Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dan remaco dituduh "serakah" ... awas: perang kaset! dan remaco dituduh "serakah"...

Pengusaha kaset remaco dituduh serakah karena dengan surat dari kejaksaan agung ri dan bantuan polisi dapat menggerebek pembajak lagu-lagu dengan merk monopolinya sampai ke daerah. (ms)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK kini tak hanya Do-Re-Mi. Angka-angka lagu dengan segera bisa menjelma angka-angka jutaan rupiah. Para penyanyi seperti Koes Plus dan Oma Irama (lihat: Tamu Kita) tinggal di rumah mentereng seperti para bintang film kelas tinggi. Dan di atas mereka para pengusaha kaset. Mereka ini, seperti halnya orang Indonesia yang kaya, tak mau menyatakan berapa sebenarnya besar uang masuk. Tapi lihatlah bagaimana barang produksi mereka diiklankan. Hampir tiap jam, pemancar radio meneriakkan -- dengan banyak bumbu dan bombasme -- nama-nama seperti Remaco (baca: Re-ma-ko) dan Yukawi. Di siaran TVRI, gelombang iklan itu juga tak ketinggalan: Terkadang dengan terus-terang sebagai iklan, terkadang -- terutama tahun-tahun lalu secara separuh tersembunyi dalam siaran musik. Di harian-harian ibukota belakangan ini teriakan adpertensi mereka menyambar-nyambar juga. Paling seru ialah iklan bantah-membantah: P.T. Remaco membantah iklan pernyataan penyanyi Oma Irama, lalu Oma Irama dengan P.T. Yukawi balik membantah Remaco. Dengan ukuran sampai 18,5 x 20 senti (silakan hitung sendiri biaya pemuatannya), iklan-iklan segajah yang bertengkar itu bisa memuat kata-kata yang mungkin paling tajam dalam sejarah di Indonesia. "H. OMA IRAMA telah mau menerima uangnya tetapi tidak mau melaksanakan pekerjaannya", begitu tonjokan iklan Remaco. Dan pihak Yukawi & Oma Irama pun membalas, sementara sekaligus, tanpa canggung-canggung, di bawah tandatangan pengacara mereka tercantum promosi lagu-lagu. Bagi para peminat musik umumnya, iklan begituan barangkali bisa menambah gairah untuk membeli kaset demi kaset baru. Atau mungkin juga terasa lebih bising ketimbang radio tetangga yang lagi asyik orkes madun. Atau membingungkan saja. Tapi jelas: perdagangan musik, lewat kaset, sedang bertempur. Di balik pertempuran itu yang jadi soal tentulah bukan perkara, misalnya, gaya dang-dut melawan gaya underground. Melainkan soal rejeki. Tak menakjubkan sangat. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, setelah perusahaan multinasional Philips memasarkan pita kaset yang mungil dan murah pasaran buat barang hiburan itu meluas cepat. Apalagi di negeri ini, di mana alat pemutar piringan hitam atau phonograf tak mudah terjangkau harganya oleh kebanyakan orang. Remaco, sebagai contoh, meskipun sebuah perusahaan piringan hitam, kini praktis hidup dari kaset. Kata Ferry Iroth dari perusahaan ini: "Sekarang piringan hitam hanya dicetak buat konsumsi radio non-RRI -- dan itupun kalau ada pesanan lewat agen". Perbandingan produksi piringan dengan kaset adalah 100: 10.000. Bahkan tak cuma piringan hitam: di desa-desa Jawa Tengah pun para dalang kena saingan "perusahaan" penyewaan kaset yang merekam pertunjukan wayang. Kaset-kaset ini bisa diputar buat acara senang-senang, dan tentu saja jauh lebih murah dibanding dengan menyewa dalang serta para pengiringnya. Di Jawa Barat, kaset berhasil menyebar-luaskan peminat mamaos, lagu Cianjuran yang mudah tapi dianggap bukan main-main itu -- meski pun pempopuleran itu kadang dituduh merendahkan mutu. Entahlah sejauh mana tuduhan itu bukan karena sikap sok "meninggi". Sedikitnya, kaset sebagai usaha dagang (dan berbau uang) memang sering merendahkan cita-cita luhur musik, beberapa derajat. Para penyanyi atau pencipta gending yang tadinya berangkat berseni-seni dengan sejenis semangat "suci", kini mulai peduli dengan perkara pembagian uang -- demi hak cipta dan sebagainya. Ibu Saodah, pencipta lagu Cianjuran yang disegani, pernah menegur Trio Bimbo yang menyanyikan ciptaannya tanpa ijin dan tanpa imbalan. Caranya gaya Cianjuran juga halus: dengan mengirim surat ucapan terimakasih. Para Bimbo segera rumasa. Tanpa tunggu lagi mengirim uang imbalan hingga terobati juga hati orang tua itu. Bila alam musik tradisionil yang semula tenang pun kini mulai gonjang-ganjing dibelit kaset, apalagi alam musik yang dinyanyikan para muda berambut gondrong bergitar listrik dan bercelana cutbrai itu. Meskipun mereka bisa dibayar sampai angka-angka dengan enam nol dalam suatu pertunjukan, tapi pembayar mereka terbesar adalah para pembeli kaset di seluruh Indonesia. Konsumen di pasaran itulah akhirnya yarg memberi tepuk-tangan. Juga mereka suporter para pedagang kaset. Di Jakarta saja ada diperkirakan 400 usaha perekaman menurut Nurdin Purnomo, wakil ketua Asosiasi Perekam Nasional Indonesia (APNI). Organisasi ini bermula sebagai semacam pengeras suara kepentingan para usahawan rekaman ukuran kecil dan sedang, dalam menghadapi gerak-gerik perusahaan rekaman yang besar-besar. Dan APNI ini memang sampai kini bisa bertahan, dengan jalur distribusi yang lumayan kuat, dalam menghadapi Remaco dan Yukawi. Remaco, yang dalaun iklannya menyatakan sebagai perusahaan piringan hitam dan kaset yang "terbesar di Indonesia dan mempunyai lima studio", berumur 11 tahun. Usahanya merekam kaset ternyata tidak dilakukannya sendirian, tapi dibantu oleh lima dealer (agen) di Pasar Glodok, Jakarta. Sebuah lagu di studio dituangkan ke apa yang dinamakan master cassette (kaset utama) lalu diteruskan ke unit-unit perekam. Hasil yang berasal dari sini --ak seratus persen akurat -- dialirkan ke Palembang Semarang, Denpasar dan Surabaya. Remaco menjual jenis lagu pop, dang-dut, keroncong, kasidahan, pembacaan Quran, dan tak berhasrat merekam musik rakyat macam tarling, atau dongeng atau pelajaran bahasa Inggeris. "Biarlah perekam-perekam kecil itu kami beri nafas", ujar Ferry, dengan nada murah hati. Tak semua pihak setuju bahwa Remaco bermaksud memberi nafas kepada orang lain. Bulan April tahun lalu, misalnya, Remaco menyatakan dirinya sebagai agen tunggal dari 14 label piringan hitam luarnegeri yang meliputi 204 grup musik dan penyanyi yang piringan hitamnya beredar di pasaran. Status ini, menurut Remaco menyebabkan pihak-pihak yang ingin merekam lagu-lagu itu ke dalam kaset harus mendapat ijin dari Remaco. Tentunya akan berarti pula pembayaran. Kehendak Remaco memang bisa difahami: buat apa dia susah-susah jadi agen piringan hitam, kalau pengoperan lagu Barat ke dalam kaset sampai kini hanya persoalan teknis belaka artinya tanpa ijin-iJinan, tanpa bayar ganti ugi? "Pembajakan" macam itu memang memukul pasaran piringan hitam yang memang perlu alat yang lebih mahal itu, dalam pasaran dalam negeri. Padahal di luar negeri harga kaset yang hanya berisi satu long play (kira-kira 30 menit bolak-balik) persis sama dengan harga piringannya. Mungkin karena di sana si penjual kaset pun harus membayar royalti kepada si pemegang hak cipta lagu. Di sini, tanpa bayar ini-itu kecuali biaya teknis dan bahan, kaset lagu Barat hasil rekaman dalam negeri bisa dijual lebih murah -- dan perekam bisa laba lumayan pula. Dari segi kepentingan konsumen, perkara harga jadi murah itu memang bisa disambut dengan "alhamdu]ilah" . Bagi para penyanyi luar negeri sendiri, mereka tentu tak mau repot mengejar pembajak hak cipta mereka ke negeri miskin jauh di katulistiwa ini -- lagi pula mereka di Amerika atau Eropa 'kan sudah kaya. Bahkan para penyanyi dalam negeri -- yang p.h.-nya direkam jadi kaset lalu dijual -- juga tak acuh. Toh mereka sudah dibayar oleh perusahaan piringan hitam sekaligus. Lagi pula susah mengontrol. Tapi bagi Remaco, "pembajakan" itu merepotkan labanya. Maka Remaco pun mencoba menggertak. Dulu pernah misalnya, di tahun 1970, Remaco berhasil menggerakkan polisi untuk menggerebeg toko-toko yang merekam dan menjual kaset dengan tuduhan "membajak", dan menyeret para pedagang itu ke pengadilan yang berjalan sampai setahun lebih (TEMPO, 26 Juni 1971, laporan utama: "Menyusuri Djedjak Pembadjak"). Waktu itu para pedagang kaset itu jadi keder jua. Tapi kini mereka lebih sanggup bersuara beringas. "Itu tindakan tolol yang akan merugikan rakyat banyak", kata Nurdin Purnomo dari Asosiasi Perekam. Alasannya: devisa akan mengalir ke luar negeri. Mungkin Nurdin berpendapat bahwa dengan begitu yang akan beruntung, selain Remaco, ialah perusahaan di luar negeri yang punya hubungan dengan Remaco. Alasan lain: harga kaset akan jadi mahal -- suatu dugaan yang barangkali bisa benar. Yang jelas, alasan para perekam yang terutama ialah: tindakan Remaco itu akan mengurangi pembagian keuntungan dari bisnis kaset. Soerjoko dari usaha rekaman Aquarius Perina, misalnya, menganggap bahwa Remaco "serakah". "Kok dia maunya monopoli segala", kata Soerjoko. Anak muda ini juga memperhitungkan, bila niat Remaco terlaksana, berarti biaya produksi naik lantaran perekam harus membayar ijin guna dapat hak merekam. Harga kaset akibatnya akan melonjak sampai Rp 2.000. Jika betul, itu memang harga yang rada luar biasa. Pada masa ini di daerah Glodok, Jakata, pusat toko-toko elektronika, masih bisa dijumpai kaset berisi recaman (disingkat "kaset isi") yang berharga Rp 600. Kaset "isi" dengan rekaman lagu-lagu Barat yang dianggap baik mutunya -- berasal dari perusahaan dalam negeri --paling-paling Rp 200 lebih mahal. Sedangkan rekaman lagu-lagu pop Indonesia, misalnya Koes Plus atau Trio Bimbo, berharga Rp 700 sampai dengan Rp 750. Harga ini tidak bergerak naik sejak lima tahun yang lalu. Mengapa? Mungkin karena mutu rekaman lagu-lagu Indonesia itu dianggap masih kurang sip, meskipun jumlah lakunya lebih banyak ketimbang kaset "isi" -- lagu Barat. Atau mungkin pabrik rekaman sengaja menekan harganya, dengan jumlah produksi yang lebih besar karena pasar yang lebih gampang, meskipun mutu rekamannya sedang-sedang saja. Juga karena pita kaset yang dipergunakan adalah pita yang berasal dari perusahaan pita kaset dalam negefi, yang harga "kosong"-nya murah. Kaset-kaset ini bermerk Master. Pabriknya di tapal batas Cengkareng -- antara Jakarta dengan Tangerang. Dengan tenaga buruh 200 orang, setiap bulan diproduksikan 100.000 buah dari sini. Kaset yang kebanyakan tipe C.60 ini masuk ke Jakarta lewat agennya di Glodok, dengan harga kosong Rp 155. Sementara itu lagu-lagu Barat direkam dengan memakai pita Maxwell, buatan Surabaya, yang harga kosongnya di Glodok sampai Rp 310, meskipun diakui mutunya lebih baik. Dan kalau anda masih kepingin yang lebih-murah lagi, pergilah ke penjual kaset bekas -- asal anda tak merasa minder untuk berhemat. Di sini harga bisa mencapai Rp 400, sementara penjualnya yang di kaki lima itu bisa dapat untung lumayan. Setidaknya anda dapat ketemu dengan kenyataan, bahwa bisnis perkasetan ini menyentuh juga para pedagang kecil -- yang tak ikut berperang sekitar soal hak cipta dan sebagainya. Sebab yang bergelut tentu saja 9 para pengusaha yang besar atau hampir besar. Remaco dikabarkan telah menyatakan, bahwa ia punya persetujuan jadi agen distribusi dengan perusahaan EMI di Singapura, yang mengedarkan piringan-piringan hitam pelbagai merk. Dan Remaco dikabarkan juga akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang membajak lagu Barat dari cap pabrik piringan hitam Columbia, Parlophone, HMV, Harvest, Purple dan Regal (kemudian direncanakan untuk ditambahkan: Tamla Motown, Asylum dan BBC/Dunhill -- nama-nama yang memang rada aneh, tapi nyata). Bahkan Remaco memakai sebuah surat yang berasal dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Surat bernomor panjang B. 5045/C.1.1./9/75 itu, meskipun tanpa kop surat resmi Kejaksaan Agung, rupanya jadi pegangan Remaco buat minta bantuan polisi untuk melakukan penggerebegan di daerah-daerah. Di antara daerah yang toko-toko penjual kasetnya kena razzia ialah Menado, Palembang dan Surabaya, juga Pontianak. Nurdin Purnomo dari APNI tentu saja marah, karena langganan-langganannya kena grebeg -- dan keuntungan dia juga terancam. Tindakan Remaco itu "ngoboi", katanya. Usahanya, Infonic, di toko kecil di Glodok, pernah dirazzia dua kali, Agustus dan September tahun lalu. Kaset-kasetnya disita, tanpa ada perkara. Sampai sejauh manakah sebetulnya Remaco berhak bertindak? Surat dari Kejaksaan Agung di atas memang menyebutkan bahwa beberapa perusahaan rekaman telah memproduksi piringan hitam dan kaset serta memperdagangkannya ke seluruh Indonesia, dengan menggunakan label Remaco, dari rekaman yang berasal dari 14 label yang sudah didaftarkan di Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, tanggal 29 Juli 1975, No. 2271. Tapi pihak Kejaksaan Agung sendiri secara resmi tidak pernah tegas-tegas menyatakan bahwa Remaco berhak memonopoli perekaman kaset lagu-lagu Barat itu. Bahkan Kejaksaan Agung, lewat Jaksa Agung Muda Sidang Intel Soebari Soemosoebroto SH, pernah mencegah Remaco menempelkan di setiap kasetnya surat No. B. 618/B.2/G/75 dari Kejaksaan Agung yang berisi persetujuan Kejaksaan Agung atas peredaran p.h. dan kaset lagu Barat. Agaknya supaya tak ada kesan bahwa Kejaksaan Agung mengakui "hak tunggal" Remaco -- satu hal yang memang di luar kompetensi lembaga itu. Tentang beberapa razzia yang dilakukan polisi atas permintaan Remaco, Kepala Humas Kejaksaan Agung menyatakan "kurang bisa membenarkan". Pendeknya, Remaco tidak dideking oleh kantornya Ali Said SH. Tapi Remaco memang layak mengeluh. H.M. Dharto Wahab SH -- suami penyanyi kasidah Rafigah yang tenar itu, bekas wartawan Duta Masyarakat, harian partai NU dulu -- yang menjadi pengacara Remaco dalam soal keagenan tunggal, menyatakan: Remaco dalam kontrak-kontraknya dengan luar negeri harus membayar apa yang disebutnya "20 persen PBRD" (Pajak atas Bunga Dan Royalti). Seraya menuduh bahwa pihak di luar Remaco melakukan "pembajakan" karena merekam lagu-lagu piringan hitam yang labelnya diageni Remaco, Dharto Wahab juga menanya: kalau pihak lain itu ingin merekam apakah tidak lebih baik mengadakan kontrak sendiri dengan pihak luar negeri? Kalau tidak, Dharto memperingatkan, Remaco akan melakukan pengaduan dan tuntutan berdasarkan hukum. Terhadap ini Nurdin dari APNI menyatakan: "Kalau Remaco tetap ngotot....sebenarnya hanya EMI di Singapura-lah yang berhak menuntut itupun dengan syarat bahwa Indonesia telah menandatangani Konvensi Paris 1973 (tentang hak cipta)". Untuk meredakan ketegangan, menurut Nurdin APNI pernah mengadakan perundingan dengan Remaco. Label-label yang telah terlanjur dibeli Remaco akan dibeli APNI dengan harga Rp 2,4 juta. Tapi gagal: Remaco konon minta Rp 40 juta. Dan Remaco pun meneruskan klaimnya -- suatu hal yang pernah dicoba lakukan Yukawi, awal April 1975, tapi macet. Soal "Hak tunggal" masih belum pasti. Benar atau tidak, perkara yang berkepanjangan sejak lima tahun yang lalu ini memang perlu keputusan wasit yang tak memihak: pengadilan yang jujur tentu saja. Dan nampaknya di ruang pengadaan para hakim sebentar lagi harus berurusan dengan nama-nama penyanyi, lagu, dan judul-judul piringan hitam atau kaset -- suka atau tak suka mereka kepada musik. Soalnya perang sekitar kaset ini sudah merembet, tidak lagi perkara "pembajakan", tapi mungkin juga perkara "pembujukan". Tuntut-menuntut antara Yukawi dengan Remaco karena rebutan penyanyi Oma Irama dan Elvy Sukaesih misalnya masih gencar (lihat Hukum). Belum tahu pasti kita siapa yang terbujuk siapa, pihak mana yang mengkhianati pihak mana. Yang tampak terang ialah bahwa rupanya bisnis di balik musik itu lagi memerlukan urat syaraf yang kuat kini. Setidak-tidaknya kekuatan supaya tidak malu, karena telah membikin semacam polusi di kuping dan di mata demi buat duwit dan sekaligus menarik perhatian. Siapa tahu bahwa segera setelah persaingan antara Yukawi dengan Remaco yang seperti dibuat-buat dan dilebah-lebihkan itu turun nadanya, akan timbul pergulatan-pergulatan baru. 'Kan pasaran di Indonesia -- Insya Allah-akan tetap ramai dan tambah ramai? Mungkin dengan mengharapkan tambah ramainya pasaran, bulan Maret ini di Jakarta sebuah perusahaan rekaman baru mulai membanggakan peralatannya. Perusahaan itu adalah P.T. Tri Angkasa, yang General Managernya adalah Marzuki Arifin, dulu pemimpin redaksi majalah Ekspres yang sudah tak terbit lagi itu. Ia mempermaklumkan sedang mendatangkan mesin tipe yang dipergunakan oleh perusahaan rekaman luar negeri, bermerk Otari, dari Jepang. "Berikut bea masuk, untuk unit Otari ini saya menginvestasikan uang sebesar AS $ 150.000", kata Marzuki. Ia juga menyatakan akan mengandalkan sarana studio rekamannya, yang dilayani 24 track -- yang menurut keterangannya hanya ada dua di Asia. Dengan Remaco, Yukawi bahkan dengan Perina, Marzuki telah mengadakan pembicaraan untuk memperoleh sebagian order rekaman kaset perusahaan-perusahaan ini. Marzuki optimis bahwa 10 persen dari rekaman kaset Indonesia akan dilayani oleh mesin Otari yang diandalkannya itu. Satu jamnya bisa diproduksikan 6000 kaset. Sampai sejauh mana teknologi merupakan kebutuhan, masih harus dilihat. Seorang ahli elektronika Indonesia punya pendapat yang menarik. Soetikno Buchari yang sehari-hari bekerja sebagai Manager Umum Kimia Farma, tapi populer di kalangan remaja peminat elektronika sebagai "Kak Tik" di TVRI, berkata: "Mutu rekaman kaset lagu di Indonesia bagus, apalagi dibanding dengan lima tahun yang lalu". Dan ia menambahkan: "Hati-hatilah membeli kaset luar negeri". Mengapa? Perusahaan rekaman kaset luar negeri biasanya menggunakan unit rekaman yang sanggup memperpendek waktu rekaman. Juga yang sanggup menghasilkan kaset banyak-banyak. "Tapi untuk memasukkan tinggi rendahnya nada-nada, mesin ini kurang cermat", kata Kak Tik. Sebab, menurut dia, mesin jenis itu hanya bisa melayani frekwensi nada yang bergerak antara 30 sampai dengan 10.000 Hz. Maka suara getaran tali biola, yang rata-rata di atas 10.000 Hz, bisa tidak tertangkap dengan cermat. Kesimpulan Kak Tik, "justru rekaman kampungan itulah yang baik". Sebab, "setiap nada yang disadap dari master cassette itu akan dengan cermat ditampung dalam pita kaset". Meskipun, tentu saja sebagaimana hasil teknologi "kampungan", walaupun hasilnya bagus, waktu produksinya lebih lama: 60 menit, dibandingkan dengan 3 menit rekaman yang mempergunakan unit perekam yang "ultra-modern". Tapi siapa tahu di pasaran nanti orang asal beli saja -- tak butuh yang cermat? Sebaliknya, siapa tahu bahwa orang akan menghargai kwalitas -- dan sekaligus mempertahankan perusahaan-perusahaan kecil yang sanggup menjaga mutu? Terpusatnya usaha rekaman ke perusahaan-perusahaan besar seperti selama ini memang tidak dengan sendirinya menghasilkan suatu kehidupan musik yang sehat. Baik Remaco yang sudah 11 tahun ataupun Yukawi yang didirikan empat tahun yang lalu dengan modal Rp 175 juta, nampaknya terbatas kehendaknya untuk mencari yang baru dalam penciptaan -- dan perdagangan -- musik Indonesia. Mereka kelihatan sangat ditentukan permintaan pasar sewaktu-waktu. Yang memonitor kehendak konsumen terbesar ialah para dealer alias agen-agen mereka, yang hubungannya dengan pasar memang erat, hari demi hari. Bagaimana pesanan dealer, itulah musik yang mereka sodorkan. Dalam hal ini posisi perusahaan rekaman itu tak jauh berbeda dengan posisi perusahaan film nasional kita kini (yang lagi miring). Dan sebagaimana perusahaan film kita, dari perusahaan-perusahaan rekaman lagu Indonesia itu yang diberi kesempatan muncul hanya corak-corak penghibur tertentu. Tentu saja ini keinginan mayoritas, dan orang dagang umumnya memang demokratis dalam melayani konsumen. Tapi selama acara pilihan perdengar di radio bisa mereka arahkan untuk iklan, begitu pula acara musik di televisi sangat tergantung akan hasil rekaman mereka yang mau dilempar ke pasar, selama itu pula banyak musisi Indonesia yang sulit mencari jalan untuk berkreasi supaya didengar. Perusahaan-perusahaan rekaman besar di satu pihak tergantung kepada konsumen terbesar, tapi di lain pihak bisa mendikte selera publik -- apalagi jika tak ingin mengambil risiko dengan variasi baru. Dalam hal beginilah usaha perekaman dn pemasaran lain diperlukan. Cukup ada musisi Indonesia yang menyadari ini. Di antaranya adalah grup musik "Barong", yang tahun lalu main di TIM. Mereka mencetak kaset denga menyewa studio dan dengan biaya dengkul sendiri. Ada harapan mereka tak akan lagi dipaksa untuk menghidangkan lagu-lagu hasil selera perusahaan yang membiayai mereka, yang biasanya hanya punya spekulasi dagang -- tanpa hirau bahwa musik juga bisa menentukan dan mengubah arah selera kalau saja diberi kesempatan. Agaknya dengan tekad yang sama, muncul usaha di landung. Usaha perekaman yang akhir-akhir ini terbit di sini kelihatannya memberi peluang kepada musisi yang ingin menyuguhkan musik yang tidak berukuran "laris-artinya-baik". Sudah keluar dari usaha ini misalnya rekaman label "Hidayat", yang mengetengahkan biduanita Rien Djamain (Api Asmara) dan Margie Segers (Semua Bisa Hilang), dengan iringan Jack Lesmana Combo. Ini adalah percobaan menampilkan lagu-lagu Indonesia dalam irama jazz yang manis -- walaupun yang suka begini memang masih sedikit, termasuk yang cuma "sok nyeni". Betapapun, Jack Lesmana dan Bill Firmansyah belum merasa puas akan sumbangan mereka yang idak asal ikut angin. Musik memang memerlukan cinta lain selain cinta duwit, begitulah mulanya. Atau sedikit rasa nekad. Maka perlu disebutkan misalnya kaset Remmy Sylado Company, dengan label "Gemini Record", yang memuat lagu-lagu Remmy Sylado dalam iramafolk rock. Agaknya usaha-usaha terbatas ini termasuk perang juga -- perang gerilya terhadap kekuasaan para dealer yang do-re-mi-nya hanya lembar rupiah. Sebagaimana perang gerilya lain, usaha ini mungkin kini tampak kepepet. Asal tahan berpanjang semangat kepepet sepuluh tahun pun tak apalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus