PERSAINGAN sekolah swasta di Medan untuk mendapatkan murid semakin tak sehat. Bukan hanya perang spanduk, tapi ada yang berani menjelek-jelekkan sekolah lain. Yang terakhir ini berbuntut di pengadilan. Empat pengelola SMA Pencawan, Medan, dihadapkan ke Pengadilan Negeri Medan dengan tuduhan menjelek-jelekkan SMA Palapa. Mereka adalah Masti Pencawan (Ketua Yayasan Pencawan). Koran Sitepu (Kepala SMA Pencawan), Dermawan Sembiring dan Karni, keduanya guru. Akibatnya sejumlah siswa Palapa pindah ke Pencawan. Dalam persidangan dua pekan lalu jaksa menuntut keempat tersangka itu dengan hukuman penjara 6 sampai 7 bulan. Sabtu pekan ini keempatnya akan menyampaikan pembelaan. Kasus ini bermula dari penataran P4 untuk siswa-siswa SMP dan SMA swasta di Medan Juli 1985. SMA Pencawan ditunjuk sebagai tuan rumah. Di depan peserta penataran itu. Masti Pencawan dituduh menghasut dengan mengatakan bahwa status SMA Palapa belum terdaftar di Departemen P dan K alias sekolah liar. Siswa SMA Palapa akan terkatung-katung nasibnya, karena tak akan bisa mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EETA). Kepala SMA Pencawam Koran Sitepu, disebut-sebut ikut menjelek-jeiekkan SMA Palapa, yang hanya berjarak 500 meter dari SMA Pencawan. Akibat hasutan itu, 17 dari 84 siswa SMA Palapa yang mengikuti penataran langsung pindah ke SMA Pencawan. Menurut dakwaan Jaksa M. Noor Said, Masti juga membujuk siswa-siswa Palapa, antara lain Abdul Khahar Ginting, Agusta Mulia Ginting, Meri boru Tarigan, Ngatiyem, agar pindah ke SMA Pencawan. Siswa-siswa ini diiming-imingi janji muluk. Hal ini menggusarkan SMA Palapa. Apalagi, menurut B.R. Crysman Tarigan, Ketua Yayasan Palapa Group yang mengelola SMA Palapa, hasutan yang dilancarkan tetangganya itu terus berlangsung. Dan Crysman mengaku sudah meminta agar pihak Pencawan menghentikan agitasinya. Ia sendiri sudah mendatangi Masti Pencawan. Namun, kasus meledak lagi setelah ada siswa Palapa yang pindah ke Pencawan -- walau akhirnya gagal -- tahun ajaran 1986-1987. Dia adalah Ruben Bangun, siswa kelas I. Bangun ingin pindah ke Pencawan. Ini gara-gara ia tak memiliki ijazah SMP. Sebelumnya, sesuai dengan kesepakatan, Bangun memang diterima di SMA Palapa asalkan selama setahun itu ia dapat memperoleh ijazah SMP. Ternyata Bangun tak berhasil mendapatkan ijazah SMP. Celakanya, di Pencawan Bangun ditolak. Akhirnya ia bermaksud kembali ke sekolahnya yang awal. Ternyata di sini juga ditolak. Bangun risau. Kerisauan inilah yang kemudian dimanfaatkan Masti. Ketua Yayasan Pencawan ini membujuk Bangun agar mengirim surat ke Departemen P dan K. Anak ini mau saja. Rupanya, surat ke P dan K itu menjelek-jelekkan SMA Palapa. Setelah diusut-usut, ternyata surat Bangun itu ada yang tidak diketahuinya. "Tanda tangan saya dipalsukan," kata Bangun, yang kini tak bersekolah di mana-mana. Sejak itu, permusuhan Palapa dan Pencawan kembali memuncak. "Penghinaan Pencawan terhadap Palapa kelewat batas," kata Crysman. Karena itulah Crysman memilih jalur hukum, dan memperkarakan 4 orang pengelola SMA Pencawan. Kepada TEMPO, Kepala SMA Pencawan, Koran Sitepu, mengaku tidak pernah mendiskreditkan SMA Palapa. Ia merasa tak pernah menyuruh agar siswa-siswa Palapa pindah ke Pencawan. "Sekarang pun tak ada siswa Pencawan yang berasal dari Palapa," katanya. Penasihat hukum SMA Pencawan, Nicolas Simanjuntak, berpendapat bahwa pindah sekolah bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Lagi pula, yang dilakukan Yayasan Pencawan, kata Nicolas, bukan usaha dagang. Tapi usaha sosial dan pendidikan yang memiliki sifat nonprofit. Kasus Palapa versus Pencawan ini agaknya salah satu bukti bagaimana gencarnya sekolah swasta di Medan menarik calon murid dengan menghalalkan banyak cara. Menurut T.M. Hutauruk, Koordinator Administrasi Kanwil P dan K Sumatera Utara, cara-cara merebut murid itu sudah tidak sehat. Selain perang spanduk, belakangan ada kampanye berkeliling memakai mobil dengan pengeras suara. "Bah, seperti calo bis berebut penumpang di terminallah," kata Hutauruk. "Ini perlu dibenahi."AB dan Makmun Al Mujahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini