BUAH ketekunan memang manis. Pembalap motor asal Spanyol, Alex Criville Tapias, lebih dikenal sebagai Alex Criville saja, telah membuktikannya. Lahir 29 tahun lalu di Seva, kota kecil dekat Barcelona, Alex langsung akrab dengan raungan motor sejak bocah. Keluarga besar Tapias memang secara turun-temurun bergelut di dunia balap roda dua ini. Sewaktu masih berusia enam tahun, di kawasan Seva yang berbukit, Alex sudah diajari bagaimana belajar berpacu. Dua pekan lalu, di Rio de Janeiro, Brasil, Alex berhasil menggenggam prestasi puncak pembalap motor, juara dunia GP 500. Prestasi ini belum pernah diraih pembalap Spanyol lain sebelumnya.
Bakat besar Alex sudah bisa dikenali sejak usia muda. Dalam usia 15 tahun, ia terjun ke arena Criterium Solo Moto di negaranya, pada 1985. Setahun kemudian, ia sudah berhasil meraih gelar juara di arena tersebut. Namun, bersaing di dalam negeri saja tidak membuat Alex puas. Maka, pada 1987, ia bergabung dengan tim Derbi dan berlaga di kelas 80 cc dalam seri Eropa dan dunia. Bagaikan meteor, pada 1989, ia sudah mampu keluar sebagai juara dunia kelas 125 cc. Prestasi ini membuatnya jadi juara termuda untuk kelas itu sebelum dipatahkan pembalap Italia, Valentino Rossi, dua tahun lalu.
Alex sempat berlaga dua tahun, pada 1990 dan 1991, di kelas 250 cc. Tapi ia tidak begitu sukses. Sebaliknya, saat ia mulai turun di kelas 500 cc pada 1992, ia mulai mencetak sejarah. Dalam GP Belanda, Alex berhasil jadi juara. Itulah kali pertama seorang pembalap Spanyol berhasil menjadi pemuncak dalam lomba 500 cc. Tahun-tahun berikutnya, Alex juga berprestasi bagus. Sayang, pada kurun itu, rekan satu timnya di Repsol-Honda, Michael Doohan dari Australia, begitu perkasa.
Kemenangan Alex juga berarti putusnya penantian panjang penggemar balap motor Eropa. Maklum, sejak pembalap Italia Franco Uncini tampil sebagai juara dunia pada 1982, gelar juara selalu didominasi pembalap dari Amerika Serikat dan Australia. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, Doohan berjaya memonopoli kedudukan tertinggi. Sebelum beristirahat panjang karena cedera, tahun ini pun peluang Doohan sebenarnya masih paling besar. Harus diakui, absennya Doohan memang menjadi berkah tersendiri bagi Alex. Menurut pengamat otomotif Hendra Noor Saleh, bila keduanya tampil dalam kondisi puncak, kemampuan Alex baru mencapai 70 persen kemampuan Doohan.
Sekalipun Doohan tak hadir, gelar juara bagi Alex tidak datang dengan mudah. Da-lam seri tahun ini, para pembalap seakan bergiliran jadi juara pertama di lomba-lomba GP 500. Selain Alex, tercatat Kenny Roberts Junior, Tadayuki Okada, Norifumi Abe, dan Max Biaggi pernah menjadi peraih nilai maksimal. Bahkan, pada awal seri, Roberts dari tim Suzuki sempat memimpin perolehan angka. Roberts gagal mempertahankan keunggulan karena selain penampilannya kurang stabil, kemampuan motornya masih kalah dibandingkan dengan Honda yang dikendarai Alex. Motor Honda memang lebih beringas ketimbang merk lain. Bila motor lain memerlukan waktu 5,6 detik untuk jarak 0-100 meter, Honda hanya butuh 4,6 detik. Namun, Hendra Noor Saleh menilai kemenangan Alex bukan semata ditentukan motornya. "Ia sabar dan tenang," ujar Hendra. Saat Doohan mundur dan Alex harus jadi pembalap nomor satu, ia tidak mengecewakan timnya.
Berkomentar tentang gelar juara dunia yang diraihnya, Alex "serasa berjalan di awan". Sebentar lagi, dipastikan dia makin "melayang". Penghasilannya akan membengkak. Sebab, bila sebelumnya kontrak lama bernilai sekitar US$ 500 ribu satu musim, kontrak baru diperkirakan jadi tiga-empat kali lipat. Bila dibandingkan dengan nilai kontrak Doohan, kontrak baru Alex memang tak akan sampai sepertiganya.
Namun Alex punya penghasilan lain. Dua perusahaan Spanyol, yaitu Dorna (penyelenggara seri GP 500) dan Repsol (produsen oli), sangat mungkin akan menambah nilai kontrak Alex. Ia juga punya sponsor pribadi yang paling unik, Durex, salah satu produsen kondom terbesar di dunia. Durex mulai memakai Alex pada 1994, dengan alasan Alex dikenal sebagai pemuda yang sopan. Entah apa persyaratan yang dikenakan pada Alex, tapi sejak saat itu ia dikenal sebagai Condom Man. Boleh jadi, awalnya julukan ini adalah olok-olok. Namun, terbukti, gelar ini merupakan tuah tersendiri bagi Alex. Ia jadi licin dan ligat, dan akhirnya jadi nomor wahid.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini