PEMERINTAHAN Gus Dur mesti belajar dari kasus Irianjaya: jangan sekali-kali menyepelekan suara daerah. Akibat keputusan Jakarta memekarkan Irian menjadi tiga provinsi, tak cuma demonstrasi yang marak, tapi bahkan seorang gubernur pun terang-terangan mengecam pemerintah pusat. Sampai pekan lalu, sikap anti-Jakarta terus berlanjut di provinsi paling timur Indonesia itu.
"Pembangkangan" Irian dipicu oleh keputusan pemerintahan B.J. Habibie pada 12 Oktober, yang melantik dua gubernur baru untuk Irianjaya Tengah dan Irianjaya Timur. Anehnya, keputusan yang diambil delapan hari sebelum Habibie tinggal jabatan itu dilakukan di Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri ad interim, Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung. Biasanya pelantikan gubernur dilakukan di wilayah kerjanya.
Reaksi yang muncul luar biasa. Selama tiga hari sejak pelantikan dua gubernur itu—Brigjen (Marinir) Abraham O. Atururi dan Herman Monim—sekitar 8.000 mahasiswa dan rakyat menduduki kantor gubernur dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Irianjaya di Port Numbay—nama baru rakyat untuk Jayapura. Para pengunjuk rasa, yang dipimpin Wakil Ketua Sinode Gereja Kristen Injili, Pendeta Herman Awom, menuntut pencabutan keputusan pemekaran itu. "Kami menuntut anggota DPRD agar menyelenggarakan sidang istimewa untuk menolak pemekaran dan membatalkan pelantikan dua gubernur ini karena tidak aspiratif dan tidak transparan," kata Awom.
Kontan saja semua kegiatan di ibu kota provinsi pulau seluas 414.000 kilometer persegi itu lumpuh total. Untunglah pemerintah daerah sependapat dengan rakyatnya. Lewat Sidang Istimewa DPRD Irianjaya, Sabtu dua pekan lalu, keputusan Presiden RI diputuskan untuk ditangguhkan. Dan Gubernur Irianjaya, Laksamana Muda Freddy Numberi, memberikan catatan keras: "Pemerintah pusat tidak menghargai aspirasi masyarakat Papua. Saya benar-benar terkejut, kebijakan pemekaran itu menunjukkan sikap arogan dari pemerintah pusat." Numberi diangkat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam kabinet Gus Dur.
Keputusan penangguhan ini agaknya belum cukup meredam massa. Protes meluas di Kabupaten Jayawijaya, Yapen Waropen, Biak Numfor, Manokwari, Sorong, dan lainnya. Demo yang lebih keras terjadi di Merauke, sejak Selasa dua pekan lalu. Para pengunjuk rasa, atas nama rakyat Papua, menuntut kemerdekaan Papua Barat. "Kami menuntut pengembalian kedaulatan bangsa Papua Barat yang sudah diproklamirkan pada 1 Desember 1962," kata Wim Katokdoan, aktivis Papua Merdeka.
Di depan Gedung DPRD Merauke, demonstran mengibarkan bendera bintang kejora, lambang Papua Barat Merdeka. Ketika ketua wakil rakyat itu menolak bertemu massa, orang ramai mulai melempari gedung dan menyebabkan kaca-kaca jendela pecah, pintu-pintu rusak. "Tindakan ini hanya sebagai protes karena anggota DPRD tidak mau menerima aspirasi kami," ujar Katokdoan, yang ikut dalam unjuk rasa itu.
Apa jawaban Jakarta? Menteri Negara Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, menjelaskan bahwa pemekaran itu bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. "Ini untuk kepentingan masyarakat Irian sendiri. Dengan pemekaran itu, akan ada tiga daerah otonom yang membangun Irian secara simultan. Akan terjadi percepatan pembangunan di daerah itu," kata Rasyid.
Menteri otonomi yang juga bekas dirjen pemerintahan umum dan otonomi daerah itu menganggap DPRD setempat plin-plan. "Dulu yang mengusulkan adalah DPRD Irianjaya sendiri, sekarang kok menolak?" katanya. Pemerintah pusat, menurut Rasyid, akan tetap pada sikap semula. "Rencana itu sudah dijadikan undang-undang, tidak bisa dibatalkan begitu saja. Apalagi isi Undang-Undang Otonomi Daerah itu sangat mirip dengan sistem federalisme. Jadi, buat apa Papua merdeka," kata menteri yang baru dilantik ini.
Pak Menteri yakin, masyarakat Irianjaya sudah siap dengan pemekaran dan otonomi daerah itu. Hanya, ada kelompok penghasut, kata guru besar Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta itu. Namun Gubernur Numberi merasa soalnya adalah pusat yang tak mau mendengar daerah. Ia mengaku berkali-kali mengirim surat agar pemekaran ditunda lima sampai sepuluh tahun lagi, dan Jakarta tak menggubrisnya. Jika pemerintah pusat tak menghiraukan suara seorang gubernur yang diangkatnya sendiri, lalu suara siapa lagi yang harus diikuti Jakarta?
Ahmad Taufik, Setiyardi (Jakarta), Kristian Ansaka (Irianjaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini