Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Melacak Jamaah Penikmat Dana Umat

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengusutan perkara korupsi dana penyelenggaraan haji, Dana Abadi Umat (DAU), berkembang terus. Sebagai tersangka, mantan Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar ditahan polisi pada Kamis petang yang lalu. Bukan cuma lebih intensif, tapi pengembangan proses pemeriksaan juga menguakkan beberapa masalah korupsi sampingan yang tak kurang pentingnya.

Di antara yang ditemukan itu ialah dugaan suap pada tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memeriksa laporan keuangan Departemen Agama. Pemeriksa malah terlibat penyimpangan yang diperiksa. Masalah sampingan lain ialah tentang para pejabat negara yang menerima hasil penyimpangan penggunaan DAU. Mereka ditraktir naik haji atau umrah bersama istri atau suami atas undangan Menteri Agama. Biayanya diambil dari dana Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) dan DAU. Jumlahnya tidak besar, tapi caranya tidak benar.

Masalahnya jadi melebar, lendir korupsi rupanya meleleh ke mana-mana. Belum diketahui di mana berakhirnya. Ada yang khawatir, bila kecenderungan ini dibiarkan, akan terlalu banyak yang kena getahnya. Jika semua harus diminta bertanggung jawab sekalipun tidak berperan langsung atau hanya kena noda sepercik, mungkin hampir semua pejabat negara terpaksa dibabat rata. Namun pendirian lain mengatakan, tak ada yang boleh dibiarkan lolos, jika memang ingin korupsi diberantas efektif.

Kecil besarnya pelanggaran memang bisa direlatifkan. Biarkan hakim pengadilan yang menimbangnya. Yang penting ialah ada atau tidak unsur kesalahan di dalamnya. Kelalaian pun merupakan kesalahan. Yang diduga merupakan suap ke BPK dari pejabat Departemen Agama seluruhnya berjumlah Rp 2,3 miliar, sejak tahun 2002 sampai 2004. Jika dilihat dari besarnya dana yang diberikan ke beberapa anggota BPK, masing-masing hanya mendapat belasan atau puluhan juta rupiah. Karena berbentuk uang makan atau uang saku tambahan, mereka bisa berdalih tidak memeriksa lagi sah-tidaknya pemberian itu maupun sumber dananya.

Bayangkan, pemberian di luar ketentuan itu mungkin dianggap wajar oleh para pemeriksa BPK, yang semestinya paling kritis akan segala sesuatu yang menyangkut keuangan. BPK sendiri kemudian berpendapat bahwa laporan keuangan Departemen Agama untuk masa tersebut sebagai "wajar tanpa syarat". Tentu saja orang segera mencurigai kewajaran hasil audit ini ada hubungannya dengan uang yang diterima sebagai hal yang "wajar" oleh para pemeriksa BPK bersangkutan. Kejanggalan baru terungkap setelah Menteri Agama Maftuh Basyuni meminta lembaga audit lain, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), agar memeriksa ulang. Korupsi dan suap DAU lalu terbongkar.

Masih bisakah kita mengimbau, ampunilah dosa para pejabat BPK, ya penegak keadilan, karena mereka tak sadar apa yang mereka perbuat? Hal yang sama juga dipertanyakan bagi mereka yang menerima fasilitas ibadah haji atau umrah. Apakah tindakan mereka aktif atau pasif, sadar atau tidak, tetap tergolong sebagai perbuatan melawan hukum? Yang mengungkapkan hal ini ialah Said Agil. Bisa dimaklumi jika dia menyeret semua yang ikut kecipratan DAU, agar meringankan beban karena tanggung jawab terbagi rata. Tak sudi jika cuma dia seorang yang basah-kuyup.

Yang namanya disebut-sebut sibuk membantah. Antara lain Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan menyatakan bahwa kepergiannya tatkala itu sebagai amirul-haj adalah tugas resmi, dan biayanya berasal dari anggaran negara. Mungkin itu benar, tapi jika Said Agil juga merasa telah mengeluarkan uang dari DAU untuk keperluan yang sama, telah terjadi pengeluaran ganda. Yang masih perlu dijelaskan ialah apakah istri pejabat juga ikut berhaji atas biaya dinas, atau sepenuhnya ditanggung kas DAU sebagaimana diisyaratkan oleh Said Agil?

Bahwa secara sosial naik haji gratis tanpa hak merupakan aib, sudahlah pasti. Sengaja atau tidak, banyak yang mukanya tercoreng dan posisi moralnya goyah hanya karena diberitakan terlibat. Yang penting ialah menentukan apakah secara hukum mereka bersalah atau tidak. Ada kekhawatiran, kalau proses hukum diteruskan sampai ke ujung, hal itu bagai membuka kotak Pandora, semua keburukan akan beterbangan keluar. Lembaga penegak hukum akan kewalahan menangani, masyarakat tak siap menerima guncangannya.

Berbahaya kalau karena ragu-ragu menerima konsekuensi itu pengusutan dibatasi dan proses dihentikan setengah jalan. Apa boleh buat, dalam hal korupsi, pilihan yang ada ialah hitam atau putih. Sekali kita membolehkan ada daerah kelabu, akhirnya kita mengizinkan diri membenarkan yang salah. Itu sama artinya dengan melakukan pengguguran—seperti abortus criminalis—pemberantasan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus