Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terjerat Diskon Asuransi

KPK menemukan bukti ada kongkalikong dalam proyek pengadaan asuransi di KPU. Siapa lagi yang bakal menyandang gelar tersangka?

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin belakangan ini menurun. Tinggal di "hotel prodeo" Polda Metro Jaya sejak sebulan lalu, ditambah jadwal pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang hampir setiap hari, barangkali menjadi penyebabnya. Pekan lalu, Nazaruddin kembali menjadi tokoh penting untuk memuluskan KPK mengungkap kasus korupsi di KPU.

Selain soal dana Rp 20,3 miliar yang disebut Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, juga dugaan korupsi pengadaan asuransi. Kasus ini merupakan pintu pembuka KPK untuk mengusut uang batil dari rekanan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu 2004.

Kasus yang kini tengah diburu KPK adalah soal asuransi. Dalam pemilu presiden 2004 lalu, KPU mengadakan proyek asuransi bagi 5,7 juta anggota panitia penyelenggara pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Proyek senilai Rp 14,8 miliar itu diberikan kepada PT Bumi Putra Muda (Bumida). Kontrak itu diteken Nazaruddin pada 30 Juni 2004. Kendati nilai kontrak segede gajah, proyek itu tidak ditenderkan. Bahkan, penunjukan Bumida tidak melalui rapat pleno yang lazim dilakukan di komisi itu.

KPK juga menemukan indikasi tanggal pembentukan panitia asuransi sengaja dimundurkan sebelum kontrak diteken. Celakanya, proyek asuransi itu ternyata tidak ada dalam anggaran KPU. Karena itu, komisi terpaksa mengajukan anggaran tambahan ke DPR. Dan ini yang ajaib, ada kesepakatan PT Bumida memberikan diskon 34 persen dari nilai proyek atau sekitar Rp 5,2 miliar kepada KPU. Kejanggalan-kejanggalan itulah yang mencuatkan aroma korupsi.

Sepekan setelah kontrak diteken, Hamdani Amin menagih diskon itu kepada Mualim Muslich, agen asuransi PT Bumida. Duit Rp 5 miliar itu pun cair dan masuk pundi "gelap" KPU. Semua pemasukan dicatat Hamdani. Uang itu kemudian dibagi-bagikan ke ketua dan anggota KPU. Menurut Hamdani, Nazaruddin mendapat jatah US$ 45 ribu. Wakil ketua dan anggota KPU masing-masing mendapat US$ 35 ribu dan US$ 30 ribu. Pokoknya semua kebagian, termasuk pejabat di lingkungan sekjen.

Dana itu, versi Hamdani, di antaranya digunakan untuk biaya tiga anggota komisi ke luar negeri. Sisa dana "batil" itu dibagikan pada September sebelum kontrak asuransi selesai. "Semua atas perintah Ketua KPU," kata Abidin, pengacara Hamdani.

Nazaruddin mengaku menerima dana US$ 45 ribu dari Kepala Biro Keuangan. Namun, dia tidak tahu apakah dana itu berasal dari diskon proyek asuransi yang ditekennya. "Uang itu tidak sekaligus diberikan kepada saya. Saya pikir, bukan dari situlah (diskon asuransi)," ujarnya. Dia juga emoh disebut melakukan kongkalikong dengan PT Bumida. "Soal diskon tidak disebutkan dalam MOU. Saya hanya tinggal teken," kata Nazaruddin.

Para anggota KPU juga membantah jika dikatakan telah menerima uang diskon premi asuransi itu. Meski begitu, di antara mereka mengembalikan uang yang pernah mereka terima dari Hamdani. Nazaruddin menyetor US$ 45 ribu, anggota KPU Daan Dimara juga mengembalikan US$ 30 ribu, mantan Sekjen KPU Safder Yusac US$ 14 ribu, dan anggota KPU Rusadi Kantaprawira US$ 7,8 ribu. Pekan lalu, KPK juga menerima US$ 33 ribu dari Wakil Kepala Biro Keuangan KPU, Dentjik. Jadi, total jenderal jumlah uang yang dikembalikan mencapai Rp 5 miliar.

Ketua KPK Taufiequrahman Ruki mengatakan punya bukti Nazaruddin Sjamsuddin menerima diskon premi asuransi itu. "Hak dia membantah, tapi penyidik punya bukti tentang itu," kata Ruki, Jumat pekan lalu. KPK juga menemukan bukti ke mana saja dana itu mengalir.

KPK juga menemukan data bahwa PT Bumida juga membayar komisi dua agennya, yakni Sri Haryanti sebesar Rp 3,8 miliar (25 persen dari kontrak), dan Mualim Muslich sebesar Rp 2,3 miliar (16 persen dari kontrak). Jika dihitung, PT Bumida hanya mengantongi 25 persen dari proyek yang didapatnya itu. Menurut Tasman Gulton, kuasa hukum PT Bumida, kliennya tidak merugi karena semua sudah dihitung dengan cermat.

Widiarsi Agustina, Edy Can dan Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus