PRESTASI pemain bulu tangkis Indonesia di percaturan dunia semakin suram. Meski menempatkan 3 pemain untuk dua nomor di final -- dari 20 pemain yang dikirimkan tak satu pun gelar dibawa pulang dari turnamen All England ke-79 yang berakhir Ahad lalu. Kegagalan di stadion Empire Pool Wembley, London, ini bukan yang pertama kalinya. Sejak tahun 1985 tak satu pun gelar juara bisa direbut dari kejuaraan dunia tak resmi itu. Icuk Sugiarto -- finalis All England 1987 -- yang semula jadi tumpuan, ternyata tak berbuat banyak. Ia hanya melaju sampai babak kedua, setelah dijegal oleh pemain tuan rumah, Daren Hall, dengan rubber set 10-15, 15-3, dan 3-15. Namun, kalau dicari-cari, prestasi tahun ini sebenarnya lebih baik dari sebelumnya. Tahu lalu hanya Eddy Kurniawan yang mampu mencapai semifinal. Sisanya, gugur di babak-babak awal. Sekarang, Tim Indonesia mampu menempatkan 6 pemain di lima nomor semifinal: tunggal putra dan putri, ganda putra dan putri, serta ganda campuran. "Dengan keberhasilan ini, sudah merupakan prestasi tersendiri bagi pemain-pemain kita," ujar Tahir Djide, Ketua Bidang Pembinaan PBSI kepada Sigit Haryoto dari TEMPO. Ada lagi yang menghibur. Susi Susanti, juara dunia yunior 1987 dan 1988, mampu ke final. Sayangnya, pemain kelahiran Tasikmalaya 18 tahun silam ini, kalah pengalaman menghadapi juara All England 1984, Li Lingwei, dalam dua set langsung, 11-8 dan 11-4. Padahal Susi -- yang turun ke lapangan dengan tenang -- sempat memimpin pengumpulan angka pada awal set pertama. Permainannya memukau sekitar 5.000 penonton. Bola-bola lobnya di sudut kanan belakang, dan permainan net dengan diselingi kedutan-kedutan menyilang lapangan, membuat Li Lingwei sering mati langkah. Bahkan di set pertama Susi sempat memimpin 8-2 sebelum disusul Li Lingwei. "Dia kelasnya satu tingkat di atas saya, dan sekarang memang belum saatnya saya mengalahkan dia," ujar Susi Susanti, seusai pertandingan. Sebenarnya Susi boleh bangga. Remaja, dengan tinggi 161 cm, ini menjadi wanita Indonesia ketiga yang masuk babak final All England, setelah Minarni, 1968, dan Verawaty, 1980. "Dan bagi Susi keberhasilan masuk final merupakan prestasi yang hebat," kata Tahir Djide sungguh-sungguh. Menurut Tahir, setelah ungggul di awal set pertama, seharusnya Susi berani melakukan improvisasi. Pukulan yang monoton, tentu saja, mudah dibaca oleh lawan sekaliber Li Lingwei. Selain itu, Susi kurang berani melakukan smes. Begitu juga di ganda putra. Pasangan Eddy Hartono/Gunawan yang di semifinal menundukkan juara dunia dari Cina, Tian Bingyi/Li Yongbo -- permainannya tidak berkembang sewaktu menghadapi pasangan Korea Selatan, Park Joo Bong/Lee Sang Bok. Eddy/Gunawan kalah telak 15-8 dan 15-7. Cina, yang biasanya memborong gelar, kali ini hanya kebagian dua gelar di nomor bergengsi -- tunggal putra dan putri, melalui Yang Yang dan Li Lingwei tadi. Bagi Yang Yang, ini gelar juara pertama di arena All England. Korea Selatan, salah satu kekuatan baru di dunia perbulutangkisan, memborong tiga gelar: ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran. Sebenarnya apa target Indonesia dengan mengirim 20 pemain ke London? "Target utama kita adalah Kejuaraan Dunia 1989, Mei mendatang, di Jakarta. Kami semua bertekad, sekaligus mempertaruhkan nama. Di kejuaraan dunia nanti, kita harus berhasil," kata Tahir Djide bersemangat. "Dan All England merupakan kejuaraan besar terakhir yang akan kita ikuti sebelum kejuaraan dunia nanti," tambah Soemarsono, Ketua Harian PB PBSI.Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini