beken dari bond tangguh seperti Jakarta dan Medan. Tapi rupanya gemerlapnya Galatama tak berlangsung panjang. Klub-klub itu terus ribut karena kasus suap-menyuap, dan akhirnya ditinggalkan penontonnya. Pemainnya banyak yang pulang kandang ke berbagai perserikatan. Medan, misalnya, pernah punya 2 klub Galatama tangguh, Pardedetex dan Mercu Buana, yang kemudian membubarkan diri. Tentu saja, PSMS diuntungkan. Banyak eks pemain klub itu bergabung ke bond ini. Gelar juara pun jatuh ke tangannya 2 kali berturut-turut, 1983 dan 1985. Tahun lalu, tim ini gagal ke final. Tapi yang paling memalukan adalah sekarang, karena Si Kinantan itu betul-betul patah tajinya, menjadi juru kunci 6 besar. "Sedih... sedih... tapi apa mau dibilang," kata Anwar Efendy Khatab, Sekretaris PSMS, lesu. Ia mengungkapkan bahwa selama kejuaraan 6 besar, bobot tubuhnya susut 5 kg, dan Buha Tambunan, Ketua PSMS yang bertubuh tinggi besar, berkurang bobotnya 7 kg. "Kami stres," kata Khatab. Memang tak ada teriakan "Horas PSMS" menyambut bond itu pulang ke Medan pekan lalu. Yang ada cuma caci-maki dari tokoh masyarakat, anggota DPRD, atau bekas pemain bola. "Bubarkan saja pengurus sekarang dan pilih yang baru. Kalau pengurus tidak mau mundur, itu pengurus degil namanya, alias tidak tahu malu," tulis Ramli Yatim, pemain nasional 1950-an asal Medan yang terkenal itu. Menjelang putaran ke-2, pelatih Nobon dan Tumsila mengundurkan diri. Kepada beberapa anggota DPRD Medan, Nobon mengadu bahwa dia mundur karena pengurus mencampuri wewenangnya dalam memilih pemain. Pelatih Zulkarnaen Pasaribu dan Karim Perangin-angin baru ditunjuk menjelang putaran ke-2 kompetisi. "PSMS memang tidak siap menghadapi kompetisi ini," kata Sinyo Aliandoe, bekas pelatih PSSI Pra-Piala Dunia. Tim lain dari Barat yang tampaknya juga tak siap adalah Persija. Mereka cuma mengandalkan kreativitas individual pemainnya, dan melupakan pola kerja sama tim. Di peringkat 12 besar, ketika cuma menghadapi tim dari Barat, Persija masih bisa berkutat. Tapi ketika masuk kejuaraan 6 besar pagi-pagi mereka sudah disikat PSIS. Para pemain Persija dikenal amat suka menggocek bola sendirian di lapangan, terkadang sampai capek sendiri hingga bola pun berpindah ke pihak lawan. Lihat saja ketika mereka menghadapi Persib 5 Maret yang lalu. Dalam suatu gerebekan, penjaga gawang Bandung, Sobur, sudah terkecoh dan mulut gawang ternganga. Tapi dua pemain Persija, Kamaruddin Bettay dan Adityo Darmadi, berebutan. Bola menggelinding ke tempat lain, dan gawang Persib selamat. "Lawan sudah tahu pemain kami suka main dribble bola, nah lawan menekannya sampai pemain kami banyak yang keteter," kata Handarto, 53, pelatih Persija, berterus terang. "Teman-teman memarahi saya. Habis, bagaimana lagi, saya sudah berusaha," kata Bettay, 24, pemuda kelahiran Biak, Irian Jaya, yang kini menjadi karyawan PLN di Jakarta. Begitupun, Bettay termasuk salah satu pencetak gol terbanyak dalam kejuaraan ini dengan 7 gol. Tapi 6 di antaranya dia ciptakan dalam kejuaraan 12 besar, ketika menghadapi lawan yang relatif ringan. Pada 6 besar ini dia cuma mampu menjaringkan satu gol. Satu ciri yang menonjol dari kejuaraan tahun ini adalah gol yang terjadi amat sedikit. Sampai pertandingan selesai, kecuali grand final, yang tercipta cuma 23 gol. Jumlah yang jauh lebih kecil dibanding 42 gol yang terjadi tahun lalu. Bettay sendiri tak habis pikir mengapa begitu sulit membikin gol. "Iya, saya juga heran," katanya. Hal yang sama dirasakan Metu Duaramuri, 30, pemain depan Persipura yang cukup berpengalaman itu. "Itu karena ada perkembangan dalam pertahanan," kata Metu, yang sudah berkali-kali memperkuat tim nasional. Ketika bertemu Persib, misalnya, Metu merasakan berkali-kali umpan terobosan yang diberikannya dipotong pemain belakang Bandung. Itu katanya disebabkan, "Mereka bisa membaca pertandingan." Berkembangnya pola bertahan kali ini, tampaknya, sengaja dirancang para pelatih, karena tim yang bertanding miskin pemain pencetak gol. Mayoritas pelatih, seperti dikatakan Handarto, sengaja mendesain pola bertahan untuk timnya. Banyak pelatih hanya menekankan latihan fisik dan disiplin untuk menjaga setiap jengkal daerah di depan gawangnya dari tusukan lawan. "Daripada menyerang dengan risiko kemasukan lebih besar," kata Abdul Rahman Gurning, pemain gelandang PSMS. Contohnya pengalaman Gurning sendiri. Ketika bertanding melawan Persija, dan timnya sudah menang 1-0, Gurning membuat kesalahan fatal. Dia maju menyerang dan kekosongan daerahnya dimanfaatkan lawan dengan baik. Pertandingan pun berakhir seri. Gawat akibatnya. Posisi PSMS kian terancam, dan Gurning dijadikan kambing hitam, dituduh para pengurus telah menerima uang suap. Padahal, belakangan hal itu tak terbukti sama sekali. "Tapi dia tetap salah karena tak disiplin," kata Wakil Manajer PSMS, Amran YS. Isu suap juga melanda tim lain. Di Persipura, sejumlah pemain juga dituduh pengurus terlibat suap ketika akan bertemu Persija. Pemain resah, dan akibatnya, mereka dikalahkan Persija. Agaknya, yang lebih tepat, para pengurus perserikatan itu sangat mendambakan kemenangan, karena itu berarti pula dan puji dari jutaan warga, serta acungan jempol dari para pejabat setempat, seperti yang dialami kini oleh Semarang dan Surabaya. Kekalahan adalah ejekan, bahkan caci-maki seperti yang dialami PSMS sekarang. Ketika jadi juara dua tahun yang lalu: sampai ada pengusaha yang mengirimkan seekor ayam jago kinantan dengan pesawat Garuda dari Medan ke Jakarta untuk memuja tim itu. Persib masih lumayan, karena menang lawan PSIS pada pertandingan terakhir. Begitupun, ketika mereka pulang ke Bandung, Minggu pagi pekan lalu, tak ada artis yang berjaipongan, tak ada pagar betis sepanjang jalan penyambutan. Siapa tak takut? Kondisi ini -- semua takut kalah -- kali ini memberi hikmah: pemain selalu berusaha menang di depan pendukungnya. Tak satu tim pun yang bisa memastikan diri ke final sampai pertandingan terakhir. Malah, tim yang sudah tersisih pun masih berusaha memenangkan pertandingan, seperti dilakukan Persija ketika mengalahkan Persipura. API mungkin pula kondisi ini yang menyebabkan, tahun-tahun sebelumnya, muncul sepak bola ikrar: sebelum bertanding Persib dan Perseman harus bikin ikrar, tak boleh main kasar. Padahal, ciri khas tim dari Irian Jaya itu adalah permainan keras, terkadang memang agak kasar. Akibat ikrar itu, Perseman tak berkutik. Tahun lalu, Perseman, yang tampil perkasa dan pagi-pagi sudah memastikan diri ke final, tiba-tiba bisa kalah 6-0 dari Bandung. Dengan begitu, Jakarta yang memiliki point sama dengan Persib tersisih. Persib kemudian jadi juara dengan mengalahkan Perseman di final, tapi kali ini wajar -- cuma dengan skor 1--0. Menurut Sinyo Aliandoe, tim yang pandai memanfaatkan kompetisi seperti ini adalah Persebaya. Datang dengan materi pemain pas-pasan, Persebaya memainkan sepak bola bertahan -- cenderung sepak bola negatif -- bergerombol memagari sektor pertahanannya, dan ketika ada kesempatan menyerang balik dengan cepat. "Permainannya tak enak ditonton," katanya. Tapi terbukti arek-arek Surabaya itu berjaya. Karena itulah, ketika PSIS menampilkan sepak bola menyerang, segera saja menarik perhatian banyak orang. "Semarang berusaha memainkan sepak bola modern, walaupun masih ada kekurangannya," kata Kadir Yusuf, pengamat sepak bola yang paling senior itu. Sekalipun banyak pihak yang keberatan mengakui sudah pindahnya kiblat itu ke Timur, adalah sulit dibantah kalau dilihat dari penampilan di Senayan, tahun ini Semarang lah yang terbaik. "Permainannya enak ditonton," kata Sinyo. Dengan begitu, suporter yang sudah hancur-hancuran menempuh ribuan km tak harus kecewa, sebagaimana mereka pernah kecewa pada Galatama. Amran Nasution, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus