Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pasar Perempatan

Anak-anak penjaja chiclet di lampu lalu lintas sangat cekatan menjual dagangannya dengan harga murah. Jangan-jangan barang palsu. Kadang-kadang mereka juga mendorong mobil mogok di saat banjir. (eb)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA dalam waktu 2-3 menit saja transaksi terjadi. Selama lampu merah menyala diperempatan dan kendaraan-kendaraan harus berhenti. Namun dalam waktu sesingkat itu, anak-anak penjaja chiclet tak kurang pintarnya menyodorkan barang dagangan kepada pengendara-pengendara mobil atau motor. Pemandangan semacam ini akhir-akhir ini jadi umum di tiap tempat perhentian. Satu kotak cukup dengan harga Rp 50. "Bagaimana mereka bisa menjual semurah itu, sedangkan saya juga menjual seharga itu", ujar seorang pemilik toko makanan di sekitar Kwitang, "jangan-jangan barang palsu",Tapi palsu atau tidak," kami membeli ini dari Proyek Senen",sahut Rastak, penjual di perempatan Salemba Raya. Palsu atau tidak, adanya adanya pasar yang berkeliaran ini telah memberi lapangan kerja bagi sejumlah besar anak-anak melarat. Thamrin membeli barang dagangan chiclet dari Pasar Tanah Abang dan gang Ribal. Cukup dengan modal Rp 575, mereka sudah mendapatkan satu pak berisi 20 kotak.Dari tiap pak ini mereka sudah mengantongi keuntungan Rp 425. Sehari-harian," apalagi kalau panas dan ramai, bisa laku 3 pak",ucap seorang penjaja di Jalan Thamrin. Di Proyek Senen lantai III ada 40 kios yang menjual perme. Rata-rata seharinya kios-kios disini menjual 40 karton -- berisi 30 pak -- kepada anak-anak tadi. Dari tiap karton anak-anak menngaruk keuntungan sekitar Rp. 4500, karena mereka membeli dari gang Ribal hanya dengan harga Rp. 1.675 per karton "Itupun dengan kredit", kata seorang pemilik kios di Senen. Gang Ribal kabarnya memang pusat bursa barang-barang makanan dan minuman dalam kaleng, impor maupun buatan dalam negeri. Chiclet itu sendiri disebut sebagai buatan Taiwan. Mendorong Mobil Anak-anak penjaja itu tersebar hampir di setiap perempatan jalan di seluruh kawasan Ibukota. Usia mereka antara 14 sampai 18 tahun. Umumnya datang dari Kuningan, Jawa Barat. "Kami rata-rata berasal dari Kuningan", ucap anak-anak di perempatan Jalan Pramuka. Bahkan tidak hanya menjual chiclet, anak-anak Kuningan itu juga menyebar di jalan-jalan Jakarta sebagai penyemir dan pengesol sepatu yang menggendong tokonya ke sana ke mari. "Sulit cari kerjaan di kampung", tutur Rastak. Datang ke Jakarta bukan hanya sekedar mengadu nasib, tapi "juga ingin melihat-lihat kota Jakarta". Para pengendara mobil maupun motor ada yang jengkel ketika ditawari penjual-penjual chiclet itu. Tak kurang pula yang langsung membeli untuk mengurangi rasa haus dan mengusir kantuk selama di atas kendaraan. Tapi para penggemar makanan kecil -- yang konon tak akan habis-habisnya sampai mulut merasa lelah mengunyahnya ada pula yang ragu. "Kok warnanya lain", tanya seorang pengemudi. Tanpa ragu si penjual pun menjawab: "Kan terjemur matahari terus, pak". Tak kurang penting dari itu, selama jalan-jalan di Ibukota tergenang air dalam musim penghujan baru lalu, adalah anak-anak penjual chiclet itu pula yang dengan cekatan mendorong mobil-mobil mogok terendam air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus