SEBUAH langen beksa dipertunjukkan lagi. Kali ini dengan sutradara dan penata tari S. Kardjono. Ceritanya diambil dari Kidung Ronggo Lae. Bentuk langen beksa baru melewati dekade pertama. Ia ditandai oleh hadirnya cerita, pengungkapan dialog dengan antawacana, percakapan, dalam gaya yang sesuai dengan keperluan, maupun tembang, nyanyi, oleh para pameran. Juga, menonjolnya garapan tari dalam melukiskan adegan. Kali ini, ceritanya tidak diambil dari khazanah wiracarita yang berlangsung pada masa lalu, yang amat jauh, hingga tak perlu lagi diduga jaraknya, seperti centa Ramayana, Mahabarata, Amir Ambyah, Panji. Dalam pementasan pada 5 dan 6 Maret lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ceritanya seolah berasal dari masa lalu yang dekat. Kesan dekat ini, karena mengacu kepada tempat, waktu, dan kejadian sejarah yang dapat dikenali. Meskipun jelas bahwa dongeng Ronggo Lawe ini, sebagai karya sastra atau teater, adalah fiksi, ia tetap dapat menimbulkan kesan khas, karena asosiasi kesejarahannya. Ronggo Lawe, bupati Tuban, melakukan makar terhadap Jayanagara alias Kalagemet, raja Majapahit, pada 1309 Masehi . Sajian ceritanya memang bukan semata-mata menyodorkan kebenaran perlambangan, tetapi seakan memaparkan kebenaran kejadian. Maka, dapat dipahami bahwa sesudah menonton pergelaran ini lalu ada yang berkomentar, "Oo, saya mengerti sekarang, mengapa orang Tuban disebut sebagai pemberontak. " Catatan pertama mengenai pemberontakan ini terdapat dalam kitab Pararaton, sebuah kronik yang ditulis pada 1613 Masehi. Dalam kitab ini, kejadian tersebut diceritakan hanya dalam sepuluh kalimat. Tapi ini rupanya memberi ilham kepada seorang penulis untuk menyusun karya sastra yang berjudul Kidung Ronggo Lawe atau Panji Wijayakrama. Ronggo Lawe, yang menyingkir ke Tuban, tak berhasil mendudukkan dirinya sebagai patih Majapahit. Dalam menggarap pergelaran ini Kardjono dibantu penata tari lain, yaitu Wiwiek Sipala, Sulistyo, Aji, Rahyono, dan Herning Susmayanti. Ada beberapa bagian penataan tarinya yang terasa tepat dan menimbulkan kesan mendalam. Misalnya kelompok tari yang menggambarkan sungai, tempat terjadinya pertarungan antara Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang. Tarian 15 penari putri, dalam kostum serba biru itu, digarap sangat baik, menggambarkan sungai dalam berbagai suasana. Semula sungai yang netral, memenuhi pentas dengan arus yang panjang-panjang, mengalun tenang dan teratur. Kesan cair dan mengalir dicapai, kecuali dengan garis-garis memanjang dan melengkung berbalik, juga dicapai dengan kecepatan tempo yang terjaga. Pada saat lain, sungai digambarkan penuh gejolak: penari membentuk garis-garis pendek yang cepat berubah arah. Ada penataan tari lain yang meninggalkan kesan. Yaitu adegan berkasih-kasihan antara Ronggo Lawe dan kedua istrinya, dengan iringan gending Ketawang Kinanti Sandung. Kedua istri itu, dalam gerak serempak, mengesankan kesatuan perasaan. Ada keutuhan komposisi. Tetapi keutuhan itu tidak terdapat pada adegan sebelum Kinanti Sandung. Bahkan terasa ketegangan yang berlebihan (karena paduan sikap tangan dan tempo berlari), seperti mau perang, ketika kedua istri menyambut kedatangan Ronggo Lawe. Demikian juga adegan berikutnya, ketika Ronggo Lawe pamit kepada anaknya. Ketidaktegaan kedua istri sebenarnya sudah baik, ketika digambarkan dengan duduk membelakangi penonton dan Ronggo Lawe, sambil mengutarakan gerakan tangis yang tenang. Tapi apa yang terjadi di latar depan, antara Ronggo Lawe dan anaknya, terlalu kelebihan dramatisasi, jadi kurang gaya. Hingga keharuan yang hendak dipupuk buyar. Namun, secara umum, sanggit, atau susunan alur dan dramatik, dalam penyajian ini cukup memperlihatkan keutuhan. Bahkan penutupan oleh kedua panakawan (Aries Mukadi dan Samsu) yang menyajikan liding dongeng alias makna cerita, sambil melintas di depan pentas yang sudah usai, merupakan suatu surprise. Artinya, mereka menegaskan penafsiran sutradara atas cerita ini. Pelaku-pelaku tangguh sangat menentukan pula keberhasilan karya ini. Antara lain Sardono W. Kusumo yang berlakon sebagai Nambi, Sampan Hismanto (Tosan), Kies Slamet (Kebo Anabrang), Sulistyo Tirtokusumo (Raja Kertarajasa), Kardjono sendiri (Ronggo Lawe). Begitu juga para penari putri, seperti Yuni Trisapto dan Laksmi Simanjuntak. Yang kurang mendapat perhatian adalah segi sastra. Kecerobohan dan kesalahan menggunakan kata sifat atau kata keterangan dalam bahasa Jawa terdengar di sana-sini Misalnya, "ya termasuk aku barang", "tampa duka marang ...", "bekti ketumrap". Ini semua tentu bukan disengaja, melainkan selip karena penghayatan yang spontan. Yang ikut mengganggu, adalah teks yan disajikan mendampingi pertunjukan ini. Ejaannya tidak konsisten. Di samping tertulis kata-kata seperti tata, nata, para wadya pangandika, terdapat pula bedoyo, opo iyo, sebo, koyo, Ronggo. Hal lain yang boleh disebut tak sesuai dengan tata nilai Jawa -- yang sebenarnya diperhatikan sehubungan dengan konteks cerita -- adalah pembaringan jenazah Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang: kaki mengarah ke hadapan raja. Ronggo Lawe memang boleh lena, tapi sang sutradara 'kan tak mesti. Edi Sedyawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini