Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronaldinho dan Kaka sempat berdiri termangu di atas rumput Stadion Hanover, Jerman. Wajah mereka keruh. Sambil kedua tangannya memeluk tengkuk, Ronaldinho lalu berjalan dengan tatapan mata kosong. Begitu pula Kaka, yang melangkah gontai menuju kamar ganti.
Pada Minggu malam dua pekan lalu, kedua bintang kesebelasan Brasil merasakan tidak enaknya jadi pecundang. Di penyisihan Grup B Piala Konfederasi, tim Samba dilibas Meksiko 0-1. Tim Meksiko dimotori oleh Zinha, seorang play maker yang kebetulan lahir di Brasil. Namun kekalahan itu tetap saja menyakitkan bagi Ronaldinho dan Kaka.
Sebaliknya bagi tim Meksiko, kemenangan tersebut sungguh besar maknanya. Mereka belum terkalahkan dalam 19 pertandingan di Piala Konfederasi. Jangan heran jika Zinha dan kawan-kawan merayakannya dengan ekspresif, berangkulan sambil bersorak riang sekali. Zinha tak terlalu peduli, tim yang ditaklukkannya adalah Brasil, tanah kelahirannya sendiri.
Di Piala Konfederasi, Zinha bukan satu-satunya pemain asal Brasil yang memperkuat tim negara lain. Di tim Jepang ada Alex yang jadi andalan lini depan, dan tim Jerman memiliki Kevin Kuranyi yang jadi motor serangan. Kini tim Tunisia pun mempunyai striker bernama Santos, yang juga berasal dari Brasil. Inilah sosok mereka.
Zinha Meksiko
Kini Zinha menjadi pilar utama lini tengah Meksiko. Peran pemain 29 tahun ini bisa dilihat dalam pertandingan melawan Jepang, pertengahan Juni lalu, di Piala Konfederasi. Ketika timnya sudah ketinggalan 0-1, ia tampil sebagai penyelamat dengan sebuah gol indahnya.
Mula-mula ia berlari dari tengah lapangan, melewati beberapa pemain Jepang, dan akhirnya melakukan tendangan dari jarak 20 meter. Bola itu melengkung, mengarah ke pojok kanan gawang, dan tak dapat diraih kiper Yoshikatsu Kawaguchi. Gol! Malam itu Zinha terpilih jadi pemain terbaik. Kegembiraannya makin komplet karena Meksiko akhirnya menang 2-1 berkat gol tambahan dari Jose Fonseca.
Memiliki nama lengkap Antonio Naelson Matiasar, dia baru tahun lalu dipanggil pelatih Ricardo Lavolpe masuk tim nasional Meksiko. Dengan tinggi 163 sentimeter dan berat 66 kilogram, tubuhnya terbilang mungil. Tapi Zinha yang dijuluki Si Burung Kecil menjadi motor tim. Dia mampu berlari cepat, memiliki umpan yang akurat, dan pintar mengatur irama permainan.
Pemain yang lahir di Sao Paulo, Brasil, ini mulai meniti karier di klub lokal Deportiva dan America de Rio Branco. Bakatnya mencorong tapi tinggi badannya membuat klub besar ragu merekrutnya. Di usia 20 dia dikontrak klub divisi dua Meksiko, Saltillo. Penampilan cemerlangnya mengundang klub besar Monterrey merekrutnya pada 1999, dan setahun kemudian klub Toluca mengontraknya hingga kini.
Zinha menikahi gadis Meksiko dan sudah dikaruniai dua anak. Inilah yang memudahkan langkahnya menjadi warga negara Meksiko pada 2001. Selama ini Zinha masih mengaku sebagai penggemar tim Brasil. "Tapi saat di lapangan untuk membela Tricolor (sebutan tim Meksiko) saya selalu melakukannya sepenuh hati, bahkan rela mati," katanya. Dia memimpikan Meksiko bertemu Brasil di final Piala Dunia 2006.
Alex Jepang
Kehebatannya mematahkan serangan lawan tidak diragukan lagi. Itu sebabnya Alessandro Santos, 27 tahun, selalu menjadi andalan tim Jepang di lini belakang. Peran ini juga dijalankan dengan baik oleh Alex saat timnya mengalahkan Yunani 1-0 dalam penyisihan Grup A Piala Konfederasi, pertengahan Juni lalu.
Seperti halnya Zinha, Alex juga berasal dari Brasil. Lahir di Maringa pada 10 Juli 1977, saat masih kecil dia ikut orang tuanya yang merantau ke Jepang. Ketika remaja, Alex belajar di Meitoku Gijuku High School, Shizuoka. Di sanalah dia mengasah kemampuannya bermain bola sambil tetap menekuni pelajaran di sekolah.
Karena bakatnya bermain sepak bola amat menonjol, ia akhirnya direkrut oleh klub Shimizu S-Pulse. Di klub ini Alex mampu tampil cemerlang meski ditempatkan di berbagai posisi: gelandang, penyerang, dan juga bek.
Setelah hidup di Jepang selama delapan tahun, pada 2001 Alex memilih berganti kewarganegaraan. Dia langsung dipanggil pelatih Jepang Philippe Troussier untuk berlaga di Piala Dunia 2002. Meski hanya tampil dua kali, dia sempat dilirik klub Inggris Charlton Athletic. Namun dia batal membela klub ini karena kesulitan mengurus visa.
Kini peran Alex di tim Jepang semakin penting. Di bawah pelatih Zico, ia ditempatkan sebagai bek kiri. Pertandingan melawan Brasil di Piala Konfederasi ini menjadi pertandingan istimewa baginya. Apalagi Jepang akhirnya menahan imbang Brasil 2-2. Alex tidak merasakan pertentangan batin. "Saat bermain di lapangan, saya hanya berpikir tentang Jepang. Tapi, kalau di luar lapangan, mungkin berbeda," katanya.
Kevin Kuranyi Jerman
Bergabung dengan tim Jerman sejak dua tahun lalu, Kevin Kuranyi, 23 tahun, dikenal sebagai striker yang memiliki kemampuan lengkap. Dia lincah, pantang menyerah, memiliki tendangan yang akurat, dan jago duel udara. Tidak mengherankan jika pemain ini selalu menjadi pilihan di lini depan.
Tapi jangan salah, dia bukanlah asli orang Jerman. Kuranyi lahir dan dibesarkan di Rio de Janeiro, Brasil. Ayahnya memang orang Jerman, tapi ibunya berasal dari Panama. Sejak kecil ia belajar sepak bola Brasil di sejumlah klub lokal. Barulah pada usia 15, Kuranyi pergi ke Jerman untuk belajar bahasa. Tapi rupanya sepak bola lebih menarik hatinya. Dia melamar ke tim remaja klub Stuttgart.
Bakat Kuranyi pun terasah. Empat tahun lalu, Kuranyi masuk tim utama Stuttgart yang berlaga di Bundesliga. Setahun kemudian dia mulai menunjukkan ketajamannya dengan mengemas 15 gol dari 32 penampilannya.
Kehebatannya membuat pelatih tim Jerman saat itu, Rudi Völler, kepincut. Dia pun dipanggil untuk memperkuat tim Jerman. Kendati Kuranyi berwarga negara Brasil, dengan mudah ia bisa pindah warga negara karena ayahnya berasal dari Jerman.
Langkah itu sempat membuat adiknya kecewa. "Adik saya adalah pencinta Brasil sejati, dan dia berharap bisa melihat saya bermain bersama tim itu," kata Kuranyi. Rupanya sang adik tidak menyadari, betapa sulitnya masuk tim Brasil yang telah dijejali pemain bintang.
Santos Tunisia
Dia hanya bisa memberikan hadiah hiburan bagi pendukung Tunisia. Francileudo Dos Santos mampu membawa tim ini unggul 2-0 atas Australia di Leipzig pada medio Juni lalu. Pemain 26 tahun itu memborong dua gol sekaligus, dan ia dinobatkan sebagai pemain terbaik dalam pertandingan tersebut. Sayang, kemenangan ini tak terlalu menolong. Tim Tunisia tetap tersingkir dari penyisihan Grup A Piala Konfederasi.
Santos yang kini selalu menjadi andalan tim Tunisia tidak dibesarkan oleh negara ini. Di Brasillah ia lahir dan berkembang menjadi seorang pemain sepak bola. Saat remaja Santos bermain di klub Sampaio Correa, Brasil, sebelum akhirnya ia direkrut klub Belgia, Standard Liege.
Dia kemudian mengadu peruntungan di klub Tunisia, Etoile du Sahel, yang diasuh oleh Jean Fernandez, pelatih yang menemukan bakat Zinédine Zidane. Dua tahun membela klub ini dia tampil menawan dengan mencetak 32 gol dalam 50 penampilan. Pada 2000, Santos mengikuti Fernandez pindah ke klub Prancis Sochaux, dan tiga tahun kemudian ia berhasil membawa klub ini menjuarai Piala Liga.
Sejak lima tahun lalu, Santos sebenarnya sudah ditawari jadi warga negara Tunisia. Tapi dia menolak karena masih berharap bisa bermain untuk tim Brasil. Barulah pada 2003 dia memutuskan untuk bergabung ke tim Tunisia setelah menyadari impiannya untuk bermain di tim Brasil sulit diwujudkan.
Santos tak terlalu canggung bermain di tim Tunisia karena di sana sudah ada Jose Clayton Ribeiro, 31 tahun, yang juga berasal dari Brasil. Dia sudah memperkuat negara ini sejak 1998. Santos menunjukkan kehebatannya sebagai penyerang saat Tunisia tampil pada Piala Afrika 2004. Dia menyumbang empat gol dan mengantar timnya jadi juara.
Nurdin Saleh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo