UNTUK pertama kali Kesebelasan Nasional Indonesia memakai kostum
baju kaos putih, celana merah dan kaos kaki putih. Biasanya
merah putih atau lainnya itu terjadi pada pertandingan Pre
Olimpik ketika mereka berhadapan dengan Kesebelasan Republik
Demokrasi Rakyat Korea. Jumat tanggal 20 Pebruari. Warna baju
kaos merah dipakai kesebelasan tamu. Seratus ribu lebih penonton
yang berjejalan di Stadion Utama Senayan tak acuh akan kelainan
ini. Tapi beberapa penonton yang berfirasat, tak dapat mengelak
dari kejanggalan ini. "Ini tentu ada faktor X", kata mereka. Dan
siapa berani membantah, bahwa kesudahan pertandingan turut
mendukung filsafat tersebut.
Membuka pertandingan pertama lawan Singapura dengan permainan
yang canggung 0-0, Indonesia kemudian mengantongi kemenangan
lawan Papua Nugini dengan 8-2. Beranjak ke pertandingan berikut
lawan RDR Korea, ternyata apa boleh buat -- permainan Indonesia
yang bermutu dan menyala-nyala, tak kuasa menahan Korea Utara
1-2. Yang membikin orang penasaran, adalah kedua gol yang
dicetak lawan tidak seindah gol balasan Indonesia lewat kaki
kiri Johannes Auri. Mengapa Lukman Santoso poros halang yang
bermain cukup baik, tapi pada suatu saat justru membuat kontrol
yang kurang cermat. Sehingga memberi peluang pada lawan untuk
membuat gol? Dan mengapa hanya 12 menit menjelang bubar bisa
terjadi momen yang memukau pertahanan Indonesia: mereka seolah
menonton bola yang melambung dan membiarkan menyentuh tanah
tanpa menghalangi lawan membobolkan gawang Ronny. Meskipun
teorinya Ronny sendiri pada adegan tersebut seyogyanya mengambil
inisiatif merebut bola, karena peristiwa itu terjadi di dalam
daerahnya.
Tapi itu sudah terjadi. Sesal kemudian hanya memalingkan
suporter PSSI pada saat-saat menjelang mereka turun ke
gelanggang. Persiapan teknis dan fisik yang selama ini dilakukan
Coerver, Hendriks dan Ilyas Haddade nampaknya kurang ditopang
oleh suasana psikologis yang memadai. Dan ini memang harus
disesalkan. Misalnya pada upacara penyambutan para peserta di
Balai Kota, suasana psikologis tidak menguntungkan Indonesia.
Hadirin kaget melihat anggota team Pre Olimpik Indonesia tidak
mengenakan seragam sama sekali. Sementara ke-empat team peserta
lainnya memakai seragam lengkap dengan lambangnya. Kalau hal itu
diterima oleh team Indonesia sebagai hal yang lain, tidak
menjadi masalah. Tapi di balik pakaian yang beraneka ragam itu,
ternyata terkandung rasa tidak puas terhadap pimpinan. "Soalnya
bukan pimpinan tidak menyiapkan kami seragam", kata Risdianto,
"tapi bagaimana kalau ukurannya dibikin seenaknya". Konon
penjahit telah mengambil ukuran setiap pemain yang pada bagian
tertentu dibuatkan menurut keinginan masing-masing. Tapi
ternyata, "cutbrainya disegel". Dan menurut selera pemain,
"terlalu konyol untuk zaman sekarang". Begitulah jadinya. Mereka
menghadiri resepsi penyambutan dengan gaya masing-masing. Tapi
hal itu cepat teratasi. Ketua Umum PSSI Bardosono bertindak
cepat. Langsung seorang penjahit dibawa ke Ragunan dan sekali
lagi dibuatkan seragam yang lebih sesuai dengan kehendak pemain.
Semula seragam yang mubasir itu terdiri dari baju model safari
warna krem dan celana abu-abu.
Otoriter
Peristiwa yang tidak kurang mengganjel di hati pemain adalah
isyu bahwa mereka lantas mogok, tidak mau menghadiri upacara
pengiha1an bendera di Hotel Kartika Chandra, tempat para peserta
Pre Olimpik lainnya merginap. "Padahal", kata Ilyas Haddade,
"undangan untuk maksud tersebut pun tidak ada. Baru kami ketahui
setelah orang menghebohkan". Yang mewakili team Indonesia dalam
upacara pengibaran bendera itu antara lain terlihat Asisten Team
Manager, Dono Indarto, petugas protokol Rusman dan beberapa staf
anggota Panitia Penyelenggara.
Dan akhirnya tiba pada giliran tentang kostum di lapangan.
Sebelum para pemain menerima warna putih-merah, bukan tidak
mengalami perbincangan. "Tak pernah seingat saya kita memakai
baju kaos putih", kata Suaib, gelandang yang masih belum pulih
dari operasi di telapak kakinya. Tapi ketika seorang pemain
mengusulkan memalai baju kaos hijau saja, itu pun dianggap sial.
Dan akhirnya mereka kembali pada baju putih, celana merah.
Hal-hal yang sepele itu nampaknya masih dapat diperdebatkan bila
dikaitkan dengan soal mental. Tapi yang jelas dalam turnamen ini
kesebelasan Indonesia berhasil meningkatkan permainannya.
Meskipun dari segi teknis nampaknya Coerver berhasil membuktikan
bahwa dia sangat otoriter. Gagasan Ilyas Haddade yang didukung
oleh beberapa pemain teras pun tidak mempan untuk menggantikan
Suhatman dengan Nobon, misalnya. Tapi jerih-payah Coerver untuk
meningkatkan permainan Auri dan memulihkan ketrampilan Anjas
sangat mengagumkan. Usaha Coerver ini nampaknya merupakan
jaminan mengapa seluruh kepercayaan untuk memenangkan Pre
Olimpik dilimpahkan padanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini