Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara <font color=#FF9900>Baju dan Tubuh</font>

Sejumlah karya seni rupa tiga dimensi yang mempersoalkan, antara lain, hubungan badan dan roh, antara baju dan tubuh. Karya-karya yang berupaya menggabungkan dua hal atau lebih yang membentuk imaji baru. Kaya akan gagasan yang mengajak kita merenungkan kembali segala hal.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ICHWAN Noor bukan minimalis, yang bercerita dengan bentuk ”sederhana”. Pematung (kalau sebutan ini masih tepat) ini pun bukan ”pemimpi”, yang menciptakan karya-karya seni rupa bersuasana surealistis, sesuatu di balik atau di luar yang realistis, sesuatu yang fantastis. Ichwan Noor pencerita yang memerlukan banyak atribut, tanda-tanda kelengkapan. Juga ia kadang tak merasa cukup dengan satu bentuk karya, ia menciptakan satu kesatuan yang terdiri atas dua atau lebih bentuk serupa dengan perbedaan—mungkin pada warna, mungkin pada detail. Lalu, yang penting, ia suka menggabungkan dua atau lebih hal yang tak pada tempatnya, tapi dua atau lebih hal itu langsung atau tak langsung berkaitan.

Misalnya, dalam pameran tunggalnya yang kedua, 12-24 November ini di SIGIarts Gallery, Jakarta, pada karya Colourful Relief, ia memerlukan lima bentuk serupa dengan warna berbeda-beda: putih, kuning, krem, hijau, dan cokelat muda. Wujud karya ini adalah sepasang pakaian lengkap yang digantung pada gantungan baju: baju panjang, dasi, dan celana panjang. Ini tentulah sangat biasa bila celana yang menggantung di bagian bawahnya bukanlah sebentuk bagian kaki—telapak kaki sampai pergelangan kaki. Gabungan yang aneh ini semestinya menimbulkan suasana surealistis. Namun lengan baju yang ujungnya berubah menjadi tangan itu terasa tak menyatu dengan celana yang ujungnya menjadi kaki: bentuk kaki itu tak sekuat bentuk tangan. ”Kesenjangan” antara tangan dan kaki itu rasanya yang membatalkan kesan surealistis, bahkan menjadikan karya ini tak begitu kuat.

Sama halnya dengan Duduk Manis. Tiga sosok tanpa kepala, mengenakan rok, masing-masing duduk di kursi. Kaki kiri ditumpangkan di kaki kanan. Sebagaimana pada Colourful Relief, yang membedakan tiga sosok ini adalah warnanya: putih, jingga, dan merah. Munculnya tangan yang merupakan metamorfosis lengan baju itu tak sekuat dua kaki. ”Kesenjangan” itu yang melemahkan kesatuan.

Dibandingkan dengan kedua karya tersebut, Memorabilia terasa utuh dan menyentuh. Sesosok figur tergantung. Namun figur ini sebenarnya adalah baju dan celana, yang digantung dengan dua tali, masing-masing di pundak kanan dan kiri. Perubahan bentuk lengan baju menjadi tangan di ujungnya dan perubahan celana menjadi kaki dari paha sampai jari kaki sama kuatnya. Karya ini terasa utuh, meski lambung kiri sosok ini sampai atas paha dihilangkan, hanya sebuah rongga.

Memorabilia mengesankan karya terkuat pada pameran ini. Dengan bentuk metamorfosis itu, baju berhenti menjadi sekadar baju. Baju itu mewakili seseorang yang meninggalkannya tapi setengah hati. Seseorang itu masih menyisakan kedua tangan dan kakinya.

Sampai di sini Anda bisa saja merasakan hal-hal yang berkaitan dengan badan dan roh. Hendro Wiyanto, kurator, menulis: ”Sebagian bentuk tubuh seakan bermetamorfosis, dalam proses menjadi selembar baju atau celana; sebaliknya, seakan-akan busana ingin menjelma menjadi seonggok tubuh yang pernah ada dan mengenakannya.” Dari sinyalemen ini, Hendro menyinggung ihwal ”kerinduan” tubuh ”pada batas hadir dan tiada”.

Komposisi Memorabilia mengesankan ketakberdayaan. ”Sosok” ini dalam posisi membungkuk karena digantung, dengan kaki terjulur tanpa daya, juga kedua tangannya. Apalah daya badan ketika roh meninggalkannya. Badan pun pelan-pelan akan lenyap, seperti lambung kirinya yang raib, juga bagian tubuh lain hanya akan menyisakan rongga sebelum seluruhnya lenyap dan yang ada hanya ketiadaan.

Tapi kesan seperti itu—kurang-lebih—bisa kita peroleh bila kesatuan karya terjaga dan gabungan dua hal atau lebih bentuk berbeda merupakan satu metamorfosis yang logis. Atau, dua hal atau lebih yang berbeda itu menciptakan satu imaji makna yang kuat. Sebenarnya Ichwan Noor memiliki kepekaan dan kemampuan menghubungkan dua hal atau lebih menjadi satu imaji. Bila beberapa karya ”sulit” dipahami, itu lebih karena masalah ”teknis”.

Misalnya Smoothing Plane. Ini adalah metamorfosis pasah penyerut untuk menghaluskan permukaan kayu menjadi telapak kaki. Ini menyalahi yang kita pahami sehari-hari, karena serut kayu dijalankan dengan tangan dan bukan kaki. Metamorfosis ini terlalu jauh, kurang kuat untuk melahirkan satu hubungan logis.

Juga pada Hanging Hand, bentuk jangkar di bawah tangan yang menggantung pada rantai pada jari tengah dan telunjuk kurang membentuk satu imaji. Menurut saya, jangkar dan tangan itu terlalu jauh kaitannya.

Apa pun, inilah pameran yang mengetengahkan karya-karya yang memiliki gagasan yang mengajak kita merenungkan kembali segala hal. Karya-karya yang berupaya menggabungkan dua hal atau lebih yang membentuk imaji baru. Selain yang telah disebutkan, karya Ichwan yang memiliki kekuatan ide adalah Agreement. Jabatan dua tangan: tangan yang satu, di pangkal lengan, berubah menjadi gagang senapan mesin, tangan yang satu lagi tinggal tulang. Atau Traveller. Dua kaki berjalan, ringsek, bagian atas berubah menjadi bongkahan batu atau arang. Ada sepatu roda di kaki kanan. Kaki ini berdiri di dua lembar kayu. Ada sesuatu yang hendak disampaikan pematungnya, entah apa, kurang jelas. Tapi kayaknya sesuatu yang serius, berkaitan dengan perjalanan hidup.

Pameran ini mengingatkan kita pada karya-karya yang juga memiliki bobot ide. Yang segera teringat adalah pameran ”Puisi Darah” Ugo Untoro di Galeri Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu. Ugo menghadirkan tema kuda, dengan lukisan, instalasi, dan seni rupa video. Keunggulan Ugo dibanding Ichwan Noor, hampir semua karya Ugo tak lagi bermasalah, hadir utuh, wajar, dan logis. Imaji pun dengan kuat terpancar dari tiap karyanya. Yang saya ingat, sepotong bagian belakang kuda, lengkap dengan ekornya, tergeletak di jalan miring. Sebuah kisah tentang tersingkirnya kuda sebagai sarana transportasi oleh kemajuan teknologi. Dan bukan hanya itu. Karya ini dalam kenangan saya adalah sebuah gugatan atas perkembangan teknologi, mesin, yang melupakan makhluk hidup dengan bahasa estetika. Ada yang harus tersingkir ketika zaman berubah; tapi haruskah begitu? Ada paradoks di situ: kemajuan yang kita ciptakan ternyata membunuh yang semestinya menikmati kemajuan itu. Kemajuan telah melindas anak-anaknya sendiri.

Kita memerlukan karya-karya semacam ini, di tengah bermunculannya pameran dan lelang karya seni rupa. Pasar biarlah berkembang dengan dinamikanya sendiri. Untuk mengimbanginya, dibutuhkan prakarsa-prakarsa yang sepenuhnya menimbang perkembangan seni rupa sebagai salah satu kegiatan yang lebih berurusan dengan kedalaman dan hidup yang lebih berkualitas, luar-dalam.

Bambang Bujono, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus