Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font size=1 color=#FF9900>TEATER BEL BANDUNG </font><br />Tragedi Kopral Woiseks

Setelah sepuluh tahun absen, Teater Bel Bandung menampilkan drama Woyzeck karya George Buchner dengan adaptasi yang menarik.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGUNG gelap. Kesunyiannya tiba-tiba pecah setelah Conquest of Paradise, lagu soundtrack film garapan Ridley Scott pada 1992 itu, mengalun. Sederet orang berseragam muncul dari dua sisi, berbaris rancak di atas panggung. Bersusulan, mereka membuat kor. ”Woiseks! Woiseks! Woiseks!”

Panggung yang temaram dengan kumpulan ranting pohon di lantainya itu mulai terang. Dua tentara berseragam hijau mengambil alih tempat. Seorang kapten dan prajurit rendahan. Sang kapten duduk sambil mengomel. Di belakangnya, Kopral Woiseks sibuk memainkan gunting, sisir, dan cermin, mencukur rambut komandannya.

Adegan itu mengawali pementasan drama musikal Woiseks oleh Teater Bel di Bandung, akhir pekan lalu. Pementasan dua hari di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat itu sekaligus menjadi penanda kebangkitan kelompok teater yang ”mati suri” selama 10 tahun terakhir ini.

Dimainkan selama dua jam lebih, drama musikal ini diadaptasi dari lakon Jerman berjudul Woyzeck, yang diproduksi pada 1836. Ceritanya berkisah tentang kehidupan Kopral Woiseks yang terpaksa membunuh sang istri karena tak bisa menerima ketidakadilan lingkungannya.

Pengarangnya, George Buchner, memang terinspirasi kisah nyata pembunuhan oleh seorang tukang cukur bernama Woyzeck di Jerman sekitar 1820. Sayangnya, Buchner tak merampungkan naskah itu karena keburu meninggal setelah menderita tifus.

Kehidupan Kopral Woiseks penuh persoalan. Sebagai prajurit, Woiseks mendapat tekanan dari komandannya. Idealismenya berbenturan dengan sistem rigid dalam tentara dan kondisi lingkungan yang korup.

Di rumah, Woiseks terimpit tekanan ekonomi keluarga. Hidupnya kian suram ketika Mari, sang istri, mengkhianatinya. Demi harta, perempuan cantik beranak satu itu bersedia melayani para perwira yang tergiur kecantikannya. Woiseks tak tahan. Ia akhirnya membunuh.

Penata artistik pertunjukan Herry Dim menilai Woiseks sebenarnya adalah kritik satire dan olok-olok Buchner terhadap ”perang” antara kepentingan ekonomi, moral, dan akal budi yang menjalar di Eropa pada masa itu. ”Bagaimana semangat mengagungkan kemajuan peradaban tak menjawab pergulatan hidup manusia,” ujarnya.

Kondisi ini masih relevan bagi Indonesia. Drama ini menggambarkan kehidupan Indonesia, yang diwakili Woiseks, bahwa prajurit dengan pangkat rendah cenderung jadi bulan-bulanan kemiskinan dan kekuasaan. ”Karena itu, demi menjaga konteks, saya memilih dan menambah 20 persen dialog dan adegan” kata sutradara Erry Anwar.

Sayangnya, lakon yang pernah ”dipentaskan” pada 1979 ini digarap setengah hati. Nyanyian secara kolosal, ciri khas drama musikal, baru pertama kali terdengar selepas menit ke-22. Beberapa lagu terdengar sumbang dan tidak jelas. Suara desau angin malah sempat tertimpa kerasnya sinyal telepon yang masuk. Jadinya, seperti rentetan tembakan. Untungnya, gangguan itu hanya sekali terjadi.

Meski begitu, aura kisah suram tetap terjaga sepanjang pertunjukan. Setting cerita berpindah cepat dari tangsi militer ke kawasan perumahan, arena sirkus, bar, pos jaga, ruang dokter, hingga kios penjual pisau. Pemakaian panggung tambahan bertingkat seperti kontainer truk dengan tirai-tirai pada bilik bawahnya efektif menunjang peralihan itu. Ramai tetapi menarik dan enak dilihat.

Sosok Woiseks juga diperankan memikat oleh Yusef Muldiyana. Adu aktingnya dengan M.S. Hanief sebagai kapten memikat.

Erry Anwar mengaku tak mudah baginya menyutradarai lakon itu lagi setelah pementasan serupa pada 1979 bersama Teater Lisette. Absen 10 tahun cukup membuat Erry kesulitan menemukan pemain watak yang multibakat: pintar akting dan menyanyi. ”Terpaksalah badingkut. Nu aya diangkut (orang yang ada diangkut),” kata Erry.

Jurus campur sari, memadukan pemain baru dengan aktor bangkotan, terpaksa dilakukan. Konsep pertunjukan yang muluk di awal digeser lebih sederhana.

Namun toh pementasan gratis ini tetap dipenuhi penonton. Setidaknya dua pertiga gedung pertunjukan pada akhir pekan itu dipenuhi orang. Paling banyak bahkan anak-anak sekolah. Cukup memberikan penanda, teater yang dulunya dikenal sebagai teater Ge-Er alias Gelanggang Remaja ini siap hidup berkesenian lagi.

Widiarsi Agustina, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus