Presiden Abdurrahman Wahid, yang sekarang boleh dipanggil Gus Presiden, secara terbuka dan dengan kalem mengakui bahwa kabinetnya disusun berdasarkan kompromi. Pada dasarnya, kompromi tidaklah jelek, apalagi kalau memang terpaksa, demi menyelamatkan sesuatu. Ini sudah terjadi sekarang. Yang tidak boleh dikompromikan adalah prinsip atau asas yang penting. Hasilnya bisa jadi berabe, walau baru belakangan akan terasa. Ibarat dalam membangun gedung, mengurangi campuran semen dan batu untuk membuat fondasi demi menghemat biaya pasti akan menghasilkan bangunan yang lekas retak dan barangkali mudah roboh.
Kompromi adalah proses tukar-menukar, melepas dan mengurangi sesuatu, agar memperoleh tambahan di pihak lainnya. Tidak aneh kalau acap kali hasilnya juga tanggung-tanggung. Sesuai dengan itu, harapan yang diletakkan juga secukupnya saja: berilah kabinet kompromi ini kesempatan dan kepercayaan sampai beberapa waktu dahulu. Untuk adilnya, 6 sampai 12 bulan, misalnya.
Umumnya, kompromi yang dilakukan oleh Gus Presiden ditujukan untuk menjaga persatuan, dengan membagi jatah sehingga semua unsur terwakili. Tapi dasar pembagian yang dipakai memang terlampau banyak untuk bisa dikombinasikan dengan baik. Usaha yang hampir mustahil ini cukup memusingkan Gus Dur karena persyaratan kecakapan dan integritas para calon menteri juga harus dipenuhi sebelumnya.
Mula-mula, semua partai politik harus mendapat bagian yang sepadan, termasuk militer. Lalu harus diperhatikan pemerataan atas dasar wilayah, daerah, dan suku bangsa, warga keturunan. Karena sedang bergolak, wilayah Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Selatan, mendapat alokasi besar, sampai empat kursi. Kemudian, imbangan antaragama juga jadi patokan serius, sedemikian sehingga "perwakilan" Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik cukup mendapat satu kursi masing-masing.
Bisa dibayangkan sulitnya memadukan kendala yang berlapis-lapis ini seraya harus menampungnya dalam susunan yang terbatas. Akhirnya, niat untuk membuat kabinet yang pada asasnya berjumlah kecil terpaksa ditinggalkan. Jumlah menteri, yang dulunya direncanakan maksimum 25 orang, terpaksa membengkak menjadi 36 orang. Mantan menteri kabinet Habibie juga dimasukkan. Asas lain yang dikompromikan ialah mengenai struktur kabinet, yang semula sebenarnya tidak mengenal adanya menteri koordinator (menko). Prinsip efisiensi telah dikompromikan demi menampung dukungan lebih banyak (dan menghindari oposisi?).
Walaupun jumlahnya sudah melar, dasar kompromi yang dipakai telah mengakibatkan pukulan balik terhadap dirinya sendiri. Karena dasarnya ialah jatah wakil daerah dan suku bangsa, yang merasa belum tertampung seperti Manado, Ambon, dan Sumatra Barat melancarkan protes dan menuntut haknya. Selain itu, kompromi ini juga tak sepenuhnya efektif karena Aceh dan Sulawesi Selatan pun, yang sudah terwakili, nyatanya orang belum berhenti menuntut agar wilayahnya berdiri sendiri.
Sistem kuota yang jadi dasar kompromi ini dapat mengundang bahaya besar lain. Tak ada yang bisa memastikan sampai sejauh mana penjatahan berdasarkan identitas agama, aliran, dan suku ini akan jadi pegangan. Kalau ini kelak dicontoh dalam menentukan komposisi personalia birokrasi sampai eselon direktur jenderal dan direktur, bukan tak mungkin kita bisa tercebur ke dalam sumur tanpa dasar dari politik identitas, yang mengganggu asas persamaan kedudukan warga dalam suatu masyarakat majemuk. Dasar kompromi ini lalu jadi semacam paradoks: niat baik Gus Dur untuk mengikat persatuan itu sekaligus menjadi bibit perpecahan di bidang yang lebih luas.
Asas lain yang telah dikompromikan secara berlebihan ialah tentang penempatan empat perwira tinggi aktif dalam kabinet, yang merupakan langkah mundur dari tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi militer. Terlebih lagi—begitulah menurut prasangka yang beredar—pos Departemen Perhubungan serta Departemen Pertambangan dan Energi yang dipercayakan pada dua jenderal bintang tiga itu sangat erat hubungannya dengan kepentingan bisnis Orde Baru, khususnya keluarga Cendana, seperti perusahaan telekomunikasi, proyek pelabuhan, jalan tol, pengangkutan dan pengilangan minyak, atau perusahaan pembangkit tenaga listrik. Kalau dugaan mengenai alasan ini benar, kompromi juga dilakukan demi kepentingan golongan status quo.
Daftar kekayaan pejabat
Tidak terlalu salah kalau kabinet yang oleh Gus Dur tidak diberi nama itu mendapat julukan kabinet superkompromi. Sebagai sebuah hasil kompromi dengan anggota kabinet yang beragam latar belakangnya, potensi keberhasilan terletak pada koordinasinya. Yang merata ialah semangat keyakinan akan kemampuan yang ada pada setiap menteri, termasuk rasa percaya diri yang tinggi dari tim ekonomi yang dikatakan tak punya pengalaman ekonomi makro itu. Walau koordinasi diharapkan datang dari para menteri koordinator, pada akhirnya gerak-gerik Gus Dur jugalah yang lebih menentukan arah kepemimpinan.
Kabinet ini membutuhkan kepercayaan masyarakat. Salah satu ujian kecil bagi kepemimpinan Gus Dur untuk memenangi kepercayaan itu ialah kalau dalam waktu secepatnya ia bisa memberi jaminan akan kesungguhan pemerintahannya untuk berlaku jujur dan sederhana. Caranya ialah, antara lain, segera melaksanakan pencatatan dan pengumuman harta kekayaan pejabat—berikut keluarga masing-masing—seperti sudah sering dijanjikannya. Ini tak bisa ditunda mengingat sebentar lagi, pertengahan November ini, akan diberlakukan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Sebelum komisi pemeriksa berdasarkan undang-undang itu dibentuk dan melakukan pemeriksaan, pemerintahan Gus Presiden sudah harus mendahuluinya untuk memberi teladan. Kalau kepercayaan di bidang non-teknis ini bisa diperoleh, kemungkinan besar orang akan bersedia menunda kesangsian yang ada mengenai kemampuan teknis kabinet ini akibat kompromi politik yang berlebihan itu. Bila menyangkut soal korupsi, masyarakat pasti enggan menerima hasil kompromi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini