Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Atticus

Atticus finch seorang pengacara, berusaha agar tom bisa diadili dan bersedia jadi pembela. kesalahan hukum bisa terjadi selama manusia masih bisa kesewenangan. tom akhirnya mati dengan 16 peluru.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA ingin bercerita tentang Atticus, dan bagaimama seorang perngacara diludahi. Mungkin ia telah cukup dikenal ia tokoh yang di tahun 1962 dimainkan oleh Gregory Peck dalam To Kill A Mockingbird. Tapi ini tahun 1989, ketika hukum seprti dibanting-banting, maka saya kepingin meneruskan kisah ini: Atticus Finch, seorang pengacara, tingal di sebuah kota kecil, Maycomb namanya, di dekat Sungai Alabama, di Amerika Serikat bagian selatan. Kota itu adalah kota yang tua dan panas dan capek. Dan kecil. Di Maycomb, orang saling mengenal, mungkin berhubungan darah -- tentu saja bukan antara yang berkulit putih dan yang hitam, yang waktu itu disebut "negro". Atticus Finch juga bukan oran asing di Maycomb. Ia lahir dan tumbuh di daerah itu. Tapi pada suatu hari, ia jadi sepucuk duri. Dan itu terjadi ketika ia ditunjuk untuk membela Tom Robinson. Tom seorang pemuda hitam. Ia dituduh memperkosa seorang gadis kulit putih. Di Maycomb, di tahun 1930-an itu, orang "negro" belum dianggap manusia seutuhnya. Rasialisme memang berkecamuk lebih tua dari gedung pengaadilan kota itu. Atticu bersedia membela karena ia yakin bahwa manusia baik, tapi terkadang memang ada yang melintang di antara manusia tu dan akalbudinya. Suatu malam serombongan orang kulit putih datang ke penjara tempat Tom ditahan. Mereka ingin menyeret pemuda itu ke luar sel dan membunuhnya. Tapi di depan orang-orang marah itu Atticus berdiri, melindungi Robinson. Ia bukan seorang yang gagah- berani. Ia hanya seorang yang ingin agar Si Tom -- biarpun seorang negro -- tetap bisa diadili. "Diadili": pengertian ini kata asalnya adalah adil. Tapi mungkinkah? Si Tom berada di kancah mahkamah orang kulit putih. Dan ia di tengah kerumunan rasa malu, marah, dan penjungkirbalikan -- hal-hal yang telah menjatuhkan vonis ke kepalanya sebelum ia terbukti berdosa. Tom Robinson sudah mati, begitu kata seorang tokoh dalam cerita ini, begitu cewek putih itu berteriak dan menuduhnya memperkosa. Tom akhirnya memang dinyatakan bersalah. Para juri mendengarkan saksi-saksi yang telah memihak, yang berkepentingan untuk mengatakan bahwa pemuda negro itu telah memperkosa Mayella, anak Bob Ewell. Meskipun gadis itu sebenarnya justru yang meminta dicium, dan ketika si Tom menolak, terjadi pergulatan, dan ayah Mayella datang. Tapi apa daya Atticus Finch? Keesokan harinya, setelah sidang ditutup, di tengah jalan Bob Ewell mendekatinya dan meludahinya. Ewell bahkan megancam diri dan keluarganya. Tapi Atticus tak melawan, ia cuma mengulangi nasehatnya yang pernah dikatakannya: cobalah letakan dirimu di tyempat orang itu. Cobalah kau bayangkan dirimu Bob Ewell. Dengan kata lain, ia berbicara tentang perlunya melihat satu perkara dari sisi yang bertentangan, tidak cuma dari sisi yang siap mengukuhkan sangkaan sendiri. Mungkin itulah sikap yang sering disebut sebagai "sabar". Suatu kebajikan kuno, tentu saja. Tapi rasanya hukum harus menempuh kebajikan itu. Sebab, dengan itu akan terjadilah proses pengadilan -- sekali lagi: satu konsep yang kata asal katanya adalah adil. "Saya berpendapat, seorang terdakwa berhak memperoleh selintas bayangan keraguan," kata Atticus kepada anaknya, dalam novel yang ditulis Haper Lee ini. Perlu ada a shadow of doubt. Sebab, "selalu ada kemungkinan.... bahwa ia tak bersalah." Bagi sebagian orang, mungkin ini cuma cerita manis dari Amerika, contoh dari Barat, dengan tetekbengek keraguan yang taikucing. Bukankah dengan itu akan bertele-tele jalan pembalasan? Dan apa pula jaminannya setelah kesabaran itu: sungguhkah pengadilan selalu benar? Tidakkah itu cuma dalih para advokat, yang umumnya dapat uang dari proses panjang itu? Mungkin. Tapi saya kira Atticus -- orang yang saleh itu, yang mencintai kedua anaknya, dan baik budi kepada pembantu rumah tangganya -- tak dimaksudkan sebagai orang suci. Ia juga tak mengetengahkan bahwa mahkamah serta hukum adalah sarana yang serba luhur. Undang-undang bisa sewenag-wenang, saksi bisa diancam, hakim bisa disuap, dan kesalahan keputusan bisa terjadi. Tapi yang esensial bukan itu. Ynag esensial adalah ikhtiar untuk bersikap adil lewat debat yang terbuka. Terbuka: tak diteror dan diludahi, sikap yang terbentang bukan hanya ke satu jurusan. Tapi memang tak semua orang sadar, bahwa kesalahan menghukum bisa terjadi, selama manusia masih bisa sewenag-wenang. Dan Tom akhirnya memang ditembak, dengan 16 peluru yang menghancurkan tubuhnya. "Hanya anak-anak yang menangis", kata Atticus.Goenawan Mohammad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum