HANYA dalam waktu 2-3 menit saja transaksi terjadi. Selama lampu
merah menyala diperempatan dan kendaraan-kendaraan harus
berhenti. Namun dalam waktu sesingkat itu, anak-anak penjaja
chiclet tak kurang pintarnya menyodorkan barang dagangan kepada
pengendara-pengendara mobil atau motor. Pemandangan semacam ini
akhir-akhir ini jadi umum di tiap tempat perhentian.
Satu kotak cukup dengan harga Rp 50. "Bagaimana mereka bisa
menjual semurah itu, sedangkan saya juga menjual seharga itu",
ujar seorang pemilik toko makanan di sekitar Kwitang,
"jangan-jangan barang palsu",Tapi palsu atau tidak," kami
membeli ini dari Proyek Senen",sahut Rastak, penjual di
perempatan Salemba Raya. Palsu atau tidak, adanya adanya pasar
yang berkeliaran ini telah memberi lapangan kerja bagi sejumlah
besar anak-anak melarat.
Thamrin membeli barang dagangan chiclet dari Pasar Tanah Abang
dan gang Ribal. Cukup dengan modal Rp 575, mereka sudah
mendapatkan satu pak berisi 20 kotak.Dari tiap pak ini mereka
sudah mengantongi keuntungan Rp 425. Sehari-harian," apalagi
kalau panas dan ramai, bisa laku 3 pak",ucap seorang penjaja di
Jalan Thamrin. Di Proyek Senen lantai III ada 40 kios yang
menjual perme. Rata-rata seharinya kios-kios disini menjual 40
karton -- berisi 30 pak -- kepada anak-anak tadi. Dari tiap
karton anak-anak menngaruk keuntungan sekitar Rp. 4500, karena
mereka membeli dari gang Ribal hanya dengan harga Rp. 1.675 per
karton "Itupun dengan kredit", kata seorang pemilik kios di
Senen. Gang Ribal kabarnya memang pusat bursa barang-barang
makanan dan minuman dalam kaleng, impor maupun buatan dalam
negeri. Chiclet itu sendiri disebut sebagai buatan Taiwan.
Mendorong Mobil
Anak-anak penjaja itu tersebar hampir di setiap perempatan jalan
di seluruh kawasan Ibukota. Usia mereka antara 14 sampai 18
tahun. Umumnya datang dari Kuningan, Jawa Barat. "Kami rata-rata
berasal dari Kuningan", ucap anak-anak di perempatan Jalan
Pramuka. Bahkan tidak hanya menjual chiclet, anak-anak Kuningan
itu juga menyebar di jalan-jalan Jakarta sebagai penyemir dan
pengesol sepatu yang menggendong tokonya ke sana ke mari. "Sulit
cari kerjaan di kampung", tutur Rastak. Datang ke Jakarta bukan
hanya sekedar mengadu nasib, tapi "juga ingin melihat-lihat kota
Jakarta".
Para pengendara mobil maupun motor ada yang jengkel ketika
ditawari penjual-penjual chiclet itu. Tak kurang pula yang
langsung membeli untuk mengurangi rasa haus dan mengusir kantuk
selama di atas kendaraan. Tapi para penggemar makanan kecil --
yang konon tak akan habis-habisnya sampai mulut merasa lelah
mengunyahnya ada pula yang ragu. "Kok warnanya lain", tanya
seorang pengemudi. Tanpa ragu si penjual pun menjawab: "Kan
terjemur matahari terus, pak". Tak kurang penting dari itu,
selama jalan-jalan di Ibukota tergenang air dalam musim
penghujan baru lalu, adalah anak-anak penjual chiclet itu pula
yang dengan cekatan mendorong mobil-mobil mogok terendam air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini