MUSIK kini tak hanya Do-Re-Mi. Angka-angka lagu dengan segera
bisa menjelma angka-angka jutaan rupiah. Para penyanyi seperti
Koes Plus dan Oma Irama (lihat: Tamu Kita) tinggal di rumah
mentereng seperti para bintang film kelas tinggi. Dan di atas
mereka para pengusaha kaset. Mereka ini, seperti halnya orang
Indonesia yang kaya, tak mau menyatakan berapa sebenarnya besar
uang masuk. Tapi lihatlah bagaimana barang produksi mereka
diiklankan. Hampir tiap jam, pemancar radio meneriakkan --
dengan banyak bumbu dan bombasme -- nama-nama seperti Remaco
(baca: Re-ma-ko) dan Yukawi. Di siaran TVRI, gelombang iklan itu
juga tak ketinggalan: Terkadang dengan terus-terang sebagai
iklan, terkadang -- terutama tahun-tahun lalu secara separuh
tersembunyi dalam siaran musik.
Di harian-harian ibukota belakangan ini teriakan adpertensi
mereka menyambar-nyambar juga. Paling seru ialah iklan
bantah-membantah: P.T. Remaco membantah iklan pernyataan
penyanyi Oma Irama, lalu Oma Irama dengan P.T. Yukawi balik
membantah Remaco. Dengan ukuran sampai 18,5 x 20 senti (silakan
hitung sendiri biaya pemuatannya), iklan-iklan segajah yang
bertengkar itu bisa memuat kata-kata yang mungkin paling tajam
dalam sejarah di Indonesia. "H. OMA IRAMA telah mau menerima
uangnya tetapi tidak mau melaksanakan pekerjaannya", begitu
tonjokan iklan Remaco. Dan pihak Yukawi & Oma Irama pun
membalas, sementara sekaligus, tanpa canggung-canggung, di bawah
tandatangan pengacara mereka tercantum promosi lagu-lagu.
Bagi para peminat musik umumnya, iklan begituan barangkali bisa
menambah gairah untuk membeli kaset demi kaset baru. Atau
mungkin juga terasa lebih bising ketimbang radio tetangga yang
lagi asyik orkes madun. Atau membingungkan saja. Tapi jelas:
perdagangan musik, lewat kaset, sedang bertempur. Di balik
pertempuran itu yang jadi soal tentulah bukan perkara, misalnya,
gaya dang-dut melawan gaya underground. Melainkan soal rejeki.
Tak menakjubkan sangat. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu,
setelah perusahaan multinasional Philips memasarkan pita kaset
yang mungil dan murah pasaran buat barang hiburan itu meluas
cepat. Apalagi di negeri ini, di mana alat pemutar piringan
hitam atau phonograf tak mudah terjangkau harganya oleh
kebanyakan orang. Remaco, sebagai contoh, meskipun sebuah
perusahaan piringan hitam, kini praktis hidup dari kaset. Kata
Ferry Iroth dari perusahaan ini: "Sekarang piringan hitam hanya
dicetak buat konsumsi radio non-RRI -- dan itupun kalau ada
pesanan lewat agen". Perbandingan produksi piringan dengan kaset
adalah 100: 10.000.
Bahkan tak cuma piringan hitam: di desa-desa Jawa Tengah pun
para dalang kena saingan "perusahaan" penyewaan kaset yang
merekam pertunjukan wayang. Kaset-kaset ini bisa diputar buat
acara senang-senang, dan tentu saja jauh lebih murah dibanding
dengan menyewa dalang serta para pengiringnya. Di Jawa Barat,
kaset berhasil menyebar-luaskan peminat mamaos, lagu Cianjuran
yang mudah tapi dianggap bukan main-main itu -- meski pun
pempopuleran itu kadang dituduh merendahkan mutu. Entahlah
sejauh mana tuduhan itu bukan karena sikap sok "meninggi".
Sedikitnya, kaset sebagai usaha dagang (dan berbau uang) memang
sering merendahkan cita-cita luhur musik, beberapa derajat. Para
penyanyi atau pencipta gending yang tadinya berangkat
berseni-seni dengan sejenis semangat "suci", kini mulai peduli
dengan perkara pembagian uang -- demi hak cipta dan sebagainya.
Ibu Saodah, pencipta lagu Cianjuran yang disegani, pernah
menegur Trio Bimbo yang menyanyikan ciptaannya tanpa ijin dan
tanpa imbalan. Caranya gaya Cianjuran juga halus: dengan
mengirim surat ucapan terimakasih. Para Bimbo segera rumasa.
Tanpa tunggu lagi mengirim uang imbalan hingga terobati juga
hati orang tua itu.
Bila alam musik tradisionil yang semula tenang pun kini mulai
gonjang-ganjing dibelit kaset, apalagi alam musik yang
dinyanyikan para muda berambut gondrong bergitar listrik dan
bercelana cutbrai itu. Meskipun mereka bisa dibayar sampai
angka-angka dengan enam nol dalam suatu pertunjukan, tapi
pembayar mereka terbesar adalah para pembeli kaset di seluruh
Indonesia. Konsumen di pasaran itulah akhirnya yarg memberi
tepuk-tangan. Juga mereka suporter para pedagang kaset.
Di Jakarta saja ada diperkirakan 400 usaha perekaman menurut
Nurdin Purnomo, wakil ketua Asosiasi Perekam Nasional Indonesia
(APNI). Organisasi ini bermula sebagai semacam pengeras suara
kepentingan para usahawan rekaman ukuran kecil dan sedang, dalam
menghadapi gerak-gerik perusahaan rekaman yang besar-besar. Dan
APNI ini memang sampai kini bisa bertahan, dengan jalur
distribusi yang lumayan kuat, dalam menghadapi Remaco dan
Yukawi. Remaco, yang dalaun iklannya menyatakan sebagai
perusahaan piringan hitam dan kaset yang "terbesar di Indonesia
dan mempunyai lima studio", berumur 11 tahun. Usahanya merekam
kaset ternyata tidak dilakukannya sendirian, tapi dibantu oleh
lima dealer (agen) di Pasar Glodok, Jakarta. Sebuah lagu di
studio dituangkan ke apa yang dinamakan master cassette (kaset
utama) lalu diteruskan ke unit-unit perekam. Hasil yang berasal
dari sini --ak seratus persen akurat -- dialirkan ke Palembang
Semarang, Denpasar dan Surabaya. Remaco menjual jenis lagu pop,
dang-dut, keroncong, kasidahan, pembacaan Quran, dan tak
berhasrat merekam musik rakyat macam tarling, atau dongeng atau
pelajaran bahasa Inggeris. "Biarlah perekam-perekam kecil itu
kami beri nafas", ujar Ferry, dengan nada murah hati.
Tak semua pihak setuju bahwa Remaco bermaksud memberi nafas
kepada orang lain. Bulan April tahun lalu, misalnya, Remaco
menyatakan dirinya sebagai agen tunggal dari 14 label piringan
hitam luarnegeri yang meliputi 204 grup musik dan penyanyi yang
piringan hitamnya beredar di pasaran. Status ini, menurut Remaco
menyebabkan pihak-pihak yang ingin merekam lagu-lagu itu ke
dalam kaset harus mendapat ijin dari Remaco. Tentunya akan
berarti pula pembayaran. Kehendak Remaco memang bisa difahami:
buat apa dia susah-susah jadi agen piringan hitam, kalau
pengoperan lagu Barat ke dalam kaset sampai kini hanya persoalan
teknis belaka artinya tanpa ijin-iJinan, tanpa bayar ganti ugi?
"Pembajakan" macam itu memang memukul pasaran piringan hitam
yang memang perlu alat yang lebih mahal itu, dalam pasaran dalam
negeri. Padahal di luar negeri harga kaset yang hanya berisi
satu long play (kira-kira 30 menit bolak-balik) persis sama
dengan harga piringannya. Mungkin karena di sana si penjual
kaset pun harus membayar royalti kepada si pemegang hak cipta
lagu. Di sini, tanpa bayar ini-itu kecuali biaya teknis dan
bahan, kaset lagu Barat hasil rekaman dalam negeri bisa dijual
lebih murah -- dan perekam bisa laba lumayan pula.
Dari segi kepentingan konsumen, perkara harga jadi murah itu
memang bisa disambut dengan "alhamdu]ilah" . Bagi para penyanyi
luar negeri sendiri, mereka tentu tak mau repot mengejar
pembajak hak cipta mereka ke negeri miskin jauh di katulistiwa
ini -- lagi pula mereka di Amerika atau Eropa 'kan sudah kaya.
Bahkan para penyanyi dalam negeri -- yang p.h.-nya direkam jadi
kaset lalu dijual -- juga tak acuh. Toh mereka sudah dibayar
oleh perusahaan piringan hitam sekaligus. Lagi pula susah
mengontrol. Tapi bagi Remaco, "pembajakan" itu merepotkan
labanya. Maka Remaco pun mencoba menggertak. Dulu pernah
misalnya, di tahun 1970, Remaco berhasil menggerakkan polisi
untuk menggerebeg toko-toko yang merekam dan menjual kaset
dengan tuduhan "membajak", dan menyeret para pedagang itu ke
pengadilan yang berjalan sampai setahun lebih (TEMPO, 26 Juni
1971, laporan utama: "Menyusuri Djedjak Pembadjak"). Waktu itu
para pedagang kaset itu jadi keder jua. Tapi kini mereka lebih
sanggup bersuara beringas. "Itu tindakan tolol yang akan
merugikan rakyat banyak", kata Nurdin Purnomo dari Asosiasi
Perekam. Alasannya: devisa akan mengalir ke luar negeri. Mungkin
Nurdin berpendapat bahwa dengan begitu yang akan beruntung,
selain Remaco, ialah perusahaan di luar negeri yang punya
hubungan dengan Remaco. Alasan lain: harga kaset akan jadi mahal
-- suatu dugaan yang barangkali bisa benar.
Yang jelas, alasan para perekam yang terutama ialah: tindakan
Remaco itu akan mengurangi pembagian keuntungan dari bisnis
kaset. Soerjoko dari usaha rekaman Aquarius Perina, misalnya,
menganggap bahwa Remaco "serakah". "Kok dia maunya monopoli
segala", kata Soerjoko. Anak muda ini juga memperhitungkan, bila
niat Remaco terlaksana, berarti biaya produksi naik lantaran
perekam harus membayar ijin guna dapat hak merekam. Harga kaset
akibatnya akan melonjak sampai Rp 2.000.
Jika betul, itu memang harga yang rada luar biasa. Pada masa ini
di daerah Glodok, Jakata, pusat toko-toko elektronika, masih
bisa dijumpai kaset berisi recaman (disingkat "kaset isi") yang
berharga Rp 600. Kaset "isi" dengan rekaman lagu-lagu Barat yang
dianggap baik mutunya -- berasal dari perusahaan dalam negeri
--paling-paling Rp 200 lebih mahal. Sedangkan rekaman lagu-lagu
pop Indonesia, misalnya Koes Plus atau Trio Bimbo, berharga Rp
700 sampai dengan Rp 750. Harga ini tidak bergerak naik sejak
lima tahun yang lalu. Mengapa? Mungkin karena mutu rekaman
lagu-lagu Indonesia itu dianggap masih kurang sip, meskipun
jumlah lakunya lebih banyak ketimbang kaset "isi" -- lagu Barat.
Atau mungkin pabrik rekaman sengaja menekan harganya, dengan
jumlah produksi yang lebih besar karena pasar yang lebih
gampang, meskipun mutu rekamannya sedang-sedang saja. Juga
karena pita kaset yang dipergunakan adalah pita yang berasal
dari perusahaan pita kaset dalam negefi, yang harga "kosong"-nya
murah. Kaset-kaset ini bermerk Master. Pabriknya di tapal batas
Cengkareng -- antara Jakarta dengan Tangerang. Dengan tenaga
buruh 200 orang, setiap bulan diproduksikan 100.000 buah dari
sini. Kaset yang kebanyakan tipe C.60 ini masuk ke Jakarta lewat
agennya di Glodok, dengan harga kosong Rp 155. Sementara itu
lagu-lagu Barat direkam dengan memakai pita Maxwell, buatan
Surabaya, yang harga kosongnya di Glodok sampai Rp 310, meskipun
diakui mutunya lebih baik.
Dan kalau anda masih kepingin yang lebih-murah lagi, pergilah ke
penjual kaset bekas -- asal anda tak merasa minder untuk
berhemat. Di sini harga bisa mencapai Rp 400, sementara
penjualnya yang di kaki lima itu bisa dapat untung lumayan.
Setidaknya anda dapat ketemu dengan kenyataan, bahwa bisnis
perkasetan ini menyentuh juga para pedagang kecil -- yang tak
ikut berperang sekitar soal hak cipta dan sebagainya.
Sebab yang bergelut tentu saja 9 para pengusaha yang besar atau
hampir besar. Remaco dikabarkan telah menyatakan, bahwa ia punya
persetujuan jadi agen distribusi dengan perusahaan EMI di
Singapura, yang mengedarkan piringan-piringan hitam pelbagai
merk. Dan Remaco dikabarkan juga akan mengambil tindakan tegas
terhadap siapa saja yang membajak lagu Barat dari cap pabrik
piringan hitam Columbia, Parlophone, HMV, Harvest, Purple dan
Regal (kemudian direncanakan untuk ditambahkan: Tamla Motown,
Asylum dan BBC/Dunhill -- nama-nama yang memang rada aneh, tapi
nyata). Bahkan Remaco memakai sebuah surat yang berasal dari
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Surat bernomor panjang B.
5045/C.1.1./9/75 itu, meskipun tanpa kop surat resmi Kejaksaan
Agung, rupanya jadi pegangan Remaco buat minta bantuan polisi
untuk melakukan penggerebegan di daerah-daerah. Di antara daerah
yang toko-toko penjual kasetnya kena razzia ialah Menado,
Palembang dan Surabaya, juga Pontianak. Nurdin Purnomo dari APNI
tentu saja marah, karena langganan-langganannya kena grebeg --
dan keuntungan dia juga terancam. Tindakan Remaco itu "ngoboi",
katanya. Usahanya, Infonic, di toko kecil di Glodok, pernah
dirazzia dua kali, Agustus dan September tahun lalu.
Kaset-kasetnya disita, tanpa ada perkara.
Sampai sejauh manakah sebetulnya Remaco berhak bertindak? Surat
dari Kejaksaan Agung di atas memang menyebutkan bahwa beberapa
perusahaan rekaman telah memproduksi piringan hitam dan kaset
serta memperdagangkannya ke seluruh Indonesia, dengan
menggunakan label Remaco, dari rekaman yang berasal dari 14
label yang sudah didaftarkan di Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan, tanggal 29 Juli 1975, No. 2271. Tapi pihak
Kejaksaan Agung sendiri secara resmi tidak pernah tegas-tegas
menyatakan bahwa Remaco berhak memonopoli perekaman kaset
lagu-lagu Barat itu. Bahkan Kejaksaan Agung, lewat Jaksa Agung
Muda Sidang Intel Soebari Soemosoebroto SH, pernah mencegah
Remaco menempelkan di setiap kasetnya surat No. B. 618/B.2/G/75
dari Kejaksaan Agung yang berisi persetujuan Kejaksaan Agung
atas peredaran p.h. dan kaset lagu Barat. Agaknya supaya tak ada
kesan bahwa Kejaksaan Agung mengakui "hak tunggal" Remaco --
satu hal yang memang di luar kompetensi lembaga itu. Tentang
beberapa razzia yang dilakukan polisi atas permintaan Remaco,
Kepala Humas Kejaksaan Agung menyatakan "kurang bisa
membenarkan". Pendeknya, Remaco tidak dideking oleh kantornya
Ali Said SH.
Tapi Remaco memang layak mengeluh. H.M. Dharto Wahab SH -- suami
penyanyi kasidah Rafigah yang tenar itu, bekas wartawan Duta
Masyarakat, harian partai NU dulu -- yang menjadi pengacara
Remaco dalam soal keagenan tunggal, menyatakan: Remaco dalam
kontrak-kontraknya dengan luar negeri harus membayar apa yang
disebutnya "20 persen PBRD" (Pajak atas Bunga Dan Royalti).
Seraya menuduh bahwa pihak di luar Remaco melakukan "pembajakan"
karena merekam lagu-lagu piringan hitam yang labelnya diageni
Remaco, Dharto Wahab juga menanya: kalau pihak lain itu ingin
merekam apakah tidak lebih baik mengadakan kontrak sendiri
dengan pihak luar negeri? Kalau tidak, Dharto memperingatkan,
Remaco akan melakukan pengaduan dan tuntutan berdasarkan hukum.
Terhadap ini Nurdin dari APNI menyatakan: "Kalau Remaco tetap
ngotot....sebenarnya hanya EMI di Singapura-lah yang berhak
menuntut itupun dengan syarat bahwa Indonesia telah
menandatangani Konvensi Paris 1973 (tentang hak cipta)". Untuk
meredakan ketegangan, menurut Nurdin APNI pernah mengadakan
perundingan dengan Remaco. Label-label yang telah terlanjur
dibeli Remaco akan dibeli APNI dengan harga Rp 2,4 juta. Tapi
gagal: Remaco konon minta Rp 40 juta. Dan Remaco pun meneruskan
klaimnya -- suatu hal yang pernah dicoba lakukan Yukawi, awal
April 1975, tapi macet. Soal "Hak tunggal" masih belum pasti.
Benar atau tidak, perkara yang berkepanjangan sejak lima tahun
yang lalu ini memang perlu keputusan wasit yang tak memihak:
pengadilan yang jujur tentu saja. Dan nampaknya di ruang
pengadaan para hakim sebentar lagi harus berurusan dengan
nama-nama penyanyi, lagu, dan judul-judul piringan hitam atau
kaset -- suka atau tak suka mereka kepada musik. Soalnya perang
sekitar kaset ini sudah merembet, tidak lagi perkara
"pembajakan", tapi mungkin juga perkara "pembujukan".
Tuntut-menuntut antara Yukawi dengan Remaco karena rebutan
penyanyi Oma Irama dan Elvy Sukaesih misalnya masih gencar
(lihat Hukum). Belum tahu pasti kita siapa yang terbujuk siapa,
pihak mana yang mengkhianati pihak mana.
Yang tampak terang ialah bahwa rupanya bisnis di balik musik
itu lagi memerlukan urat syaraf yang kuat kini. Setidak-tidaknya
kekuatan supaya tidak malu, karena telah membikin semacam polusi
di kuping dan di mata demi buat duwit dan sekaligus menarik
perhatian. Siapa tahu bahwa segera setelah persaingan antara
Yukawi dengan Remaco yang seperti dibuat-buat dan
dilebah-lebihkan itu turun nadanya, akan timbul
pergulatan-pergulatan baru. 'Kan pasaran di Indonesia -- Insya
Allah-akan tetap ramai dan tambah ramai?
Mungkin dengan mengharapkan tambah ramainya pasaran, bulan Maret
ini di Jakarta sebuah perusahaan rekaman baru mulai membanggakan
peralatannya. Perusahaan itu adalah P.T. Tri Angkasa, yang
General Managernya adalah Marzuki Arifin, dulu pemimpin redaksi
majalah Ekspres yang sudah tak terbit lagi itu. Ia
mempermaklumkan sedang mendatangkan mesin tipe yang dipergunakan
oleh perusahaan rekaman luar negeri, bermerk Otari, dari Jepang.
"Berikut bea masuk, untuk unit Otari ini saya menginvestasikan
uang sebesar AS $ 150.000", kata Marzuki. Ia juga menyatakan
akan mengandalkan sarana studio rekamannya, yang dilayani 24
track -- yang menurut keterangannya hanya ada dua di Asia.
Dengan Remaco, Yukawi bahkan dengan Perina, Marzuki telah
mengadakan pembicaraan untuk memperoleh sebagian order rekaman
kaset perusahaan-perusahaan ini. Marzuki optimis bahwa 10 persen
dari rekaman kaset Indonesia akan dilayani oleh mesin Otari yang
diandalkannya itu. Satu jamnya bisa diproduksikan 6000 kaset.
Sampai sejauh mana teknologi merupakan kebutuhan, masih harus
dilihat. Seorang ahli elektronika Indonesia punya pendapat yang
menarik. Soetikno Buchari yang sehari-hari bekerja sebagai
Manager Umum Kimia Farma, tapi populer di kalangan remaja
peminat elektronika sebagai "Kak Tik" di TVRI, berkata: "Mutu
rekaman kaset lagu di Indonesia bagus, apalagi dibanding dengan
lima tahun yang lalu". Dan ia menambahkan: "Hati-hatilah membeli
kaset luar negeri". Mengapa? Perusahaan rekaman kaset luar
negeri biasanya menggunakan unit rekaman yang sanggup
memperpendek waktu rekaman. Juga yang sanggup menghasilkan kaset
banyak-banyak. "Tapi untuk memasukkan tinggi rendahnya
nada-nada, mesin ini kurang cermat", kata Kak Tik. Sebab,
menurut dia, mesin jenis itu hanya bisa melayani frekwensi nada
yang bergerak antara 30 sampai dengan 10.000 Hz. Maka suara
getaran tali biola, yang rata-rata di atas 10.000 Hz, bisa tidak
tertangkap dengan cermat. Kesimpulan Kak Tik, "justru rekaman
kampungan itulah yang baik". Sebab, "setiap nada yang disadap
dari master cassette itu akan dengan cermat ditampung dalam pita
kaset". Meskipun, tentu saja sebagaimana hasil teknologi
"kampungan", walaupun hasilnya bagus, waktu produksinya lebih
lama: 60 menit, dibandingkan dengan 3 menit rekaman yang
mempergunakan unit perekam yang "ultra-modern".
Tapi siapa tahu di pasaran nanti orang asal beli saja -- tak
butuh yang cermat? Sebaliknya, siapa tahu bahwa orang akan
menghargai kwalitas -- dan sekaligus mempertahankan
perusahaan-perusahaan kecil yang sanggup menjaga mutu?
Terpusatnya usaha rekaman ke perusahaan-perusahaan besar seperti
selama ini memang tidak dengan sendirinya menghasilkan suatu
kehidupan musik yang sehat. Baik Remaco yang sudah 11 tahun
ataupun Yukawi yang didirikan empat tahun yang lalu dengan modal
Rp 175 juta, nampaknya terbatas kehendaknya untuk mencari yang
baru dalam penciptaan -- dan perdagangan -- musik Indonesia.
Mereka kelihatan sangat ditentukan permintaan pasar
sewaktu-waktu. Yang memonitor kehendak konsumen terbesar ialah
para dealer alias agen-agen mereka, yang hubungannya dengan
pasar memang erat, hari demi hari. Bagaimana pesanan dealer,
itulah musik yang mereka sodorkan. Dalam hal ini posisi
perusahaan rekaman itu tak jauh berbeda dengan posisi perusahaan
film nasional kita kini (yang lagi miring). Dan sebagaimana
perusahaan film kita, dari perusahaan-perusahaan rekaman lagu
Indonesia itu yang diberi kesempatan muncul hanya corak-corak
penghibur tertentu. Tentu saja ini keinginan mayoritas, dan
orang dagang umumnya memang demokratis dalam melayani konsumen.
Tapi selama acara pilihan perdengar di radio bisa mereka arahkan
untuk iklan, begitu pula acara musik di televisi sangat
tergantung akan hasil rekaman mereka yang mau dilempar ke pasar,
selama itu pula banyak musisi Indonesia yang sulit mencari jalan
untuk berkreasi supaya didengar. Perusahaan-perusahaan rekaman
besar di satu pihak tergantung kepada konsumen terbesar, tapi di
lain pihak bisa mendikte selera publik -- apalagi jika tak ingin
mengambil risiko dengan variasi baru.
Dalam hal beginilah usaha perekaman dn pemasaran lain
diperlukan. Cukup ada musisi Indonesia yang menyadari ini. Di
antaranya adalah grup musik "Barong", yang tahun lalu main di
TIM. Mereka mencetak kaset denga menyewa studio dan dengan biaya
dengkul sendiri. Ada harapan mereka tak akan lagi dipaksa untuk
menghidangkan lagu-lagu hasil selera perusahaan yang membiayai
mereka, yang biasanya hanya punya spekulasi dagang -- tanpa
hirau bahwa musik juga bisa menentukan dan mengubah arah selera
kalau saja diberi kesempatan. Agaknya dengan tekad yang sama,
muncul usaha di landung. Usaha perekaman yang akhir-akhir ini
terbit di sini kelihatannya memberi peluang kepada musisi yang
ingin menyuguhkan musik yang tidak berukuran
"laris-artinya-baik". Sudah keluar dari usaha ini misalnya
rekaman label "Hidayat", yang mengetengahkan biduanita Rien
Djamain (Api Asmara) dan Margie Segers (Semua Bisa Hilang),
dengan iringan Jack Lesmana Combo. Ini adalah percobaan
menampilkan lagu-lagu Indonesia dalam irama jazz yang manis --
walaupun yang suka begini memang masih sedikit, termasuk yang
cuma "sok nyeni". Betapapun, Jack Lesmana dan Bill Firmansyah
belum merasa puas akan sumbangan mereka yang idak asal ikut
angin. Musik memang memerlukan cinta lain selain cinta duwit,
begitulah mulanya. Atau sedikit rasa nekad. Maka perlu
disebutkan misalnya kaset Remmy Sylado Company, dengan label
"Gemini Record", yang memuat lagu-lagu Remmy Sylado dalam
iramafolk rock.
Agaknya usaha-usaha terbatas ini termasuk perang juga -- perang
gerilya terhadap kekuasaan para dealer yang do-re-mi-nya hanya
lembar rupiah. Sebagaimana perang gerilya lain, usaha ini
mungkin kini tampak kepepet. Asal tahan berpanjang semangat
kepepet sepuluh tahun pun tak apalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini