Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amblesnya jalan tol Cipularang dua pekan lalu layak dipersoalkan sungguh-sungguh. Apalagi kejadian itu adalah peristiwa kedua dalam tujuh bulan terakhir, di tempat yang sama. Jalan alternatif Jakarta-Bandung itu kini memang sudah berfungsi normal setelah Jasa Marga, pengelola jalan tol itu, menguruk jalan yang longsor di kilometer 91,600. Namun menguruk bukanlah solusi. Peristiwa serupa bisa terulang lagi karena lokasi pengurukan dilewati air dan bisa terjadi erosi kapan saja.
Semestinya, Jasa Marga menunggu hasil penelitian terhadap amblesnya jalan itu dan baru mencari solusi terbaik. Saat ini investigasi penyebab penurunan lapisan tanah di tol Cipularang sedang dilakukan tim Badan Pengatur Jalan Tol dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dari hasil investigasi itulah, akan ditentukan siapa yang paling bertanggung jawab, apakah Jasa Marga (dari sisi desain proyek) atau kontraktor (dari sisi pelaksana proyek).
Untuk sementara, Jasa Marga menyimpulkan musibah itu terjadi akibat kesalahan pengambilan data tanah. Penelitian data tanah itu dilakukan Rendel Palmer, konsultan sekaligus perancang jalan tol Cipularang. Konsultan itu mengambil contoh tanah dengan melakukan pengeboran di setiap jarak 200-500 meter. Contoh itu kemudian diteliti untuk melihat apakah tanahnya labil atau tidak, lembek atau tidak. Menurut Jasa Marga, hasil penelitian Rendel Palmer tak menyebut bahwa tanah di lokasi longsor itu lembek, sehingga perlu ada perlakuan khusus.
Keterangan Jasa Marga ini patut dipertanyakan. Benarkah mereka tak tahu bahwa tanah di lokasi itu lembek? Jangan-jangan hanya demi menekan biaya, kontraktor atau Jasa Marga justru berusaha mengakali masalah itu dengan cara yang paling murah.
Hal itulah yang disuarakan Lembaga Perlindungan Konsumen Industri dan Jasa Konstruksi Indonesia (LKJK). Lembaga itu merasa heran, mengapa Jasa Marga akhirnya memilih menguruk tanah—yang biayanya lebih murah—dan bukan membangun jembatan. Padahal proyek pembangunan rel kereta api di sekitar lokasi longsor atau sejajar dengan ruas jalan tol tersebut pernah punya sejarah buruk dengan sistem pengurukan lembah. Tanah di bawah rel itu ternyata terus bergeser. ”Akhirnya dibuat jembatan dan tidak ada masalah,” kata Bambang Pranoto, Ketua LKJK.
Belajar dari kasus ini, Badan Pengatur Jalan Tol semestinya mengevaluasi seluruh ruas jalan tol Cipularang, tidak hanya di lokasi yang pernah longsor. Masyarakat patut cemas bila pengelola sarana publik seperti jalan tol lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek dengan memilih alternatif teknik pembangunan yang sebenarnya tak cukup aman.
Kecurigaan itu pantas dilayangkan karena setelah musibah di kilometer 91,600 itu beberapa hari kemudian longsor kembali terjadi di kilometer 70,600. Tanah di sisi badan jalan di lokasi itu tergerus air. Menurut keterangan resmi, longsor tanah yang tak sampai mengenai badan jalan itu terjadi karena air sungai meluap. Tapi, apa pun penyebabnya, dua musibah dalam sepekan itu menjadi bukti bahwa jalan tol tersebut rawan musibah. Beberapa kejadian itu sudah cukup untuk menggerakkan pemerintah atau Badan Pengatur Jalan Tol agar meneliti seluruh ruas jalan tol Cipularang. Tak perlu menunggu terjadi musibah lagi untuk menggelar penelitian ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo