NYONYA Tuti Burda senang musik. Kalau tak ada pertunjukan, yang
selalu hampir tak dilewatkannya, di rumahnya di Tasikmalaya ia
tak pernah absen menikmati musik dari radio. Suaminya, seorang
perwira pertama TNI AD, lebih suka sandiwara. Bahkan ia memimpin
grup kesenian Sunda Lutung Kasarung. Tapi juga suka lagu
Cianjuran. Suatu malam, 9 tahun yang lalu, mereka nonton
rombongan sandiwara Irama Baru. Pulangnya perut sang nyonya
bergejolak. Maklum sudah 9 bulan mengandung. Beberapa jam
kemudian lahirlah anaknya yang kedua, lelaki. Mereka sepakat
memberinya nama Irama, seperti nama grup yang barusan ditonton.
Sejak kecil mendapat julukan Oma, umur 17 tahun anak itu hampir
saja meninggal karena sakit perut. Sekarang ia bernama Oma
Irama. Siapa yang belum mendengar nama biduan "dangdut" yang
terkenal itu?
Dari seluruh anak-anak nyonya Tuti Burda (yang suaminya kini
sudah almarhum tapi ke-12 anaknya masih utuh), hanya 2 orang
yang mewarisi 'darah seni' orang tuanya. Selain Oma Irama adalah
Anna Bahfen, anak ke-5, biduanita Orkes Melayu Chandralela. Awal
perjalanan karir Oma sendiri dimulai dari iseng-iseng nyanyi di
hawah pohon sawo di kampung Bukitduri atau di tepi jalan Tebet
Utara. Suaranya lantang. Iringannya cuma gitar dan tepukan
tangan atau pukulan bangku kawan-kawannya. Beberapa waktu
kemudian ia menyanyi untuk sebuah orkes melayu di kampungnya.
Tapi di luar ia bergabung dengan band anak-anak muda Tebet
seperti Tornado atau Varia Irama Melody. Itu ketika ia masih
duduk di bangku SMP dan kemudian SMA, 1960. Justru karena begitu
getol nyanyi itulah, sekolahnya agak berantakan. Konon juga
karena faktor ekonomi yang tak mengizinkan, di SLA ia pernah
pindah sekolah sampai 4 kali: negeri, Kristen, bersubsidi.
Kuliahnya di Fakultas Sospol Untag pun hanya sempat diikutinya
selama setahun. Ia memang pernah punya cita-cita lain. Bahkan
almarhum ayahnya dulu pernah menginginkan Oma menjadi dokter.
Kini ia sukses sebagai penyanyi. Pernah tertarik lagu-lagu
Beatles, ia masuk band The Gay Hand. Ketika itu bahkan ia merasa
mampu menirukan gaya penyanyi-penyanyi Barat yang terkenal
seperti Paul Anka, Tom Jones atau Andy Williams.
Namun kawan-kawannya lebih sering mendorong-dorongnya membawakan
lagu-lagu India atau Melayu. Tahun 1968 ia menyanyi untuk Om
Purnama. Di sinilah ia bertemu dengan Elvy Sukaesih, pasangan
duetnya yang awet sampai tahun kemarin. Melihat kemampuan itu,
tahun berikutnya Hussein Bawafie pemimpin OM Chandralela,
mengajaknya rekaman. Ia menyanyikan lagu Ingkar Janji. Dua tahun
kemudian nasib Oma Irama mulai berubah. Ketika rekamannya Bina
Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama
dalam deretan lagu-lagu Melayu, sedikit demi sedikit (tapi
pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian
saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujarnya 2
pekan lewat di rumahnya kawasan Kebonbaru Tebet Timur.
Mengaku "rumah ini hadiah dari PT Yukawi", tempat tinggal Oma
Irama ini tak begitu jauh dari perumahan pelawak-pelawak Eddy
Sud dan Ateng, penyanyi Muchsin-Titiek Sandhora dan pembawa
acara Krisbiantoro. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah
tak kurang dari 400 meter peregi itu kabarnya berharga sekitar
Rp 27 juta. Kecuali kolam yang indah, ada pula ruangan khusus
tempat latihan OM Soneta. Juga sebuah garasi yang dihuni sebuah
VW kodok biru telur bertuliskan "Dunk Doel" di kaca depannya.
Selain peralatan musik lengkap (termasuk piano yang bagus),
perabotan rumah tangganya tak bisa disebut murah.ÿ20Nilainya tak
kurang dari Rp 5 juta. Rumah itu belum 3 bulan ditinggali, baru
diisi seminggu setelah Oma kembali dari naik haji. Ia berangkat
ke Tanah Suci bersama ibunya, 6 Nopember 1975 yang lalu.
Pulangnya merasa tak perlu menambah nama seperti halnya kebiasaan
haji-haji yang lain (kecuali titel H di depan namanya). "Soalnya
nama saya sudah terlanjur cukup dikenal orang", katanya.
Nyonya Oma, sementara itu sibuk mengerjakan disain dan
pelaksanaan pembangunan rumahnya. "Saya tak puas dengan gambar
yang diajukan pemborong. Maka saya bikin gambar sendiri,
pekerjanya dicarikan oleh kakak Bung Oma", tutur nyonya Oma yang
bernama Veronica. Sebegitu jauh, bangunan itu belul juga
memuaskan pemiliknya. Bagian atap yang berlantai beton yang
selama ini sebagai tempat jemuran, kelak akan disempurnakan
menjadi ruangan tingkat dua. Mencari rumah ini tak begitu sulit.
Naik becak dari Pasar Tebet atau dari jembatan Kampung Melayu,
tak perlu repot menyebut blok atau nomor rumah (yang memang
belum ada). Cukup hanya bilang "antarkan ke rumah Oma Irama" --
maka becak akan meluncur langsung ke sebuah rumah mewah dengan
marmer abu-abu di kawasan Kebonbaru, di mana kali Caiwung
mengalir persis di depannya.
Cincin-Cincin Bagus
Sebagai penyanyi, perawakan Oma memang pop. Agak kekar, tak
terlalu jangkung, tak terlalu pendek. Sebelum naik haji dulu
rambutnya gondrong sampai agak di bawah bahu. Sekarang rambutnya
agak rapihan sedikit meski masih cukup tebal. Cambangnya saja
yang masih dipertahankan. Tak ketinggalan dengan mode anak-anak
muda sekarang, celananya pun tentu saja cutbrai, sepatu hak
tinggi, hem yang berumbai-rumbai di bagian pergelangan tangan
dengan dua kancing terbuka bagian atas. Lehernya berhiaskan
kalung, beberapa jari tangannya berlilitkan cincin-cincin bagus.
Gelang akar bahar di pergelangan tangan kanan, arloji berantai
emas di tangan kiri. Acap tampil begitu (kadang juga di rumah
tapi setelah pulang dari Mekah, pernah muncul dengan jubah
putih, sorban tersampir di pundak dan tasbih terkalung di leher.
Dan dengan beraninya ia nyanyi dengan pakaian "wak haji" begitu
di panggung....
Sebagai suami dan ayah (anaknya baru satu, perempuan, bernama
Debby Veramasari Irama, 3 tahun) ternyata Oma pun cukup telaten.
Sibuk memang, tapi ada saja waktu buat keluarga. Hari-hari libur
selalu ia pergunakan untuk rekreasi bersama anak-isteri.
Misalnya berenang di Bina Ria, nonton atau hanya jalan-alan
menghirup udara segar. Menghadapi suguhan masakan isterinya, ia
hampir tak pernah menolak. Biasanya lebih suka daun-daunan segar
untuk lalap. Tapi terutama sekali ikan bandeng bakar, apalagi
dabu-dabu (sambal Menado). Isterinya memang keturunan Menado
campur Belanda, anak sulung dari 9 putera-puteri Adrian
Tembuleng dan Flora van Bruijn, keluarga yang juga doyan musik.
Adapun Oma, berayah asal Bandu, beribukan asal Banten. Veronica
sendiri meski cuma berpendidikan SMP kelas 3 (dan kini 23 tahun)
toh sudah pintar main piano, setelah 4 tahun belajar pada Lusy
Assaat, anak Mr. Assaat, bekas Pd. Presiden waktu Sukarno-Hatta
ditangkap Belanda. Dari isterinya inilah Oma belajar memetik
toets-toets instrumen besar itu (dan belajar not balok dari
seorang rekan bernama Mansur).
Kisah cinta Oma-Veronica agak menarik. Suatu ketika, 6 tahun
lalu, kebetulan mereka main di Lampung. Oma nyanyi untuk band
Junior, Veronica nyanyi dan main organ untuk band The Beach
Girls pimpinan Annie Kusuma. "Selain di panggung, kami juga
ketemu di hotel dan ngobrol-ngobrol. Sebelumnya tak saling
kenal", tutur Veronica. Tak sampai setahun kemudian, mereka pun
menikah dan Veronica mengikuti agama suaminya, Islam. Tentang
ini ayah Veronica, pensiunan PN Nurani Farma itu bercerita:
"Keluarga Tembuleng itu sebenarnya 60% Islam, 40% Katolik. Ibu
saya, yaitu nenek Veronica, malah pernah berpesan agar anak-anak
saya diizinkan menikah dengan siapa saja. Jangan ditentukan
mesti begini-begitu. Soal agama, yang mana pun toh sama baiknya.
Dalam hal agama Katolik, kalau warganya mau nikah dengan orang
berlainan agama mesti ada dispensasi dari gereja. Untuk Veronica
saya tidak memintakan itu". Tapi benar bahwa ketika melamar dulu
Oma memang menghadapi sedikit kesulitan. "Bagaimana mungkin,
sebab ketika itu Oma sudah beristeri", tambah Adrian Tembuleng
yang sebelum 1966 menjadi care taker pimpinan Kimia Farma Maka
Oma pun pulang dengan tangan hampa. Belakangan ibu Oma yang
maju, katanya: "Bagaimana kalau Oma sudah cerai?" Maka tak lama
kemudian Oma-Veronica pun menghadap penghulu.
Cium Tangan
Veronica yang cantik, bertubuh subur, berkulit putih bersih itu,
tampaknya berusaha betul menyesuaikan diri sebagai seorang
muslimah. Ia selalu mengenakan rok panjang, seperti yang juga
biasa dipakai oleh gadis-gadis PGA atau madrasah. Tapi tentu
saja dari bahan yang jauh lebih bagus dan mahal. Sesaat setiap
Oma mau pergi atau pulang, ia selalu mencium tangan suaminya.
Begitu pula kalau Veronica kebetulan ada acara keluar,
berbelanja misalnya. Dan Oma pun mengulurkan tangan kanannya
dengan lembut. Kerukunan yang begitu ideal, ternyata tak mampu
menimbulkan rasa cemburu pada Veronica manakala suaminya
dipuja-puja oleh para fans yang tentunya tidak hanya terdiri
dari cowok-cowok sja. "Saya bisa memaklumi peran seorang
penggemar yang memuja penyanyi terkenal. Soal cemburu harus
diletakkan secara wajar. Biasa toh, kalau ada fans yang begitu
-- asalkan mereka tahu batas saja", ujar Veronica. Tapi biar pun
keduanya sama-sama artis, toh tak terlintas sedikit pun impian
bahwa kelak anaknya akan menjadi penyanyi pula. "Biarlah saya
saja yang jadi tukang ngamen. Tapi anak saya benar-benar jangan
sampai jadi penyanyi kata Oma. Meski begitu, ia merasa tak
mungkin nyanyi terus sampai tua. "Itu kan hanya impian. Saya
sendiri tak tahu, setelah ini mau jadi apa. Soal nanti, itu
terserah Tuhan. Toh Tuhan itu maha pengasih", tambahnya.
Pecah Dari Elvy
Peranan Veronica bagi Oma memang cukup penting. Meskipun tidak
selamanya bisa mempengaruhi ciptaan Oma, toh Oma sendiri setelah
selesai menulis lagu dan syair, tak jarang minta pertimbangan
isterinya yang sampai sekarang masih mencintai dunia musik.
Sangat sering mencipta lagu sampai larut malam, Veronica selalu
melayani atau menyediakan apa saja yang diperlukan suaminya:
alat perekam, kaset, buku, makanan, minuman. Semuanya siap dan
lengkap di meja. "Dengan begitu ia tak perlu berteriak minta
ini-itu, bisa konsentrasi sepenuhnya", tutur Veronica. Kalau
sudah mengarang lagu, ia jadi angker di rumah "jangan coba-coba
mendekat" kata isterinya. Menurut Oma, sudah 300 biji lagu
ciptaannya. Semuanya berjenis dangdut, temanya diangkat dari
kehidupan seharl-hari. "Kalau-tadi malam saya mendapat ilham,
paginya saya udah di piano. Atau, pagi dapat ilham, malamnya
bikin aransemen", lanjut Oma. Sebulan rata-rata bisa mencipta 4
sampai 5 lagu, tapi adakalanya cuma sebiji saja. Yang paling
populer adalah Begadang, tentang lagu ini ada cerita sedikit.
Suatu hari mertuanya bilang: "Kalau mencipta lagu jangan terlalu
memforsir diri. Kalau bergadang terus begitu, nanti kamu sakit".
Maka Oma pun lantas menulis lirik: "Begadang boleh saja, asal
ada perlunya. Kalau terlalu banyak begadang, muka pucat karena
darah berkurang. Darilah itu sayangi badan, jangan begadang
setiap malam....".
Ia memang penyanyi yang cepat sukses. Dan sukses pula
mengantongi uang. Oleh salah sebuah perusahaan rekarnan ia
pernah dibayar Rp 250 ribu untuk 4 lagu. Dulu pembayarannya
berdasarkan sistem royalties (prosentase dari hasil penjualan).
Sekarang kontrak, honorarium dihitung per lagu -- dan perusahaan
PH yang bersangkutan bisa mencetak sebanyak-banyaknya. Kalau Oma
main untuk sebuah show, tarifnya begini: 30% dari hasil kotor
untuk pertunjukan yang bersifat komersiil, tapi 50% (dari yang
30% itu) kalau untuk amal. Itu bersih untuk Oma dan rombongan.
Transpor dan akomodasi -- tanggungan panitia. Dalam hal ini Oma
mengaku "uang tak mulak perlu bagi kehidupan saya lebih senang
menguasai uang dari pada dikuasai uang". Meskipun begitu, toh
pada akhirnya timbul juga rame-rame. Dan pangkal persoalannya
tak lain tak bukan soal fulus juga. Sementara sekarang lebih
intim dengan perusahaan rekaman Yukawi, ia terlibat
konflik-kontrak dengan perusahaan sejenis yang lain, yang
sebelumnya pernah merekamnya, Remaco (lihat Hukum: Bersaing
Jangan Bersaing, Kalau Tak Ada Gunanya dan Laporan Utama). Maka
para fans Oma sekarang boleh berdendang: begadang boleh saJa,
asal ada uangnya.....
Membuntuti Begadang, populer pulalah lagu Rupiah dan Penasaran.
Juga lagu-lagu lain yang ia bawakan secara duet bersama Elvy
Sukaesih. Tapi juga gara-gara rupiah pula, sekarang keduanya
erpisah. Oma kontrak dengan Yukawi, Elvy bergandengan dengan
Remaco. "Sebenarnya ketidak-cocokan itu sudah terasa sejak 1974.
Tapi mengingat sumpah tetap berduet, saya masih berusaha
berbaik-baik", kata Elvy. Ketika Oma meneken kontrak dengan
Yukawi tanpa konsultasi dengan pasangannya, maka Elvy pun yang
dulu memang penyanyi solo kian merasa perlunya teken kontrak
sendiri, langsung tidak melalui Oma. Ini semua terjadi justru
pada saat Oma lagi menunaikan ibadah haji. Dan konon memang ada
fihak luaran yang sengaja memecah mereka -- seperti halnya
perpecanan grup Mercy's -- tentu saja untuk mencari keuntungan
komersiil. Sepulang dari Mekah, Oma pun bilang, "sudah tak ada
gunanya lagi berduet dengan dia".
Untunglah, sementara Elvy kabarnya ingin membentuk grup Melayu
sendiri bersama Muchsin, penyanyi dan rekan lamanya (kabarnya
sudah bergabung dengan OM Kelana) tak lama kemudian Haji Dangdut
Oma Irama pun mendapat ganti. Pertengahan Januari lalu OM Soneta
main untuk sebuah pesta. Kebetulan di sana hadir pula Rita
Sugiarto, 17 tahun. Lebih terkenal dengan nama Rita S, bekas
pemenang beberapa kali dalam kejuaraan nyanyi di Semarang ini
nama aslinya Derta Kismiyarti. Waktu masih duduk di bangku SD
malah pernah jadi juara pertama lomba baca Al-Qur'an sekodya
Semarang. Di tempat pesta itulah ia nyumbang nyanyi. Dan sejak
itulah ia berkenalan dengan OM Soneta. Hijrah ke Jakarta sejak
pertengahan 1975, pertengahan Januari yang lalu ia sudah muncul
bersama Oma dalam sebuah show di Istora Senayan. Mengenakan
celana panjang warna hijau berkembang,-- sepatu tinggi, baju
ketat, bibir merah, goyang pinggulnya tak kalah dengan Elvy. Dan
malam itu Oma elah mampu menyelamatkan pertunjukan dari cemoohan
publik setelah grup-grup lainnya, termasuk Koes Plus dan
penyanyi Melky Goeslaw yang juara Pop Singer Nasional itu gagal
(TEMPO, 31 Januari, Musik).
Belajar Bahasa Arab
Kalau tak ada show, jadwal latihan OM Soneta rata-rata 3 kali
seminggu di rumah Oma. Meski jreng-jrengnya terdengar sampai di
luar, para tetangga tampaknya maklum. Dan tetangga Oma memang
tak begitu banyak. Dulu malah hanya berlatih di studio tempat
rekaman. Honorarium dibagi rata dengan para pemain orkes. Tapi
begitu selesai rekaman, mereka bubar. Baru ketika karir Oma
menanjak, Oma membeli peralatan musik sendiri lalu mengumpulkan
kembali rekan-rekannya. Oma sendiri belum puas dengan karirnya
sekarang. "Saya ingin Soneta menjadi grup musik teladan",
katanya. Maksudnya, jangan sampai ketularan ganja. Dulu memang
ada anggotanya yang suka fly, tapi sekarang sedikit demi sedikit
sudah ada perubahan. Dalam Soneta ada aturan keras: dilarang
menjamah minuman keras, ganja, narkotik, berbuat mesum. Dan
harus sembahyang. Seminggu sekali keluarga Soneta
menyelenggarakan pengajian di rumah Oma, seorang ustadz
dipanggil memberikan ceramah agama. Oma sendiri setelah bertitel
haji, secara privat mulai belajar bahasa Arab. Dalam setap
penampilan di panggung pun Oma selalu mengawali acaranya dengan:
"Di sini Oma Irama bersama Orkes Melayu Soneta. Assalamu'alaikum
Warahmatullohi Wabarakatuh....".
Selama ini ia mengaku bermaksud berda'wah lewat lagu-lagunya --
pernyataan yang sebelumnya pernah diucapkan oleh Trimbo. Di lain
fihak Oma menyesalkan sebagian orang Islam yang ragu-ragu
terhadap musik. Padahal Islam toh tidak melarang, apalagi untuk
maksud-maksud da'wah. Guru ngaji Oma sendiri pernah berkata:
"Pada suatu hari Nabi Muhammad bertandang ke rumah sahabatnya,
Abubakar. Di teras rumah seorang kawan Aisyah, anak Abubakar,
asyik bemain musik. Melihat Nabi datan, Abubakar menyuruh anak
itu berhenti nyanyi-nyanyi. Tapi apa yang terjadi? 'Biarkan saja
musik itu, untuk kegembiraan' kata Nabi". Yang dimaksud dengan
da'wah oleh Oma, tidak semata harus berbau agama. Mengajak atau
memperingatkan hal-hal yang bersifat baik, sudah termasuk
da'wah.
Bahwa lagu-lagu Melayu dianggap sebagai konsumen orang berselera
kampungan, Oma tidak menyangkal. "Soalnya pemain orkes Melayu
umumnya tidak terpelajar, instrumen mereka tidak sementereng
band dan syairnya pun rata-rata cengeng, lunglai, dari itu ke
itu saja", katanya. Tapi bersama Oma, lagu 'kampungan' itu kini
sudah menembus kawasan 'gedongan', termasuk rumah paman Oma di
Kebayoran Baru. "Dulu oom saya anti Melayu. Jangankan membeli
kaset atau PHnya, mendengar saja tak mau, biar itu suara
kemenakannya sendiri", dan Oma tertawa senang. Katanya, dulu
banyak penyanyi-penyanyi kita menjiplak lagu-lagu India.
Kemudian berusaha mengaransirnya, sedapat mungkin berwarna
Melayu. Tampaknya yang benar-benar asli (Melayu Deli) cuma
lagu-lagu S. Effendy atau koleksi Orkes adio Medan tahun 50-an.
"Sekarang orang menjuluki lagu-lagu saya sebagai Melayu dangdut.
Saya tak tersinggung, malah senang", kata Oma. "Dan saya kira
cukup memenuhi selera. Tentu saja jangan dibandingkan dengan
musik klasik. Itu kan jauh panggang dari api".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini