Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Begadang boleh saja, asal ada...

Rhoma irama lahir tahun 1947. tahun 1968 menyanyi untuk om purnama dan bertemu elvy sukaesih. tahun 1969 diajak rekaman oleh om chandralela, yang membuatnya menanjak. tahun 1976 pecah dari elvy. (tk)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Tuti Burda senang musik. Kalau tak ada pertunjukan, yang selalu hampir tak dilewatkannya, di rumahnya di Tasikmalaya ia tak pernah absen menikmati musik dari radio. Suaminya, seorang perwira pertama TNI AD, lebih suka sandiwara. Bahkan ia memimpin grup kesenian Sunda Lutung Kasarung. Tapi juga suka lagu Cianjuran. Suatu malam, 9 tahun yang lalu, mereka nonton rombongan sandiwara Irama Baru. Pulangnya perut sang nyonya bergejolak. Maklum sudah 9 bulan mengandung. Beberapa jam kemudian lahirlah anaknya yang kedua, lelaki. Mereka sepakat memberinya nama Irama, seperti nama grup yang barusan ditonton. Sejak kecil mendapat julukan Oma, umur 17 tahun anak itu hampir saja meninggal karena sakit perut. Sekarang ia bernama Oma Irama. Siapa yang belum mendengar nama biduan "dangdut" yang terkenal itu? Dari seluruh anak-anak nyonya Tuti Burda (yang suaminya kini sudah almarhum tapi ke-12 anaknya masih utuh), hanya 2 orang yang mewarisi 'darah seni' orang tuanya. Selain Oma Irama adalah Anna Bahfen, anak ke-5, biduanita Orkes Melayu Chandralela. Awal perjalanan karir Oma sendiri dimulai dari iseng-iseng nyanyi di hawah pohon sawo di kampung Bukitduri atau di tepi jalan Tebet Utara. Suaranya lantang. Iringannya cuma gitar dan tepukan tangan atau pukulan bangku kawan-kawannya. Beberapa waktu kemudian ia menyanyi untuk sebuah orkes melayu di kampungnya. Tapi di luar ia bergabung dengan band anak-anak muda Tebet seperti Tornado atau Varia Irama Melody. Itu ketika ia masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMA, 1960. Justru karena begitu getol nyanyi itulah, sekolahnya agak berantakan. Konon juga karena faktor ekonomi yang tak mengizinkan, di SLA ia pernah pindah sekolah sampai 4 kali: negeri, Kristen, bersubsidi. Kuliahnya di Fakultas Sospol Untag pun hanya sempat diikutinya selama setahun. Ia memang pernah punya cita-cita lain. Bahkan almarhum ayahnya dulu pernah menginginkan Oma menjadi dokter. Kini ia sukses sebagai penyanyi. Pernah tertarik lagu-lagu Beatles, ia masuk band The Gay Hand. Ketika itu bahkan ia merasa mampu menirukan gaya penyanyi-penyanyi Barat yang terkenal seperti Paul Anka, Tom Jones atau Andy Williams. Namun kawan-kawannya lebih sering mendorong-dorongnya membawakan lagu-lagu India atau Melayu. Tahun 1968 ia menyanyi untuk Om Purnama. Di sinilah ia bertemu dengan Elvy Sukaesih, pasangan duetnya yang awet sampai tahun kemarin. Melihat kemampuan itu, tahun berikutnya Hussein Bawafie pemimpin OM Chandralela, mengajaknya rekaman. Ia menyanyikan lagu Ingkar Janji. Dua tahun kemudian nasib Oma Irama mulai berubah. Ketika rekamannya Bina Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama dalam deretan lagu-lagu Melayu, sedikit demi sedikit (tapi pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujarnya 2 pekan lewat di rumahnya kawasan Kebonbaru Tebet Timur. Mengaku "rumah ini hadiah dari PT Yukawi", tempat tinggal Oma Irama ini tak begitu jauh dari perumahan pelawak-pelawak Eddy Sud dan Ateng, penyanyi Muchsin-Titiek Sandhora dan pembawa acara Krisbiantoro. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah tak kurang dari 400 meter peregi itu kabarnya berharga sekitar Rp 27 juta. Kecuali kolam yang indah, ada pula ruangan khusus tempat latihan OM Soneta. Juga sebuah garasi yang dihuni sebuah VW kodok biru telur bertuliskan "Dunk Doel" di kaca depannya. Selain peralatan musik lengkap (termasuk piano yang bagus), perabotan rumah tangganya tak bisa disebut murah.ÿ20Nilainya tak kurang dari Rp 5 juta. Rumah itu belum 3 bulan ditinggali, baru diisi seminggu setelah Oma kembali dari naik haji. Ia berangkat ke Tanah Suci bersama ibunya, 6 Nopember 1975 yang lalu. Pulangnya merasa tak perlu menambah nama seperti halnya kebiasaan haji-haji yang lain (kecuali titel H di depan namanya). "Soalnya nama saya sudah terlanjur cukup dikenal orang", katanya. Nyonya Oma, sementara itu sibuk mengerjakan disain dan pelaksanaan pembangunan rumahnya. "Saya tak puas dengan gambar yang diajukan pemborong. Maka saya bikin gambar sendiri, pekerjanya dicarikan oleh kakak Bung Oma", tutur nyonya Oma yang bernama Veronica. Sebegitu jauh, bangunan itu belul juga memuaskan pemiliknya. Bagian atap yang berlantai beton yang selama ini sebagai tempat jemuran, kelak akan disempurnakan menjadi ruangan tingkat dua. Mencari rumah ini tak begitu sulit. Naik becak dari Pasar Tebet atau dari jembatan Kampung Melayu, tak perlu repot menyebut blok atau nomor rumah (yang memang belum ada). Cukup hanya bilang "antarkan ke rumah Oma Irama" -- maka becak akan meluncur langsung ke sebuah rumah mewah dengan marmer abu-abu di kawasan Kebonbaru, di mana kali Caiwung mengalir persis di depannya. Cincin-Cincin Bagus Sebagai penyanyi, perawakan Oma memang pop. Agak kekar, tak terlalu jangkung, tak terlalu pendek. Sebelum naik haji dulu rambutnya gondrong sampai agak di bawah bahu. Sekarang rambutnya agak rapihan sedikit meski masih cukup tebal. Cambangnya saja yang masih dipertahankan. Tak ketinggalan dengan mode anak-anak muda sekarang, celananya pun tentu saja cutbrai, sepatu hak tinggi, hem yang berumbai-rumbai di bagian pergelangan tangan dengan dua kancing terbuka bagian atas. Lehernya berhiaskan kalung, beberapa jari tangannya berlilitkan cincin-cincin bagus. Gelang akar bahar di pergelangan tangan kanan, arloji berantai emas di tangan kiri. Acap tampil begitu (kadang juga di rumah tapi setelah pulang dari Mekah, pernah muncul dengan jubah putih, sorban tersampir di pundak dan tasbih terkalung di leher. Dan dengan beraninya ia nyanyi dengan pakaian "wak haji" begitu di panggung.... Sebagai suami dan ayah (anaknya baru satu, perempuan, bernama Debby Veramasari Irama, 3 tahun) ternyata Oma pun cukup telaten. Sibuk memang, tapi ada saja waktu buat keluarga. Hari-hari libur selalu ia pergunakan untuk rekreasi bersama anak-isteri. Misalnya berenang di Bina Ria, nonton atau hanya jalan-alan menghirup udara segar. Menghadapi suguhan masakan isterinya, ia hampir tak pernah menolak. Biasanya lebih suka daun-daunan segar untuk lalap. Tapi terutama sekali ikan bandeng bakar, apalagi dabu-dabu (sambal Menado). Isterinya memang keturunan Menado campur Belanda, anak sulung dari 9 putera-puteri Adrian Tembuleng dan Flora van Bruijn, keluarga yang juga doyan musik. Adapun Oma, berayah asal Bandu, beribukan asal Banten. Veronica sendiri meski cuma berpendidikan SMP kelas 3 (dan kini 23 tahun) toh sudah pintar main piano, setelah 4 tahun belajar pada Lusy Assaat, anak Mr. Assaat, bekas Pd. Presiden waktu Sukarno-Hatta ditangkap Belanda. Dari isterinya inilah Oma belajar memetik toets-toets instrumen besar itu (dan belajar not balok dari seorang rekan bernama Mansur). Kisah cinta Oma-Veronica agak menarik. Suatu ketika, 6 tahun lalu, kebetulan mereka main di Lampung. Oma nyanyi untuk band Junior, Veronica nyanyi dan main organ untuk band The Beach Girls pimpinan Annie Kusuma. "Selain di panggung, kami juga ketemu di hotel dan ngobrol-ngobrol. Sebelumnya tak saling kenal", tutur Veronica. Tak sampai setahun kemudian, mereka pun menikah dan Veronica mengikuti agama suaminya, Islam. Tentang ini ayah Veronica, pensiunan PN Nurani Farma itu bercerita: "Keluarga Tembuleng itu sebenarnya 60% Islam, 40% Katolik. Ibu saya, yaitu nenek Veronica, malah pernah berpesan agar anak-anak saya diizinkan menikah dengan siapa saja. Jangan ditentukan mesti begini-begitu. Soal agama, yang mana pun toh sama baiknya. Dalam hal agama Katolik, kalau warganya mau nikah dengan orang berlainan agama mesti ada dispensasi dari gereja. Untuk Veronica saya tidak memintakan itu". Tapi benar bahwa ketika melamar dulu Oma memang menghadapi sedikit kesulitan. "Bagaimana mungkin, sebab ketika itu Oma sudah beristeri", tambah Adrian Tembuleng yang sebelum 1966 menjadi care taker pimpinan Kimia Farma Maka Oma pun pulang dengan tangan hampa. Belakangan ibu Oma yang maju, katanya: "Bagaimana kalau Oma sudah cerai?" Maka tak lama kemudian Oma-Veronica pun menghadap penghulu. Cium Tangan Veronica yang cantik, bertubuh subur, berkulit putih bersih itu, tampaknya berusaha betul menyesuaikan diri sebagai seorang muslimah. Ia selalu mengenakan rok panjang, seperti yang juga biasa dipakai oleh gadis-gadis PGA atau madrasah. Tapi tentu saja dari bahan yang jauh lebih bagus dan mahal. Sesaat setiap Oma mau pergi atau pulang, ia selalu mencium tangan suaminya. Begitu pula kalau Veronica kebetulan ada acara keluar, berbelanja misalnya. Dan Oma pun mengulurkan tangan kanannya dengan lembut. Kerukunan yang begitu ideal, ternyata tak mampu menimbulkan rasa cemburu pada Veronica manakala suaminya dipuja-puja oleh para fans yang tentunya tidak hanya terdiri dari cowok-cowok sja. "Saya bisa memaklumi peran seorang penggemar yang memuja penyanyi terkenal. Soal cemburu harus diletakkan secara wajar. Biasa toh, kalau ada fans yang begitu -- asalkan mereka tahu batas saja", ujar Veronica. Tapi biar pun keduanya sama-sama artis, toh tak terlintas sedikit pun impian bahwa kelak anaknya akan menjadi penyanyi pula. "Biarlah saya saja yang jadi tukang ngamen. Tapi anak saya benar-benar jangan sampai jadi penyanyi kata Oma. Meski begitu, ia merasa tak mungkin nyanyi terus sampai tua. "Itu kan hanya impian. Saya sendiri tak tahu, setelah ini mau jadi apa. Soal nanti, itu terserah Tuhan. Toh Tuhan itu maha pengasih", tambahnya. Pecah Dari Elvy Peranan Veronica bagi Oma memang cukup penting. Meskipun tidak selamanya bisa mempengaruhi ciptaan Oma, toh Oma sendiri setelah selesai menulis lagu dan syair, tak jarang minta pertimbangan isterinya yang sampai sekarang masih mencintai dunia musik. Sangat sering mencipta lagu sampai larut malam, Veronica selalu melayani atau menyediakan apa saja yang diperlukan suaminya: alat perekam, kaset, buku, makanan, minuman. Semuanya siap dan lengkap di meja. "Dengan begitu ia tak perlu berteriak minta ini-itu, bisa konsentrasi sepenuhnya", tutur Veronica. Kalau sudah mengarang lagu, ia jadi angker di rumah "jangan coba-coba mendekat" kata isterinya. Menurut Oma, sudah 300 biji lagu ciptaannya. Semuanya berjenis dangdut, temanya diangkat dari kehidupan seharl-hari. "Kalau-tadi malam saya mendapat ilham, paginya saya udah di piano. Atau, pagi dapat ilham, malamnya bikin aransemen", lanjut Oma. Sebulan rata-rata bisa mencipta 4 sampai 5 lagu, tapi adakalanya cuma sebiji saja. Yang paling populer adalah Begadang, tentang lagu ini ada cerita sedikit. Suatu hari mertuanya bilang: "Kalau mencipta lagu jangan terlalu memforsir diri. Kalau bergadang terus begitu, nanti kamu sakit". Maka Oma pun lantas menulis lirik: "Begadang boleh saja, asal ada perlunya. Kalau terlalu banyak begadang, muka pucat karena darah berkurang. Darilah itu sayangi badan, jangan begadang setiap malam....". Ia memang penyanyi yang cepat sukses. Dan sukses pula mengantongi uang. Oleh salah sebuah perusahaan rekarnan ia pernah dibayar Rp 250 ribu untuk 4 lagu. Dulu pembayarannya berdasarkan sistem royalties (prosentase dari hasil penjualan). Sekarang kontrak, honorarium dihitung per lagu -- dan perusahaan PH yang bersangkutan bisa mencetak sebanyak-banyaknya. Kalau Oma main untuk sebuah show, tarifnya begini: 30% dari hasil kotor untuk pertunjukan yang bersifat komersiil, tapi 50% (dari yang 30% itu) kalau untuk amal. Itu bersih untuk Oma dan rombongan. Transpor dan akomodasi -- tanggungan panitia. Dalam hal ini Oma mengaku "uang tak mulak perlu bagi kehidupan saya lebih senang menguasai uang dari pada dikuasai uang". Meskipun begitu, toh pada akhirnya timbul juga rame-rame. Dan pangkal persoalannya tak lain tak bukan soal fulus juga. Sementara sekarang lebih intim dengan perusahaan rekaman Yukawi, ia terlibat konflik-kontrak dengan perusahaan sejenis yang lain, yang sebelumnya pernah merekamnya, Remaco (lihat Hukum: Bersaing Jangan Bersaing, Kalau Tak Ada Gunanya dan Laporan Utama). Maka para fans Oma sekarang boleh berdendang: begadang boleh saJa, asal ada uangnya..... Membuntuti Begadang, populer pulalah lagu Rupiah dan Penasaran. Juga lagu-lagu lain yang ia bawakan secara duet bersama Elvy Sukaesih. Tapi juga gara-gara rupiah pula, sekarang keduanya erpisah. Oma kontrak dengan Yukawi, Elvy bergandengan dengan Remaco. "Sebenarnya ketidak-cocokan itu sudah terasa sejak 1974. Tapi mengingat sumpah tetap berduet, saya masih berusaha berbaik-baik", kata Elvy. Ketika Oma meneken kontrak dengan Yukawi tanpa konsultasi dengan pasangannya, maka Elvy pun yang dulu memang penyanyi solo kian merasa perlunya teken kontrak sendiri, langsung tidak melalui Oma. Ini semua terjadi justru pada saat Oma lagi menunaikan ibadah haji. Dan konon memang ada fihak luaran yang sengaja memecah mereka -- seperti halnya perpecanan grup Mercy's -- tentu saja untuk mencari keuntungan komersiil. Sepulang dari Mekah, Oma pun bilang, "sudah tak ada gunanya lagi berduet dengan dia". Untunglah, sementara Elvy kabarnya ingin membentuk grup Melayu sendiri bersama Muchsin, penyanyi dan rekan lamanya (kabarnya sudah bergabung dengan OM Kelana) tak lama kemudian Haji Dangdut Oma Irama pun mendapat ganti. Pertengahan Januari lalu OM Soneta main untuk sebuah pesta. Kebetulan di sana hadir pula Rita Sugiarto, 17 tahun. Lebih terkenal dengan nama Rita S, bekas pemenang beberapa kali dalam kejuaraan nyanyi di Semarang ini nama aslinya Derta Kismiyarti. Waktu masih duduk di bangku SD malah pernah jadi juara pertama lomba baca Al-Qur'an sekodya Semarang. Di tempat pesta itulah ia nyumbang nyanyi. Dan sejak itulah ia berkenalan dengan OM Soneta. Hijrah ke Jakarta sejak pertengahan 1975, pertengahan Januari yang lalu ia sudah muncul bersama Oma dalam sebuah show di Istora Senayan. Mengenakan celana panjang warna hijau berkembang,-- sepatu tinggi, baju ketat, bibir merah, goyang pinggulnya tak kalah dengan Elvy. Dan malam itu Oma elah mampu menyelamatkan pertunjukan dari cemoohan publik setelah grup-grup lainnya, termasuk Koes Plus dan penyanyi Melky Goeslaw yang juara Pop Singer Nasional itu gagal (TEMPO, 31 Januari, Musik). Belajar Bahasa Arab Kalau tak ada show, jadwal latihan OM Soneta rata-rata 3 kali seminggu di rumah Oma. Meski jreng-jrengnya terdengar sampai di luar, para tetangga tampaknya maklum. Dan tetangga Oma memang tak begitu banyak. Dulu malah hanya berlatih di studio tempat rekaman. Honorarium dibagi rata dengan para pemain orkes. Tapi begitu selesai rekaman, mereka bubar. Baru ketika karir Oma menanjak, Oma membeli peralatan musik sendiri lalu mengumpulkan kembali rekan-rekannya. Oma sendiri belum puas dengan karirnya sekarang. "Saya ingin Soneta menjadi grup musik teladan", katanya. Maksudnya, jangan sampai ketularan ganja. Dulu memang ada anggotanya yang suka fly, tapi sekarang sedikit demi sedikit sudah ada perubahan. Dalam Soneta ada aturan keras: dilarang menjamah minuman keras, ganja, narkotik, berbuat mesum. Dan harus sembahyang. Seminggu sekali keluarga Soneta menyelenggarakan pengajian di rumah Oma, seorang ustadz dipanggil memberikan ceramah agama. Oma sendiri setelah bertitel haji, secara privat mulai belajar bahasa Arab. Dalam setap penampilan di panggung pun Oma selalu mengawali acaranya dengan: "Di sini Oma Irama bersama Orkes Melayu Soneta. Assalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh....". Selama ini ia mengaku bermaksud berda'wah lewat lagu-lagunya -- pernyataan yang sebelumnya pernah diucapkan oleh Trimbo. Di lain fihak Oma menyesalkan sebagian orang Islam yang ragu-ragu terhadap musik. Padahal Islam toh tidak melarang, apalagi untuk maksud-maksud da'wah. Guru ngaji Oma sendiri pernah berkata: "Pada suatu hari Nabi Muhammad bertandang ke rumah sahabatnya, Abubakar. Di teras rumah seorang kawan Aisyah, anak Abubakar, asyik bemain musik. Melihat Nabi datan, Abubakar menyuruh anak itu berhenti nyanyi-nyanyi. Tapi apa yang terjadi? 'Biarkan saja musik itu, untuk kegembiraan' kata Nabi". Yang dimaksud dengan da'wah oleh Oma, tidak semata harus berbau agama. Mengajak atau memperingatkan hal-hal yang bersifat baik, sudah termasuk da'wah. Bahwa lagu-lagu Melayu dianggap sebagai konsumen orang berselera kampungan, Oma tidak menyangkal. "Soalnya pemain orkes Melayu umumnya tidak terpelajar, instrumen mereka tidak sementereng band dan syairnya pun rata-rata cengeng, lunglai, dari itu ke itu saja", katanya. Tapi bersama Oma, lagu 'kampungan' itu kini sudah menembus kawasan 'gedongan', termasuk rumah paman Oma di Kebayoran Baru. "Dulu oom saya anti Melayu. Jangankan membeli kaset atau PHnya, mendengar saja tak mau, biar itu suara kemenakannya sendiri", dan Oma tertawa senang. Katanya, dulu banyak penyanyi-penyanyi kita menjiplak lagu-lagu India. Kemudian berusaha mengaransirnya, sedapat mungkin berwarna Melayu. Tampaknya yang benar-benar asli (Melayu Deli) cuma lagu-lagu S. Effendy atau koleksi Orkes adio Medan tahun 50-an. "Sekarang orang menjuluki lagu-lagu saya sebagai Melayu dangdut. Saya tak tersinggung, malah senang", kata Oma. "Dan saya kira cukup memenuhi selera. Tentu saja jangan dibandingkan dengan musik klasik. Itu kan jauh panggang dari api".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus