Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UDARA yang menggelembung di pipi Felix Brych akhirnya mencatatkan sejarah. Lengkingan panjang suara peluit malam itu menandakan tugas wasit asal Jerman ini usai sudah. Diego Maradona pun senang bukan kepalang. Pelatih baru ini segera menghampiri para pemainnya yang masih berpeluh. Satu per satu dia beri ucapan selamat. Ciuman pipi kiri dan kanan mengantar mereka berjalan ke ruang ganti.
Stadion Hampden Park, Glasgow, Skotlandia, kembali mencatat sejarah bagi Diego Maradona, 48 tahun. Tiga puluh tahun silam, dia memulai kariernya sebagai pemain sepak bola membela tim nasional Argentina. Nah, Rabu pekan lalu, dia datang lagi ke sana, kali ini dengan posisi berbeda: menjadi manajer. Catatan baru ditorehkan. Argentina menang tipis, 1-0, atas tim nasional Skotlandia.
Dalam tayang ulang di televisi, gol itu dibuat dengan indah. Serbuan lewat bola-bola pendek Carlos Tevez, Jonas Gutierrez, dan Maxi Rodriguez dihadang para pemain belakang Skotlandia. Namun mereka licin berkelit. Sampai akhirnya, Maxi Rodriguez berhasil menjadi algojo.
Hanya sebiji gol, memang. Namun hasil ini teramat penting bagi publik sepak bola Argentina, yang memiliki keyakinan tipis berhasil melewati penyisihan Piala Dunia 2010. Maklum, dalam kualifikasi kali ini, mereka kurang bertaji. Setelah dikoyak Cile, tim ini tenggelam di posisi ketiga.
Kini boleh jadi moral mereka meningkat. Apalagi mereka masih menyimpan kekuatan lain, yakni Lionel Messi, yang sesuai kontraknya dengan Barcelona dilarang tampil dalam ajang uji coba atau persahabatan.
Sejak beredar rumor pertengahan Oktober lalu, publik sepak bola dunia langsung mengarah ke Buenos Aires. Tepatnya di kantor Asosiasi Sepak Bola Argentina. Itu gara-gara Carlos Bilardo, mantan pelatih nasional Argentina yang kini menjadi Manajer Umum Asosiasi, membocorkan berita penting: si Tangan Tuhan—sebutan untuk Maradona—akan menukangi tim nasional Argentina.
Argentina sedang kehilangan kepercayaan diri. Pelatih sebelumnya, Alfio Basile, tak mampu mengangkat tim yang sebenarnya punya pemain bagus ini. Dari utak-atik nama yang tersedia, akhirnya muncul Diego Armando Maradona.
Tak satu pun orang di Argentina tidak kenal dengan Maradona. Hampir setiap hari namanya menjadi perbincangan. Bahkan namanya diabadikan menjadi Gereja Maradona. Diego—panggilan akrabnya—adalah legenda hidup jenius bertubuh boncel yang penuh kontroversi. Yang mencintai dan mengaguminya banyak. Yang sinis terhadapnya pun tak sedikit. Kemampuannya sebagai pemain sepak bola memang sudah diakui. Namun sebagai manajer masih tanda tanya besar.
Maklum, karier kepelatihan Diego berbanding terbalik dengan kehebatannya sebagai pemain. Lihat saja, betapa mengecewakannya ketika dia melatih Deportivo Mandiyú (1994) dan Racing Club de Avellaneda (1995). Di kedua klub itu dia hanya bertahan dalam 20-an kali pertandingan. Dia sempat pulang kampung untuk bermain di Boca sebelum menyatakan gantung sepatu pada 30 Oktober 1997.
Setelah itu, hidupnya makin tak keruan. Empat tahun silam, gara-gara kelebihan dosis mengkonsumsi kokain, dia hampir tewas. Argentina menangis. Setahun berikutnya, dia menjalani operasi perut untuk mengurangi berat badannya. Setelah sehat, dia memulai karier baru yang jauh dari lapangan, yakni pemandu acara talk show di televisi. Dia pun kerap muncul di beberapa acara reality show.
Nah, dengan perjalanan hidup seperti itu, tak aneh bila banyak yang ragu terhadap kemampuannya. Banyak pula buktinya. Para superstar di lapangan belum tentu jago sebagai pelatih. Michel Platini, bintang dari Prancis, misalnya. Setahun setelah pensiun pada 1988, dia ditunjuk memegang Tim Ayam Jantan Prancis. Hasilnya? Prancis gagal melaju ke Piala Dunia 1990. Dia pun mundur setelah Prancis gagal ke Piala Eropa 1992.
Ada lagi Gheorghe Hagi, yang disebut-sebut sebagai Maradona dari Balkan. Pemain Rumania ini hanya bertahan memegang tim nasional dalam waktu enam bulan. Timnya lebih banyak keok ketimbang menang. Nama lain yang kurang beruntung adalah Marco van Basten asal Belanda.
Tapi ada juga yang yahud. Dia adalah Franz Beckenbauer. Tampil menjadi kapten Jerman Barat saat meraih Piala Dunia 1974, si keriting berhasil mempersembahkan gelar juara dunia di Italia, 1990, saat menjadi manajer. Bersama Mario Zagalo asal Brasil, ia menjadi pria paling lengkap di lapangan hijau: juara saat menjadi pemain dan manajer.
Nah, apa Diego Maradona mampu? Dia hanya rileks menanggapi keraguan banyak orang. Termasuk gempuran media, yang baginya sudah seperti makanan sehari-hari. ”Saya bangga menjadi manajer tim nasional. Kalau saya tak ambil, pasti dibilang pengecut,” katanya sambil tertawa.
Diego sepenuhnya sadar pekerjaan ini akan sangat berat. Dia harus mengelola stres dalam waktu yang panjang. Namun dia yakin semua itu akan bisa diatasinya. Kuncinya? ”Saya harus mendapatkan hati para pemain. Dengan begitu, kami akan bersatu padu menuju Afrika Selatan,” katanya.
Pendekatan dengan pemain menjadi agenda penting. Itulah sebabnya, jauh-jauh hari sebelum pertandingan dengan Skotlandia, dia sudah berada di Eropa untuk mendatangi para pemain yang akan diajaknya bergabung. Dia hadir di Santiago Bernabeu, Madrid, lalu menyeberang dan menyusuri daratan Inggris. Di sana dia menemui Carlos Tevez di Manchester United dan Javier Mascherano di Liverpool.
Sudah pasti para pemain itu merasa tersanjung. Bagaimanapun, kebanyakan di antara mereka masih menganggap mimpi didatangi tamu istimewa, sang legenda hidup sepak bola dunia. ”Sebuah kehormatan bagi pemain mana pun,” ujar Tevez.
Ternyata bukan hanya itu. Kedatangan Maradona juga membuat konsentrasi pemain negara lain berantakan. Saat dia berada di Manchester United, Rio Ferdinand kegirangan. ”Bisa bersalaman, ngobrol-ngobrol, dan berfoto bersama dia menjadi hadiah ulang tahun yang sangat berkesan,” kata pemain belakang paling mahal di Inggris ini.
Rupanya, Ferdinand penggemar berat Maradona. Meski orang Inggris merasa sakit hati akibat ulah sang legenda dengan ”tangan Tuhan” dalam Piala Dunia 1986 di Meksiko, Ferdinand mengoleksi semua video pertandingan Diego. ”Seperti anak sekolah yang kedatangan guru saja. Dia datang dan melihat kami berlatih. Semoga saja, setelah kembali ke Argentina, dia bercerita sudah bertemu dengan pemain hebat, Rio Ferdinand,” katanya sambil terkekeh.
Saat Maradona berada di Liverpool, pemain besar seperti Steven Gerrard dan Jamie Carragher terlihat dalam antrean menemuinya. Termasuk si pelatih, Rafael Benitez, yang sengaja mengundang Diego ke ruang kerjanya. ”Saya ingin berdiskusi dengannya, tapi sangat sulit,” katanya. Waktu Diego memang terbatas. Dia harus terbang ke Glasgow.
Di sana bukan hanya tim lawan yang sudah menanti, tapi juga sekarung uang. Untuk membawa Diego dan timnya, Federasi Sepak Bola Skotlandia mengeluarkan 800 ribu pound sterling atau sekitar Rp 14,25 miliar. Biar kalah, mereka tak rugi. Liputan media yang besar plus kedatangan penonton yang berjubel demi Maradona menjadi imbalannya.
Langkah awal yang menggembirakan. Bukan hanya Diego, yang lain pun ikut senang. Orang pun memberikan semangat seperti teriakan dalam sebuah film kartun tentang petualangan anak laki-laki bernama Diego: Go, go, Diego….
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo