Pagoda tua dan patung Budha masih berdiri anggun di Rangoon. Tetapi kota ini berjalan menuju kehancuran: dari kota yang dulu pernah modern, kini dalam proses kembali menjadi sebuah desa tua Burma. Bangunan masa silam yang merana, kampung yang kumuh, pasar gelap untuk barang apa saja -- laksana cacing pita menembus kehidupan ekonomi yang rapuh. Ian Buruma dalam The New York Review, terbitan Oktober lalu, menulis laporan perjalanannya dari lorong-lorong ibu kota Burma ini. Bukan cuma potret kota yang dipaparkan, tapi juga kisah muram dari negeri sosialis ini: tentang raja yang minum ramuan mujarab yang terbuat dari enam ribu jantung manusia, sopir taksi yang menyembah arwah di tempat keramat, wartawan yang bertahun-tahun hanya menulis satu artikel. "Luka pada peradaban Burma begitu dalam dan sulit disembuhkan," tulis Ian. PAGODA Shwe Dagon dalam usia lebih dari 600 tahun, merupakan bangunan paling beken di Rangoon. Di dalam bangunan berornamen paling agung di dunia ini disimpan delapan helai rambut sang Budha. Tak jauh dari Shwe Dagon terhampar pemandangan lain, yang kebanyakan turis tak mengenalnya. Tetapi, menurut saya, jauh lebih menyimbolkan Rangoon, dan tentu saja Burma. Itulah sebuah lapangan, tempat berdirinya Gedung Serikat Mahasiswa Universitas Rangoon yang sempat dihancurkan oleh tentara, pada 1962. Waktu itu, mahasiswa memprotes pemerintahan militer yang baru saja mengambil alih kekuasaan. Di lapangan itulah kuburan masal para demonstran tak dikenal. Orang-orang Rangoon suka menceritakan kisah-kisah seram tentang peristirahatan terakhir itu. Kuburan masal ini kemudian menjadi simbol kemerdekaan dan kebebasan berpikir. Yakni setelah Serikat Mahasiswa dihapus secara sistematis, bahkan di Rangoon -- kota besar pusat ilmu modern politik, mobilitas sosial, kosmopolitanisme, dan nasionalisme. Dari Serikat Mahasiswa itulah lahir orang-orang brilyan yang berhasil membebaskan Burma dari belenggu penjajahan, pada 1948. Lalu, setelah para pembebas itu mempelajari dunia modern dari Inggris, mereka berjuang untuk memodernisasikan Burma. Sayang, perjuangan itu mandek -- hingga kini. * * * Rangoon sebenarnya bukan kota modern bahkan sebaliknya antimodern. Berbeda dengan Singapura, Jakarta, atau Bangkok, yang memunculkan gedung-gedung baru seolah ingin menghapus masa lalu, penampilan Rangoon tetap seperti ketika ditinggalkan Inggris pada 1948. Rangoon, yang dulu dibanggakan oleh orang-orang tua sebagai kota terbersih dan ternyaman di Asia Tenggara, kini merana. Trotoarnya rusak diseraki sampah. Pada malam hari, jalan-jalan dikuasai oleh kawanan tikus, berseliweran memporak-perandakan sampah di saluran pembuangan terbuka. Gedung-gedung perkantoran dari tahun 20-an berdiri angkuh, dan rumah-rumah dagang tampak seperti gelandangan mengenakan jas makan malam yang kedodoran. Hanya gedung-gedung kedutaan yang berdandan dengan labur putih. (Orang Burma suka akan labur putih. Pagoda-pagoda tua dan patung-patung Budha dilaburi putih agar kelihatan baru. Tetapi, kecuali gedung-gedung kedutaan itu, Rangoon terbukti tak layak diputihkan.) Pusat kota memudar menuju kehancuran. Sekelilingnya gubuk-gubuk cokelat bertonggak berdiri di air berlumpur. Ibu Kota yang dulu pernah modern kini dalam proses kembali menjadi sebuah desa tua Burma. Sementara itu, orang berkata, kekumuhan Rangoon membangkitkan nostalgia. Serambi-serambi bertiang yang rusak dan bagian depan gedung bergaya Edwardian yang dindingnya telah terkelupas, di sana-sini, katanya, memancarkan suatu keagungan romantis. Menatap Rangoon sama halnya memandang penduduk pribumi mengenakan pakaian tradisional yang disebut longyis (semacam sarung), yang senantiasa membuka dan menutup laksana burung mengepakkan sayapnya. Dan jangan lupa, cerutu ekstrabesar yang selalu mereka isap seperti yang pernah dinikmati oleh Kipling di "Mandalay" (Kipling tak pernah pergi ke Burma). Akhirnya, inilah Asia yang sesungguhnya, sebuah tempat dalam arti, meminjam ungkapan lama, manusia adalah tetap manusia. Sungguh sangat sukar menikmati kegembiraan, jika kita terus-terusan dikerumuni oleh orang-orang di tempat penukaran uang asing -- yang ingin membeli barang milik kita, misalnya obat-obatan, yang dapat dijual lagi di pasar gelap. Persis dimulai dari ruang pabean airport Rangoon, pasar gelap mendominasi kehidupan Rangoon. Petugas-petugas bea cukai tak henti-hentinya memeriksa dokumen -- sebagai dalih untuk menukar mata uang asing para turis dengan kurs pasar gelap (yang jauh lebih tinggi dari kurs resmi). Setelah itu, mereka membuka mulut lebar-lebar, tersenyum, selamat datang di Burma, dan mulai minta hadiah: pulpen, gantungan kunci -- apa saja yang dapat mereka jual di pasar gelap. Pada saat yang sama anak-anak muda, sambil mengisap cerutu besar, berusaha membeli wiski, sigaret, T-shirt, ikat pinggang, dan kosmetik yang dibawa oleh turis-turis. Cukup sehari di Rangoon, seseorang sudah merasa dihantui oleh bisik-bisik, "Ingin bisnis?" Bisnis ini bukan didorong oleh keserakahan, melainkan kebutuhan semata. Barang konsumen cuma 8% dari seluruh impor Burma. Dan sebagian besar, kata orang, dikonsumsi oleh tempat-tempat penukaran uang asing -- dan di situ satu dolar AS berharga tujuh kyat, padahal di jalanan bisa sampai 30 kyat. Pasar gelap di Rangoon laksana cacing pita menembus kehidupan ekonomi yang rapuh. Segala sesuatu dijual dan dijual lagi. Pegawai-pegawai pemerintah menjual jatah berasnya. Tiap pagi, sejumlah orang muda, yang kebanyakan lulusan universitas, bergegas menuju bioskop untuk memborong semua tiket, dan menjualnya kembali di siang hari (sebagian besar film yang sedang diputar dibintangi oleh aktor action Chuck Norris). Mobil-mobil tua, yang di masa lalu menyenangkan hati para penulis perjalanan, sekarang, tak banyak dijumpai lagi. Gantinya pikap buatan Jepang. Kebanyakan mobil milik pribadi, dan sangat banyak orang menjual jatah bensin mereka ke pasar gelap. Di pasar gelap Rangoon sekarang penuh Chevrolet dan Hillman tua yang membusuk -- yang sebelumnya benar-benar terawat -- yang tak diperbolehkan lagi beroperasi di jalanan. Truk-truk pikap dioperasikan sebagai taksi. Siapa yang memiliki taksi-taksi tersebut? Jawabannya adalah samar-samar. "Taksi-taksi itu disewakan harian," orang bilang. "Ya, tetapi dari siapa?" "Dari orang-orang kaya." Orang kaya dapat berarti luas: pembesar militer, bos Partai Sosialis, atau pedagang Cina, India, pelaut, dan saudagar. Kebanyakan orang muda Burma ingin menjadi pelaut -- yang merupakan jalan pintas untuk menjadi kaya, karena pelaut diizinkan mengimpor barang-barang. Mereka bekerja di kapal selama tiga tahun, menabung setiap sen dolar yang didapatkan, membeli pikap, dan kemudian hidup dari mengeruk laba selama bertahun-tahun. * * * Mengisolasi suatu kebudayaan dari pengaruh dunia luar yang rusak, hasilnya kurang lebih sama dengan mengurung seorang gadis dalam pemondokan sekolah yang terpencil. Mereka akan jatuh cinta kepada pengaruh jelek yang mereka alami pertama kali. Walaupun tetap mempertahankan longyis dan cerutu, banyak orang Burma memuja barang-barang modern. Seperti halnya mencari seseorang berjalan dengan kaki telanjang di sepanjang pertokoan yang menuju ke Pagoda Shwe Dagon, sia-sia pula mencari ukiran kayu tradisional yang halus atau benda-benda religius. Yang mudah diperoleh adalah dewa-dewa modern yang berwujud pesawat televisi, telepon, atau gadis-gadis dengan perlengkapan golf. Yang paling populer di pasar gelap bagi para remaja adalah T-shirt dengan slogan-slogan berbahasa Jepang atau Inggris -- slogan apa saja: pokoknya, luar negeri. Kehausan akan sesuatu yang berbau luar negeri tak terbatas pada benda pakai. Seorang wartawan Burma, yang menulis untuk majalah luar negeri, sering tidak menerima majalah jatahnya. Dan itu bukan karena sensor, tetapi karena dicuri di kantor pos dan dijual di pasar gelap. Saya pernah melihat majalah Life kuno yang sudah tidak utuh lagi, dengan gambar depan Lyndon B. Johnson, dijual di tepi jalan. Modernisasi yang menerobos dinding Burma yang agak keropos mempengaruhi tradisi Burma itu sendiri. Resepsi perkawinan diiringi band hingar-bingar memainkan musik pop gombal gaya Frankie Avalon dan Brenda Lee. Patung bernapaskan Budha kuno di-"modern"-kan dengan mengembosnya dengan semen dan dicat emas. Patung Budha tua dimahkotai dengan lampu neon berwarna-warni atau kerlip lampu disko. Semua ini menunjukkan dua kemungkinan: Tradisi Burma begitu hidup, sehingga patung Budha dalam cahaya neon kelihatan rapi. Atau hal tersebut menunjukkan kepicikan, sehingga tak mampu melindungi keindahan tradisional dari selera modern murahan. Sukar untuk mengatakan mana yang lebih buruk, kebusukan kolonialis Coca, atau bunga-bunga unik yang tumbuh secara palsu dalam suatu budaya yang tak sepenuhnya terisolasi dari dunia modern. Kebusukan Rangoon bukan semata hasil dari perencanaan yang jelek, sebenarnya. Melainkan bagian dari suatu proses yang disengaja untuk mencekik kota tersebut, untuk mengembalikan Burma seperti sebelum zaman penjajahan. Yakni pada zaman pemerintahan seorang pemimpin yang "mahatahu", tetapi tak bertanggung jawab kepada siapa pun. Secara gampang dapat dikatakan Rangoon tak cocok dengan citra Burma. Rangoon hanyalah menjadi sumber kekacauan, seperti pada 1974, ketika mahasiswa dan pendeta memprotes pemerintah di Gedung Serikat Mahasiswa dan Pagoda Shwe Dagon. Ada alasan lain yang mungkin lebih fundamental mengapa Rangoon tak selaras dengan jalan Burma menuju sosialisme: terlalu banyak orang asing tinggal di sana. Rangoon tak pernah benar-benar menjadi kota Burma, melainkan -- seperti halnya Kalkuta dan Singapura -- suatu ciptaan dari Inggris. Sebelum Inggris menginjakkan kaki di sini, Rangoon tak lebih luas dari sebuah dusun yang terletak di persimpangan. Rangoon made in Inggris merupakan suatu perubahan yang mendadak dalam masyarakat desa yang tak memiliki tradisi menghadapi kejutan ekonomi pasar modern. Masyarakat Burma yang beragama Budha mengasosiasikan bisnis uang dengan keserakahan dan pengeksploitasian yang menipu. Orang India, Inggris, dan Cina yang meminjamkan uang jauh lebih pandai dari orang Burma. Orang Burma yang meniru cara orang asing kebanyakan tinggal di kota. Petani-petani gurem mulai mengambil keuntungan dari investasi Inggris dan peredaran uang. Tetapi invasi Jepang pada 1942 menyebabkan ekspor beras terhenti, dan para petani gurem yang hampir meningkat taraf hidupnya kembali ke gaya hidup lama. Yakni bertani sekadar mencukupi kebutuhan sendiri -- dan sejak itu mereka tak pernah mampu bangkit kembali. * * * Pusat Burma yang sebenarnya adalah Istana Raja, yang terletak di pusat dunia. Pusat ini dapat berpindah-pindah, sebagaimana dinasti-dinasti Burma yang biasanya mulai berkuasa di ibu kota yang baru. Di mana pun letaknya Istana, di situlah mikrokosmos atau disebut Gunung Meru, pusat semesta dalam kosmologi Hindu-Budha. Gunung Meru adalah tempat tinggal manusia, sekelilingnya ditempati oleh orang Barbar, misalnya orang Inggris, yang dianggap sesat oleh Budhisme. Para raja Burma memerintah secara absolut, agar rakyatnya semadi dalam damai, dan dapat mengatasi penderitaan semesta ini. Sementara raja-raja mengusahakan kesejahteraan berlandaskan agama Budha, mereka juga memerintah bagai raja-raja dewa Hindu: sering secara pragmatis dan terkadang kejam. Salah seorang raja mencoba meningkatkan kekuatannya dengan minum ramuan mujarab yang terbuat dari 6.000 jantung manusia. Raja terakhir, Thibaw (1856--1916) memerintahkan hukuman mati atas 80 orang saudara tirinya, laki-laki dan perempuan. Karena darah keluarga raja tak boleh tertumpah, korban diikat dalam karung dan diinjak-injak sampai mati oleh seekor gajah putih. Dalam pandangan tradisional, ada empat hal yang tak dapat dipercaya: maling, cabang pohon, wanita, dan raja. Tahun 1885, Raja Thibaw mengancam Inggris. Dengan dukungan Prancis, ia melindungi monopoli negara dalam kayu jati. Inggris kemudian menghapuskan Kerajaan Burma. Suatu tindakan yang sangat mengguncangkan jiwa bangsa. Orang Barbar telah menghancurkan pintu gerbang dan susunan kosmis di sekeliling Gunung Meru. Singgasana Burma runtuh. Istana Mandalay menjadi klub kalangan atas Burma, tempat para pejabat Inggris dan para pedagang minum wiski di waktu senja. Tahta kerajaan dipindahkan ke Kalkuta. Raja-raja yang tidak suka memberontak mendapatkan ide untuk mendirikan pusat kosmis baru. Dengan matinya Gunung Meru, rakyat Burma yang berpendidikan terpaksa mengenali dunia seperti yang digambarkan oleh Copernicus dan Galileo. Burma bukanlah apa-apa, kecuali setitik noktah dalam peta dunia. Seperti yang terjadi di banyak negara Asia, sekularisasi bukanlah hasil penyelidikan manusiawi, melainkan hasil kekuatan tertinggi. Sebagai ganti tradisi upacara kosmis, Inggris memaksakan hukum sekuler, menelurkan kaum elite Burma yang terdiri dari pengacara dan juru tulis yang keinggris-inggrisan. Para pengacara menafsirkan hukum baru bagi rekan-rekan senegaranya yang masih bingung. Juru tulis membantu penasihat Inggris melaksanakan hukum. Negara baru sudah terbentuk, walaupun isinya belum. Dalam praktek sehari-hari, adat-istiadat Burma tetap berjalan. Tetapi luka pada peradaban Burma begitu dalam dan sulit disembuhkan. Dengan disingkirkannya raja, bangsa Burma kehilangan pelindung iman mereka. Hierarki dalam agama Budha pun rusak. Dengan memperluas pemerintahan sampai ke suku minoritas non-Burma, yang sampai saat itu berkewajiban membayar upeti kepada raja Burma, hanya menyebabkan perang saudara di masa kemudian. Yang terburuk adalah menjadikan Burma sebagai salah satu provinsi India, dan mendatangkan sejumlah besar orang India untuk menjalankan roda birokrasi di negeri ini. Harga diri bangsa Burma sangat terluka. Terlebih, orang India membuktikan diri mereka lebih mahir dalam perdagangan modern. Karena itu, perjalanan Burma menuju modernisasi ditandai oleh semangat untuk menggalang kembali iman mereka, mengisi tahta dengan seorang pelindung, dan mengusir orang asing. Suatu gabungan dari nasionalisme, Budhisme, dan prinsip Nazi. * * * Pemimpin Burma pertama setelah Inggris diusir oleh Jepang dalam tahun 1942 adalah Dr. Ba Maw, seorang pengacara lulusan Prancis. Dia digelari "Ana Shin Mingyi Kodaw", yang berarti "Raja Kekuatan, Pengabdi Maharaja". Tujuan kerajaan ini dinyatakan dalam slogan: "Satu darah, satu suara, dan satu komando." Sosialisme nasional semacam ini, seperti layaknya jenis-jenis sosialisme, lihai meletakkan konsep lama dalam slogan modern. Pemimpin yang benar-benar menjanjikan Burma menjadi negara yang sepenuhnya merdeka adalah Aung San, yang pernah belajar ilmu politik di Serikat Mahasiswa. Dia berkomplot dengan Jepang, tetapi kemudian berbalik membantu Sekutu melawan Jepang. Aung San oleh rakyatnya dianggap sebagai Setkya-Min, "Raja, penjelmaan Sang Budha". Malangnya, Aung San terbunuh pada 1947, setahun sebelum kemerdekaan Burma tercapai, dalam usia 33 tahun. Wajahnya diabadikan dalam mata uang Burma, kyat, dan potretnya tergantung pada dinding kantor Jenderal Ne Win. Kematian Aung San barangkali merupakan tragedi terburuk dalam perjalanan Burma menuju modernisasi, karena dia penganut paham modern, walaupun tidak jelas. U Nu, yang menggantikan Aung San, terombang-ambing antara modernisasi dan nativisme. Mungkin dia sendiri tak yakin di mana dia berpijak, meski sangat ahli menjabarkan ide-ide tradisional dalam kehidupan modern. Pandangannya terhadap Burma sejalan dengan kesejahteraan ala Budha. Dia menentang kapitalisme karena membuat rakyat lalai pada agama. Pemerintahan U Nu berakhir tahun 1962. Ia digulingkan Ne Win melalui kudeta militer. Setelah diasingkan beberapa lama, U Nu diizinkan kembali -- dan sekarang menghabiskan waktunya memperdalam ajaran Budha. Pemerintahan militer banyak merombak Kerajaan Burma. Tak seperti para pemimpin Burma setelah kolonialisme, Jenderal Ne Win tak merasa perlu membentuk masyarakat baru, karena sudah ada "cetak biru" yang lama. Ne Win dikenal sebagai yang "mahakuasa". Ne Win yang tidak rasional, misterius, dan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang sedikit saja menunjukkan tanda ketidaksetiaan, mengingatkan rakyat pada gaya raja-raja Burma memerintah. Dia bahkan menikah dengan cucu Raja Thibaw. Ada ganjalan bagi Ne Win sebagai pemimpin Burma karena ia berdarah Cina. Maka, dengan segera diterbitkan sebuah buku yang membuktikan bahwa Ne Win adalah asli pribumi. Rakyat tampaknya segan menyebut pemimpin mereka dengan nama sebenarnya. (Walaupun U San terpilih sebagai ketua partai tahun 1981, kekuasaan Ne Win tetap mutlak). Saya mendengar Ne Win disebut sebagai orang tua, yang nomor satu, yang paling top. Seorang penulis Burma menjuluki pemerintahnya "pemerintahan seenak perut seseorang". Lucian Pye, dalam studinya tentang Burma, menulis: Kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang mendominasi sistem tradisional Burma. Keyakinan bahwa raja adalah setengah dewa berarti lese majeste. Ia berhak menganjurkan dan menyarankan segalanya, bahkan hal yang tidak mungkin, karena kemaha kuasaannya... karena status yang tinggi memungkinkan dia bertindak seenaknya, semakin tinggi jabatan seseorang semakin tak perlu dia bertanggung jawab atas tindakannya. Ada dorongan yang kuat pada pejabat pemerintah untuk bertindak tak bertanggung jawab. Kalangan istana sejak dulu sampai saat ini selalu menyokong kebijaksanaan atasannya. Sebab, hal itu menentukan hidup atau mati, paling tidak mempengaruhi mata pencarian mereka. Memegang rahasia antara sesama mereka dapat merupakan sumber kekuatan. Suatu sistem yang membuat orang-orang terus-menerus melakukan intrik menimbulkan "paranoia". Rahasia menjadi suatu pandangan hidup. Jika orang lain mengetahui kelemahanmu, dia akan menguasai dirimu. Dan akan semakin buruk apabila orang lain itu orang asing. Wisatawan dari luar negeri hanya diperkenankan tinggal selama seminggu. Sedangkan wartawan asing tidak boleh tinggal sama sekali. Para diplomat dipersulit untuk memperoleh informasi, apalagi memberi. Semakin orang banyak tahu, di Burma, semakin besar keinginan untuk menyimpannya untuk diri sendiri. Jepang merupakan negara yang mempunyai andil terbesar di Burma, oleh karena itu mempunyai kedutaan yang terbesar. Apa pun yang tampak modern di Burma dibangun atau buatan Jepang. Dari rumah sakit sampai mobil pikap yang banyak dijumpai di mana-mana. Ada anggapan yang berbau sentimentil, Jepang sebagai mitra usaha lebih dapat dipercaya daripada bangsa kulit putih bekas penjajah. Ne Win sendiri mendapatkan pendidikan militer dari Jepang. Ini menyebabkan pertentangan bain dalam diri orang Burma yang masih ingat pernah dianiaya oleh serdadu Jepang yang angkuh. Suatu hari saya diajak ke sebuah warung teh di Rangoon oleh seorang dokter gigi Cina yang takjub akan sukses Jepang. "Oh, betapa hebatnya Jepang, benar-benar bangsa cerdas," komentarnya sehubungan dengan langkanya barang-barang Inggris di pasar gelap. Kemudian saya mampir ke rumahnya yang sekaligus menjadi tempat praktek. Di situ dia melayani pasiennya dengan bor gigi buatan Tokyo 1942. Sambil menunjukkan majalah Newsweek yang gambar kulit mukanya monster Jepang memuntahkan yen, dia menggeleng-gelengkan kepala, lalu mengoyak gambar tersebut, sambil sekali lagi bergumam, "Benar-benar bangsa hebat." Jelas sekali dia tak senang terhadap sukses Jepang. Itu semua mendorong saya mencoba menemui seorang diplomat Jepang. Karena telepon rusak, saya pergi ke kedutaan untuk membuat janji dengan atase kebudayaan Jepang. Di pintu gerbang saya ditemui oleh sekretarisnya, seorang pria Burma yang selalu tampak gelisah. Ia berkata bahwa beliau terlalu sibuk untuk menerima tamu. "Ah, rasanya tak mungkin," kata saya dan mendesaknya untuk mencoba sekali lagi. Lima menit, kemudian dia kembali, dan mengatakan bahwa Atase tak dapat memberi informasi yang saya inginkan. Bagaimana mungkin, sedangkan dia belum tahu informasi yang saya inginkan? Lima menit lagi, dan sekretaris yang gelisah ini kembali dengan menegaskan bahwa Atase sama sekali tak dapat memberi informasi. Saya mencari pamflet resmi tentang jalan Burma menuju sosialisme yang berjudul Sistem Korelasi Manusia dan Lingkungannya yang ditulis, menurut seorang agen surat kabar lokal, oleh seorang wartawan progresif berpendidikan menengah, seorang bohemian yang telah menjalajahi Paris. Setiap toko milik negara pasti menjualnya, katanya. Saya tak mendapatkannya, walaupun telah keluar-masuk beberapa toko. Bahkan mereka hampir tak memiliki buku sama sekali. "Krisis kertas," ujar seorang juru tulis. Dia menyarankan agar saya mencarinya di pasar gelap. Akhirnya, saya berhasil memperoleh sebuah kopi yang sudah rombeng dari seorang yang suka mengkritik pemerintahnya. Dia seorang Burma tua yang berpendidikan tinggi. Katanya, ia sulit meramalkan nasib sosialisme Burma. Kebanyakan kaum intelektual Rangoon cenderung berpendapat begitu. "Sosialisme," kata seorang dari mereka, "hanyalah alasan dari orang tua untuk menasionalisasikan perekonomian. Bukan karena dia menentang perusahaan swasta, tetapi karena dia menginginkan kekuasaan yang mutlak." Seorang yang lain mengatakan, sosialisme hampir tak ada hubungannya dengan ajaran Budha. Mungkin pendapat Dr. Ba Maw yang paling mendekati kebenaran, "Sosialisme adalah bagus, dan bila diterapkan di Burma akan lebih bagus." Dia seharusnya mengatakan bahwa prinsip campuran yang terdiri dari sosialisme, Budhisme dan nasionalisme sukar diterapkan pada suku minoritas non-Burma. Sebab, kebanyakan dari suku Shan, Karen, atau Kachin tak beragama Budha. Di wilayah kekuasaan masing-masing, suku-suku itu mengorganisasikan kekuatan bersenjata untuk melawan rezim Ne Win. Jalan Burma Menuju Sosialisme adalah sebuah tanggapan seorang "nativis" Burma terhadap dunia modern. Sebagaimana cetak biru masyarakat Burma yang sempurna -- masyarakat tanpa bangsa asinglah yang sejahtera secara spiritual -- suatu hal yang layak dilihat lebih lanjut. * * * Jalan Burma Menuju Sosialisme menjadi ideologi resmi sejak 1962. Tetapi dasarnya telah lama diletakkan, jauh sebelum Ne Win memegang tampuk pimpinan. Ideologi itu merupakan suatu usaha merujukkan "analisa obyektif" dengan pandangan spiritual mengenai dunia. Menyajikan Marxisme dalam ajaran Budha, tetapi tak menyetujui "materialisme vulgar" golongan kiri yang terjerat masalah kebiasaan berprasangka dan meramal. Hukum Budha tentang perubahan konstan ditafsirkan secara Marxis, "Sistem sosial abadi yang mengizinkan pengeksploitasian manusia oleh manusia (misalnya perbudakan, feodalisme, dan kapitalisme) tak dapat bertahan dalam hukum-hukum perubahan yang tak dapat ditawar." Gabungan Budhisme dan sosialisme mungkin mengejutkan dan membuat berang Karl Marx, yang memandang agama-agama "Asiatik" sebagai halangan besar untuk mencapai kemajuan. Tetapi hal itu bukanlah mustahil. Keyakinan baru dalam kenyataannya merupakan usaha lama untuk menjadi modern tanpa meninggalkan keburmaan. Kesadaran akan dilema ini, yang harus merujukkan antara "dunia sana" dan masalah-masalah duniawi, datang dari pendidikan modern. Seorang supir taksi yang membawa saya keliling kota tidak memusingkan masalah ini. Dia mengemudikan mobilnya seperti orang yang tak menghargai nyawanya -- tanpa menyentuh rem, menyalib di tikungan tajam, membuat jarak hanya beberapa inci dengan kendaraan di depannya. Anehnya, dia tetap tenang-tenang. Tiba-tiba, dia berhenti di tempat keramat di sebuah sisi jalan, untuk berdoa kepada arwah-arwah demi keselamatannya. Mereka, arwah-arwah itulah, yang menentukan nasibnya bukan kemahirannya mengemudikan mobil. Para nasionalis Burma yang modern tetapi anti-Inggris sangat terganggu oleh dilema tersebut. Pendidikan Inggris telah menyekulerkan pandangan terhadap dunia, sementara misionaris Protestan mengancam spiritual ajaran Budha. Jawabannya adalah menyekulerkan Budhisme. Para antikolonialis seperti Pendeta Ottama dan Pengarang Kudaw Hmain muncul dengan gagasan cemerlang, mirip dengan teologi pembebasan di negara-negara Katolik miskin. Mereka membantah bahwa Budhisme sesungguhnya semacam "protososialisme". Sebuah kutipan dalam sebuah jurnal agama Budha terbitan 1920 berbunyi, "Budhisme adalah suatu demokrasi spiritual yang tak mengenal baik kekayaan maupun kasta." Kaum modernis Burma bertujuan mendirikan nirwana di bumi ini. Ini berarti pembebasan diri dari belenggu kolonial dan dari eksploitasi kaum kapitalis. Itu berarti, apabila perusahaan bebas jatuh ke tangan pengusaha asing dan perusahaan multinasional, upaya bangsa Burma mencapai pemenuhan spiritual terhalang. Dengan kata lain, bangsa ini akan gagal menjadi bangsa Burma yang sejati. Sebagai buah dari jerih payah mengucilkan golongan minoritas non-Burma -- yang pasukan pemberontaknya menguasai setengah dari negeri itu, dan membuat Burma yang berpotensi kaya itu tetap miskin -- Ne Win sukses memburmakan Burma. Negara tua itu memonopoli ekonomi yang telah dipulihkan oleh sosialisme. Yang pertama-tama dibereskan setelah kudeta militer adalah perusahaan-perusahaan asing. Pembatasan perdagangan dan mata uang memaksa lebih dari 200.000 orang India dan Pakistan meninggalkan Burma tanpa membawa serta modal mereka. Sementara itu, mereka yang tetap tinggal harus menanggung warisan kolonial. Bahasa Inggris mereka bagus. Lihat saja seorang wanita pengemis kurus kering dari Dakha, yang "mengerjai" para wisatawan di depan Hotel Strand, Rangoon. "Tolong, selamatkan jiwaku satu menit saja," ujarnya memelas. Nasionalisasi tanah telah membuat orang asing yang kebanyakan tinggal di Rangoon kehilangan tanah mereka. Kecuali memberi mangkuk besi kepada para petani gurem, nasionalisasi memberi pula keuntungan lain, yaitu berkurangnya jumlah mahasiswa dan para pembuat onar yang terdiri dari golongan menengah kota. Mereka menjadi penyebab utama timbulnya ketegangan politik di Asia: nasionalisme antipemerintah. Mahasiswa kelas menengah tampaknya bukan ancaman yang berarti lagi dewasa ini. Harapan mereka akan kemajuan ekonomi dan sosial telah diblokir secara efektif. Kesulitan mereka seolah-olah secara klise menegaskan bahwa pergolakan politik muncul seiring dengan meningkatnya harapan-harapan. Pihak militer telah mengambil alih universitas sebagai tempat lahir kaum elite baru. Sebagian besar lulusan universitas tak mendapatkan pekerjaan. Anda dapat menjumpai mereka membaca rajah tangan di kuil-kuil, sebagai pramuwisata membawa turis keliling kota, atau secara iseng terjun dalam bisnis pasar gelap. Pemerintah hanya menggalakkan sekolah kejuruan, sengaja mendirikan sekolah di daerah untuk menjauhkan pelajar dari kota. Menurut seorang siswa di Rangoon, "Murid yang mendapat nilai terbaik dianjurkan memilih bidang sains, sedangkan yang jelek disarankan memilih liberal arts (bidang studi di luar sains dan matematika)." Politik sudah mulai dilarang di kampus. Saya bertanya pada seorang dosen falsafah yang mengkhususkan diri pada falsafah modern Timur. "Filosof Cina mana yang Anda pelajari?" "Semuanya, dari Konfusius sampai Mao," jawabnya. "Anda mempelajari Maoisme?" "Oh, tidak, kami dilarang mempelajari politik." Jika ingin menghancurkan kota besar di Burma, hancurkan saja buku-buku, terutama buku pengetahuan asing. Ini langkah pertama menghancurkan orang-orang yang membaca dan menulis buku tersebut. Memang belum pernah terjadi buku-buku dibakar secara ritual di Burma, atau kaum cerdik pandai berpendidikan Barat dibantai, seperti yang terjadi di Phnom Penh-nya Pol Pot. Mereka cukup dibuat tak berkutik dengan misalnya diberi pekerjaan yang tak layak, yang tak sesuai dengan keahlian mereka, dan dijadikan bahan olok-olok dalam hiburan populer. Dalam sandiwara Burma, tokoh penjahat selalu berkaca mata dan berbahasa asing. Toko-toko buku loakan mengobral buku-buku rombeng berbahasa Inggris kepada para wisatawan. Pemilik buku-buku ini sudah meninggal atau terlalu miskin untuk memelihara milik mereka yang paling berharga. Tak satu pun dari buku ini yang lebih baru dari terbitan pertengahan 1960-an. Seorang penjual buku berkata: sepuluh tahun mendatang, buku-buku berbahasa Inggris akan ludes, tak ada sisa untuk dijual. Beberapa tahun lalu, bahasa Inggris masih dilarang dipelajari. Menurut sebuah sumber, baru setelah anak perempuan Ne Win tak mampu mengikuti kuliah di Universitas berbahasa Inggris, bahasa ini dimasukkan kembali ke dalam kurikulum. Dewasa ini, kaum muda Burma bergairah mempraktekkan bahasa Inggris mereka dengan para turis. "Bahasa Inggris adalah bahasa internasional," ujar mereka. Para wartawan kawakan, yang pernah bekerja untuk koran-koran berbahasa Inggris yang paling berpengaruh di Asia, kini dibatasi menulis untuk dua koran milik pemerintah. Mereka menulis di halaman muka, misalnya, "Suatu pertemuan koordinasi tentang pengolahan produksi dan pembelian padi, hasil minyak dan hasil musim dingin untuk tahun 1986-87 diadakan di Gedung Mya Eya, Sagaing Division Kantor Dewan Rakyat pada tanggal 24 Juni." Atau mereka mencoba hidup dari mengirimkan berita lewat jasa telegram luar negeri. Tetapi ketiadaan sumber informasi resmi dan bahaya akan reportase yang akurat menghentikan mereka mengirim banyak berita. Seorang wartawan yang saya kenal selama bertahun-tahun hanya menulis satu artikel. Dia selalu menunggu "informasi yang lebih detail". Dia bekerja sama dengan beberapa rekannya, dan pergi ke setiap upacara kedutaan, dengan harapan mendapatkan secuil gosip. Dalam keadaan terisolasi, mereka telah menjunjung tinggi kesopanan, walaupun tidak memenuhi syarat bentuk jurnalistik seperti yang pernah mereka pelajari di masa lalu. "Jika kami pergi," kata salah seorang dari mereka, "jurnalisme di negeri ini akan mati." Saya mengunjungi seorang penulis tua bernama U Tin Maung. Seorang berpendidikan tinggi dari sekolah zaman dulu dengan pengalaman bertahun-tahun tinggal di Inggris. Sekarang dia tinggal sendirian di sebuah pondokan murah. Kamarnya penuh buku, terletak berhadapan dengan WC. Serombongan turis muda dengan tas di punggung dan kaki yang habis digigiti nyamuk melewati kamarnya untuk mandi pagi. "Pemerintah ini telah menghancurkan negeriku," teriaknya kepada seorang gadis Irlandia yang kebetulan lewat. "Aku butuh sepuluh macam meditasi untuk menenangkan hatiku, dan aku harus membeli semuanya itu di pasar gelap. Tetapi lebih baik aku diperintah oleh kediktatoran Burma daripada di bawah kezaliman yang penuh kebajikan Ratu Inggris." Gadis Irlandia itu tertawa. Kemudian ia menudingkan jarinya ke arah gadis itu, "Ada satu hal yang membuat kami tak mungkin mengampunimu -- kamu sekalian telah membunuh Mountbatten. Kami mencintai Mountbatten di Burma". U Tin Maung tersenyum padaku, menarik tanganku, dan katanya, "Seperti kata Alice di Negeri Ajaib, segala sesuatunya menjadi semakin buruk."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini