Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kisruh sebelum naik ring

Pertarungan Nico Thomas dengan Samuth Sithnareupol juara kelas terbang mini versi IBF, tetap dilangsungkan. Mike Tyson dan Don King batal didatangkan karena kekurangan dana. Ferry Moniaga sebagai promotor.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETINJU belum lagi naik ring. Yang memanggungkannya sudah kisruh. Nico Thomas yang menantang Samuth Sithnareupol, baru manggung, Kamis pekan ini, di Istora Senayan, Jakarta. Samuth adalah petinju Muangthai, pemegang juara dunia kelas terbang mini (berat badan sekitar 47 kg) versi IBF. Promotor pertarungan ini adalah Ferry Moniaga. Sedangkan penyandang dana menurut catatan semula -- Revli Mandagi, nama baru dalam lingkaran bisnis tinju. Ternyata persoalan muncul setelah persiapan matang. Ferry, dibantu mantan promotor terkenal, Boy Bolang, sudah menghubungi IBF dan tentu saja, kubu Samuth. Kubu Nico, pihak Komisi Tinju Indonesia (KTI), dan segala urusan lain di dalam negeri juga beres. Tiba-tiba saja ada kejutan dari Revli: ia berkehendak mendatangkan Mike Tyson dan Don King, sebagai penonton. Mike Tyson? Don King? Itu bukan sembarang nama di kawasan tinju. Banyak orang lantas kaget: adalah hal luar biasa bila Revli bisa mendatangkan mereka ke Jakarta. Dan Revli nampak bersungguh-sungguh. Ia sudah menghubungi juara dunia tinju sejati itu beserta promotornya. Secarik kawat yang diketukkan James Stevenson, Wakil Presiden IBF, memperkuat pernyataan Revli. "Don King dan Mike Tyson telah membatalkan Acara TV Amerika Serikat, 23 Maret 1989, untuk memenuhi undangan Anda," tulis Stevenson. Martin Wawelangko, wakil promotor, mengungkapkan kepada pers, pihaknya akan membayar Tyson 800 ribu dolar AS. Uang sekitar Rp 1,3 milyar itu hanya untuk upah hadir. Belum termasuk biaya tiket, hotel kelas satu di Jakarta dan Bali, serta fasilitas lainnya. Orang pun bertambah kaget, dan kemudian ribut. Menpora Akbar Tanjung ikut menanggapi, "Apakah layak menghamburkan uang sebanyak itu." Kabar berikutnya mulai sumbang. Jumat pekan lalu, Revli mengumumkan bahwa pihaknya baru punya dana 200 ribu dolar AS. Tapi, ia mengaku tetap berniat mendatangkan Tyson. Nama Tyson bukan untuk trik dagang. Ia tak hendak menipu masyarakat. KTI melihatnya lain. Ini isyarat buruk. Sebenarnya, sejak Selasa pekan lalu Revli diminta menghadirkan siapa penyandang dana yang sesungguhnya. "Sampai hari Sabtu kok belum ada kepastian," kata Mochammad Anwar, Ketua KTI. Maka lembaga itu mengambil langkah tegas. Revli dipanggil dan ditanyai: apakah punya dana atau tidak? Kalau tidak, harap mundur. Ternyata akhirnya Revli mundur. KTI pun, mau tak mau, mengambil alih pekerjaan itu. KTI mempertahankan Ferry sebagai promotor. Ferry sendiri tak kecewa kepada Revli, rekannya sekompleks di perumahan BTN di kawasan Bekasi. "Sebenarnya dia memang ada duit. Tapi tidak bisa turun sesuai waktu yang diharapkan," kata Ferry kepada Reporter TEMPO Liston Siregar. Yang sedikit membuatnya jengkel malah campur tangan KTI. "Seandainya pembagian tugas tak jelas," kata Ferry, "lebih baik bubar semua." Memang panitia tak sampai bubar. Ferry pun tak jadi jengkel. Yayasan Tinju Indonesia mengambil alih urusan teknis. Dana? Menurut Anwar, bukan persoalan. Panitia pertandingan tinju Nurhuda -- Paquito bersedia membantu. Pengusaha Jusuf Hamka juga menelepon menawarkan diri. "Ya, kita tunggu saja telepon-telepon lagi," kata Anwar. "Yang jelas, pertandingan pasti jalan." Cuma saja, Tyson dan Don King pasti tidak datang. Panitia boleh semrawut. Tapi kubu kedua petinju sama sekali tak terpengaruh. Charles Thomas -- kakak Nico yang sekaligus pelatihnya -- berkata, "Sudah waktunya Nico menjadi juara dunia. "Boy Bolang juga menyebut Nico berpeluang. Setidaknya 50 persen. Dan kata Nico, "Ini kesempatan berharga dan terakhir. Kalau saya kalah, mungkin tak ada lagi promotor yang mau memakai saya." Tapi, siapa sih, Nico? Berusia 23 tahun, ia adalah anak kedelapan keluarga Thomas. Sang ayah tak suka tinju. Tapi mereka tinggal di Kampung Tugu Trikora, Ambon. Kampung itu dikenal sebagai gudang petinju. Maka jadilah Thomas sebagai keluarga paling banyak melahirkan petinju: Nyong, Noce, Charles, Alex, Tony, dan kini Nico. Menyusul Charles Thomas, karier Nico mencuat di arena amatir. Memang ia sudah kenal sarung tinju sejak umur enam tahun. Ia meminjam sarung tinju kakaknya, lalu pergi bertinju dengan kawan-kawan. Berantem? "Tak pernah," katanya. Nico pun bergabung di sasana asuhan Teddy van Room, pelatih yang juga menempa Elly Pical. Di situ bakatnya kian kelihatan. Tahun 1982, nama Nico tercatat sebagai "petinju terbaik" Kejuaraan Daerah. Tahun berikutnya, ia "petinju harapan" dalam Kejuaraan Nasional Junior. Puncaknya adalah pada tahun 1986. Saat itu, ia meraih medali emas dalam Piala Presiden. Kalaupun ada cacat karier -- yang sampai sekarang masih disesalinya -- ia gagal menjuarai SEA ames. Itu satu-satunya kekalahan Nico di ring amatir. Sukses di amatir tak menjamin karier Nico gemerlap di ring profesional. Nico hanya mampu mencatat kemenangan sebanyak kekalahannya. Yakni enam kali. Ia sudah dipecundangi Little Pono, Nana Suhana, Hudi, Napa Kaitwanchai, John Arief, dan Kyung Yung Lee. Kalaupun ada prestasi yang dibanggakannya hanyalah ketika ia ganti mengalahkan Nana Suhana dengan kemenangan KO. Sepintas, Samuth lebih baik ketimbang Nico. Ia berpengalaman tanding 44 kali, 33 kali menang -- 19 kali di antaranya dengan KO. Samuth pun tak terkalahkan dalam dua tahun terakhir. Sedangkan, tahun lalu. Nico masih menjadi bulan-bulanan Napa Kaitwanchai dan Kyung Yung Lee. Memang ada hal yang menguntungkan Nico. Ia lebih muda ketimbang Samuth, kini 30 tahun. Apalagi ia bertanding di Jakarta, kandang sendiri. Tentu penonton mendukungnya. Apakah Nico mampu memanfaatkan keuntungan itu? Entahlah. Yang jelas. petinju Nurhuda -- juara kelas super bantam dunia versi WBC Internasional -- mampu memanfaatkan dukungan penonton untuk mempertahankan gelar di Ujung pandang, Sabtu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus